Aktivitas Tambang Nikel di Raja Ampat Dihentikan Sementara


Jakarta, MI - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menghentikan sementara aktivitas pertambangan nikel PT Gag Nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pembekuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut resmi berlaku mulai Kamis (5/6/2025).
Keputusan ini diambil menyusul penolakan dari aktivis lingkungan dan dan aliansi masyarakat sipil yang menilai aktivitas tambang nikel di wilayah konservasi tersebut dapat merusak ekosistem laut dan darat di Raja Ampat.
“Untuk sementara, kami hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan. Kami akan cek,” ujar Bahlil di Kementerian ESDM, Kamis (5/6/2025).
Sebagai informasi, PT Gag Nikel merupakan anak perusahaan dari PT Antam Tbk, salah satu badan usaha milik negara (BUMN).
Bahlil menyampaikan bahwa, IUP produksi perusahaan tersebut untuk menambang nikel di Raja Ampat terbit pada 2017 dan mulai beroperasi setahun setelahnya.
“Sebelum beroperasi kan ada Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Amdal ini sudah ada,” sebutnya.
Sebelumnya, penolakan terhadap aktivitas tambang nikel di Raja Ampat disampaikan oleh Greenpeace Indonesia dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Selasa (3/6/2025).
Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Global untuk Indonesia Kiki Taufik, menegaskan bahwa keberlanjutan aktivitas tambang di wilayah tersebut berisiko merusak ekosistem Raja Ampat.
Ia menyatakan, dampak merusak akibat industri nikel sudah terjadi di sejumlah daerah seperti Halmahera, Wawonii, dan Kabaena. Kini, aktivitas serupa mulai menjalar ke Raja Ampat.
"Saat ini sudah ada lima pulau yang mulai dieksploitasi. Padahal wilayah ini adalah kawasan geopark global dan destinasi wisata bawah laut terpopuler. Sekitar 75 persen terumbu karang terbaik dunia berada di Raja Ampat, dan sekarang mulai dirusak," imbuhnya.
Hasil penelususran Greenpeace tahun lalu mengungkap adanya kegiatan pertambangan di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.
Ketiga pulau itu termasuk kategori pulau kecil yang seharusnya dilindungi dari aktivitas tambang, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Menurut analisis Greenpeace, aktivitas pertambangan di ketiga pulau tersebut telah menyebabkan kerusakan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami.
Temuan lapangan juga menunjukkan adanya limpasan tanah ke wilayah pesisir, yang menyebabkan sedimentasi yang membahayakan terumbu karang serta ekosistem laut.
Topik:
pertambangan raja-ampat bahlilBerita Sebelumnya
Menaker Siap Rilis Data Pekerja Serapan Job Fair 2025
Berita Selanjutnya
Modal Asing Kabur dari Pasar RI Rp4,48 T Pekan Ini
Berita Terkait

PT Gag Nikel di Raja Ampat Kembali Beroperasi, KLH Lakukan Audit Lingkungan
18 September 2025 11:16 WIB

Pemerintah Kembali Izinkan Operasi Tambang Nikel di Raja Ampat, DPR Ingatkan Potensi Kerusakan Hayati
17 September 2025 14:57 WIB