Seperti Apa Kelanjutan Kasus Gagal Ginjal Akut? dan Sejauh Mana Keterlibatan BPOM?

Aldiano Rifki
Aldiano Rifki
Diperbarui 9 Mei 2024 09:57 WIB
Kasus gagal ginjal akut telah merenggut nyawa 204 anak dan berdampak pada ratusan anak lainnya (Foto: Dok MI/Ist)
Kasus gagal ginjal akut telah merenggut nyawa 204 anak dan berdampak pada ratusan anak lainnya (Foto: Dok MI/Ist)

Jakarta, MI - Penyidikan baru perkara hukum gagal ginjal akut yang merenggut nyawa 204 anak dan berdampak pada ratusan anak lainnya belum menunjukkan titik terang.

Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri sebelumnya mengatakan tengah mendalami adanya dugaan keterlibatan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Direktur Tindak Pidana Tertentu (Dirtipiter) Bareskrim Polri, Nunung Saifuddin, berkata penanganan kasus ini telah masuk ke tahap penyidikan yang artinya kata dia, ditemukan unsur pidana yang diduga dilanggar.

Namun demikian, Kasubdit I Dittipidter Bareskrim Polri, Indra Lutrianto Amstono, belum mau mengungkapkan pihak yang disebut melanggar tersebut.

Tapi yang pasti, terkait dengan penerbitan izin edar yang tidak sesuai standar. "Betul akan ada tersangka dari proses penyidikan akan mengurucut pada pihak-pihak yang dapat dimintai pertanggung jawabannya. Itu yang kita tentukan sebagai tersangka," kata Indra, Rabu (20/12/2023) lalu.

"Namun untuk keterlibatan atau siapa pihak yang bertanggung jawab untuk itu, sedang kami dalami," tambahnya.

Sejauh ini, polisi telah memeriksa sejumlah saksi mulai dari industri farmasi, distributor bahan baku farmasi, petugas BPOM Serang, petugas BPO Surabaya, dan petugas BPOM pusat. Termasuk lima saksi ahli.

Selanjutnya, polisi akan memanggil tiga saksi ahli tambahan dan setelahnya melakukan gelar perkara untuk menetapkan tersangka. Tersangka baru ini, kata dia, akan dijerat dengan pasal 56 KUHP yakni mereka yang dengan sengaja telah memberikan bantuan dalam melakukan kejahatan.

Kemudian pasal 196 UU Kesehatan dan pasal 62 UU Perlindungan Konsumen. Dia juga menambahkan penanganan perkara ini merupakan tindaklanjut dari putusan empat petinggi perusahaan produsen obat batuk sirop di Pengadilan Negeri Kediri.

Sejauh mana keterlibatan BPOM?
Pengacara keluarga korban gagal ginjal akut, Awan Puryadi, mengatakan perkembangan tindak pidana gagal ginjal akut yang sedang ditangani Direktorat Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri merupakan angin segar bagi keluarga korban.

Sebab dalam persidangan di Pengadilan Negeri Kediri, klaimnya, jelas ditemukan fakta pelanggaran pidana yang dilakukan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Dia menduga, hal itu tidak terlepas dari apa yang disebutnya sebagai "tidak cermatnya" BPOM mengawasi bahan baku obat. Selain itu, lanjutnya, BPOM dianggap lalai karena meloloskan uji ulang obat yang dilakukan beberapa produsen berdasarkan Farmakope Indonesia edisi V.

Padahal pengujian metode analisa etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) pada bahan baku tambahan propylene glicol harus merujuk pada Farmakope edisi VI.

Untuk diketahui Farmakope Indonesia merupakan acuan resmi pengawasan mutu obat. "Jadi produsen obat itu wajib melakukan pengujian metode analisa etilen glikol dan dietilen glikol pada bahan baku tambahan obat, tapi apa yang terjadi? PT Afi Farma tidak melakukan pengujian sama sekali. Atas dasar itulah PT Afi Farma bersalah melakukan kejahatan," katanya.

"Tapi anehnya, kok BPOM meloloskan begitu saja dan mengeluarkan nomor izin edar?" timpalnya.

Di sinilah, menurut kuasa hukum korban gagal ginjal akut Tegar Putu Hena, kesalahan BPOM yang patut dimintai pertanggung jawabannya. Seluruh pejabat BPOM kata dia, harus diperiksa. Termasuk mantan Kepala BPOM Penny Lukito.

"BPOM layak diduga menjadi aktor dalam proses tersebarnya obat beracun ini, karena tidak melakukan pengawasan sebagaimana mestinya," tegasnya.

Di sisi lain, Tegar juga mengaku kecewa dengan putusan majelis hakim PN Kediri yang menjatuhkan vonis ringan kepada empat terdakwa yang merupakan petinggi perusahaan farmasi. Padahal jaksa menuntut hukuman penjara selama tujuh hingga sembilan tahun.

Ia menilai vonis dua tahun masih jauh dari rasa keadilan yang dialami ratusan korban.

"Maka kami harap banding jaksa supaya diterima pengadilan tinggi dan divonis seberat-beratnya. Karena dua tahun tidak cukup, belum dipotong ini dan itu. Bayangkan produksi obat yang membuat ratusan anak meninggal cuma segitu, tidak ada efek jera," harapnya.

Itu mengapa dia berharap Bareskrim Polri betul-betul menjerat tersangka baru perkara gagal ginjal akut dengan pasal berlapis. Jangan sampai ada proses penyidikan yang menyimpang.

Sebab informasi yang diperolehnya dalam kasus di Pengadilan Negeri Kediri, ada keterlibatan oknum polisi dalam "memediasi" antara pihak perusahaan dengan keluarga korban dengan memberikan uang santunan.

Belum ada klarifikasi dari otoritas terkait atas tuduhan yang diungkapkan Tegar. "Bagaimanapun, kami harap ke polisi fokus pada pengungkapan kasus sejujur-jujurnya, jangan belok-belok," tandas Tegar.

Dalam perkara gagal ginjal ini, Bareskrim sebelumnya menetapkan 5 perusahaan sebagai tersangka korporasi, yakni PT Afi Pharma, PT Tirta Buana Kemindo, PT Fari Jaya, CV Anugrah Perdana Gemilang dan CV Samudra Chemical.

Polri juga telah menetapkan dua orang petinggi CV Samudra Chemical sebagai tersangka. Mereka berinisial E yang merupakan pemilik perusahaan sekaligus Direktur Utama dan AR selaku Direktur.

Atas perbuatannya, seluruh tersangka dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 196 jo Pasal 98 ayat (2) dan (3) Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Subsider, Pasal 60 Angka 10 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Perubahan Atas Pasal 197 Jo Pasal 106 Jo Pasal 201 ayat (1) dan/atau ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.

Selain itu, mereka juga dijerat dengan Pasal 62 Ayat 1 Juncto Pasal 8 Ayat 3 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Juncto Pasal 56 Ayat 2 KUHP.