Femisida Pembunuhan Sekeluarga di Penajam Paser Utara, Apa Itu?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 9 Februari 2024 04:50 WIB
Kampanye aksi "hentikan femisida" yang dilakukan oleh aktivis perempuan NousToutes31 di Prancis (Foto: Getty Images)
Kampanye aksi "hentikan femisida" yang dilakukan oleh aktivis perempuan NousToutes31 di Prancis (Foto: Getty Images)

Jakarta, MI - Remaja berinisial JND nekat membunuh satu keluarga beranggotakan lima orang di Desa Babulu Laut, Kecamatan Babulu, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, pada Selasa (6/2). 

Satu keluarga yang tewas dibunuh JND tersebut terdiri atas ayah bernama Waluyo dan istrinya Sri Winarsih, serta ketiga anak mereka masing-masing berinisial RJS (15), VDS (11), dan terakhir ZAA (3).

Pembunuhan yang dilakukan pelaku remaja berusia 16 tahun memicu pertanyaan besar soal apa hukuman yang setimpal bagi pelaku anak yang berbuat kejahatan luar biasa. Bahkan pembunuhan ini juga memunculkan pertanyaan tentang apa tanda-tanda kekerasan berbasis gender atau femisida.

Namun apapun itu motifnya, tindakan pelaku merupakan kejahatan luar biasa dan patut dihukum seberat-beratnya. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, mengatakan kejahatan berupa pembunuhan dan pemerkosaan yang dilakukan pelaku terhadap dua korban yakni SW dan RJS disebut sebagai femisida.

Femisida adalah pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.

Di Indonesia, kata Andy, kasus femisida meningkat baik dari segi jumlah maupun bentuknya. Namun sayangnya belum mendapat perhatian serius dan masih dipandang sebagai aksi kriminal biasa.

Kalau berkaca pada kasus-kasus sebelumnya, pelaku kejahatan femisida memiliki relasi intim dengan korban. Bisa suami, mantan suami, pacar atau mantan pacar. Dan rata-rata tindakan femisida dilatari oleh "rasa sakit hati" yang diikuti oleh ancaman.

Alasannya beragam, kata Andy. "Bisa karena cintanya ditolak atau karena si perempuan enggak mau rujuk setelah berpisah atau dalam situasi KDRT, penganiayaan dalam berpacaran. Intinya si pelaku merasa memiliki si perempuan."

"Karena konstruksi gender di masyarakat yang menempatkan maskulinitas, si laki-laki meyakini bahwa dia adalah subjek utama yang harus didengar pihak perempuan."

Pemantauan Komnas Perempuan terhadap pemberitaan media daring sepanjang 2019 jumlah kasus femisida memprihatinkan yakni 145 kasus.
Kemudian sepanjang Oktober 2022 hingga November 2023, terdapat 159 pemberitaan yang mengindikasikan tindakan femisida.

Andy Yentriyani mengatakan tak ada ciri saklek yang bisa menentukan apakah laki-laki tersebut akan melakukan kejahatan femisida. Tapi setidaknya bisa dikenali dari perilakunya.

"Kalau dalam hubungan berpacaran, bisa kita lihat apakah dia posesif yang berlebihan. Ini bisa menjadi alarm dini yang harus diperhatikan apalagi jika menimbulkan pembatasan-pembatasan yang tidak nyaman."

"Lalu apakah dia melakukan kekerasan secara fisik maupun psikis? Kalau saya akan menyarankan untuk lebih waspada jika ada ciri seperti itu, agar situasinya tidak memburuk dan mengarah pada kekerasan."

Itu mengapa, Andy meminta publik tidak menghakimi korban dengan dalih bahwa perempuan sebaiknya tidak menolak cinta laki-laki dengan kasar atau sampai meyakiti hatinya.

Sebab yang menjadi inti masalahnya adalah pemahaman keliru laki-laki yang merasa bahwa perempuan adalah barang yang bisa dimiliki.

"Jadi selain mengoreksi cara pandang konstruksi gender, kita semua harus melakukan deteksi dini dari perilaku-perilaku yang bisa berakibat fatal."

Andy Yentriyani tetap meminta polisi menyelidiki kasus ini dengan objektif. Menurutnya, pernyataan polisi yang menyebut pelaku melakukan kejahatan karena dalam kondisi pengaruh minuman keras tak bisa dibenarkan.

"Pelaku minum-minuman keras sebuah peristiwa sendiri, tidak berarti dia di bawah pengaruh alkohol lebih beringas. Tapi situasi dia ingin melakukan kekerasan sudah hadir duluan sebelum peristiwa minum-minuman keras itu," tegasnya.

"Sama seperti pemerkosaan, pelaku bilang karena habis nonton film porno. Justru dia nonton karena pelaku punya dorongan seksual yang ingin disalurkan. Jadi bukan minuman faktor penyebabnya," tambahnya.

Dalam kasus ini, Polres Penajam Paser Utara menjerat pelaku dengan Pasal 340 KUHP subsider Pasal 338 KUHP juncto Pasal 60 ayat 3 juncto Pasal 76 huruf c UU Perlindungan Anak. Ancaman hukuman mati atau sekurang-kurangnya penjara seumur hidup.

Sementara itu, ahli psikologi forensik, Reza Indragiri, juga menilai kalau polisi ingin mengenakan Pasal 340 KUHP yakni pembunuhan berencana maka unsur yang patut dibuktikan adalah "adanya kesadaran penuh dari seorang pelaku kejahatan".

Itu mengapa, katanya, polisi harus berhati-hati dalam menarasikan pelaku melakukan kejahatannya karena terpengaruh alkohol. Sebab menurut dia, jika pelaku membunuh dalam keadaan mabuk, pasal yang mungkin dikenakan bukan pembunuhan berencana. Namun penganiayaan berat.

"Logikanya orang dalam keadaan mabuk tidak bisa membuat rencana. Perilakunya cenderung menjadi impulsif. Demikian pula setelah saya baca kronologi peristiwa dan rangkaian perbuatan pelaku di TKP, tidak mencerminkan orang dalam kondisi mabuk."

Terlepas dari itu semua, keluarga korban meminta pelaku dihukum seberat-beratnya. "Sesungguhnya hukuman mati pun tidak cukup, karena sudah melakukan pembunuhan berencana, kemudian menyetubuhi dua korban dan mengambil barang korban," ujar pengacara keluarga korban, Bayu Mega Malela.

Kronologi dan Motif

Peristiwa itu terjadi di rumah korban yang berada di Desa Babulu Lalut, Kecamatan Babulu, pada Selasa (6/2) dini hari sekitar 02.00 WITA.

Selengkapnya di sini.............