Menguak Dugaan Markup Proyek SKTT UGC Pecatu-Nusa Dua Bali 2018, Siapa Bakal 'Kesetrum'?


Jakarta, MI - Kasus korupsi di Indonesia sulit dihilangkan karena ada rasa tidak puas diri dan ketidakjujuran para pejabat negara, terutama mengabaikan sumpah jabatan mereka.
Praktik korupsi yang dilakukan tidak hanya merugikan suatu golongan, namun juga seluruh rakyat Indonesia sebagai pembayar pajak. Telah terjadi sejumlah praktikdugaan korupsi yang dilakukan di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
PLN merupakan perusahaan BUMN terbesar di Indonesia yang sering memiliki proyek dengan nilai mencapai triliunan per proyek.
Maka tidak menutup kemungkinan penyimpangan itu terjadi. Selain itu banyak proyek-proyek yang ‘lolos’ disebabkan regulasi yang ada berpotensi mendorong untuk melakukan penyimpangan.
Tumpang tindih regulasi menyebabkan hilangnya arah bagi para pejabat PLN yang ingin membuat terobosan kebijakan.
Misalnya regulasi yang buruk terjadi pada kasus korupsi juga menjerat mantan Dirut PLN Dahlan Iskan. Saat itu dirinya membangun gardu listrik guna menjawab keluhan 1 juta masyarakat pelanggan agar mendapat aliran listrik.
Akibat dari regulasi yang ada tidak mewadahi untuk melakukan terobosan, maka dianggap oleh penegak hukum (kejaksaan) melakukan korupsi.
Kasus-kasus korupsi banyak tersidik oleh Kejaksaan, kepolisian bahkan KPK.
KPK, misalnya. Diharapkan turut menelaah pengadaan barang dan jasa, yang mana PLN biasanya menggunakan tender.
Tender tersebut bisanya telah disediakan dalam katalog yang disediakan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Tender merupakan upaya yang dilakukan dalam membantu penyediaan barang yang dibutuhkan, seperti pembangunan infrastruktur terkait listrik, pembangunan jaringan, dan pasokan energi.
Sedangkan pembangunan infrastruktur dan jaringan bukan hanya menggunakan anggaran internal PLN melainkan Anggaran Pendapatan belanja Negara (APBN).
Penyimpangan pada kasus PLN memiliki modus yang berbeda-beda. Penyimpangan dalam pengadaan barang, misalnya sudah diketahui pemenangnya saat tender baru dimulai. Serta terjadinya inschedul trending yang sudah diketahui lebih dulu oleh peserta tender tertentu karena ada konflik kepentingan.
Salah satu kasus dugaan rasuah di PLN yang patut diusut KPK adalah dugaan markup pada pembangunan Saluran Kabel Tekanan Tinggi (SKTT) UGC Pecatu – Nusa Dua Bali Tahun 2018.
Merujuk pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 847/Pid.B/2020/PN.Jak.Sel, tanggal 26 Oktober 2020. PT. PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Timur Dan Bali, telah melaksanakan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa II Tahun 2018.
Indonesian Ekatalog Watch (INDECH) mencatat, bahwa dalam melaksanakan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, PT. PLN (Persero) Unit Induk Pembangunan Jawa Bagian Timur Dan Bali telah menunjuk PT Kabel Metal Indonesia (KMI).
PT Kabel Metal Indonesia (KMI) memberikan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, kepada PT CME. Selanjutnya, PT CME memberikan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, kepada PT Ida Iasha Nusantara (IIN).
PO sebagai bentuk SPK pemberian kerja dari PT. CME kepada PT. IIN dengan Nomor :162/PT-CME/V/2018, tanggal 4 Mei 2018 perihal PO jasa HDD untuk pengerjaan UCG Pecatu - Nusa Dua Bali senilai Grand total Rp. 31.185.000.000. Nomor :163/PT-CME/V/2018, tanggal 4 Mei 2018 perihal PO jasa HDD untuk pengerjaan UCG Pecatu - Nusa Dua Bali senilai Grand total Rp. 27.720.000.000.
Pada kenyataannya PT. Ida Iasha Nusantara hanya mengerjakan pekerjaan di 9.636.35 meter HDD dari kontrak di 12.600 meter yang menjadi objek pekerjaan. Harga per meter Rp 4.400.000 (Rp. 31.185.000.000 + Rp 27.720.000.000) dibagi 12.600 meter.
Selanjutnya, PT Ida Iasha Nusantara memberikan Pekerjaan SKTT UGC Pecatu Nusa Dua, kepada PT. Surya Cipta Teknik (SCT). Harga HDD yang disepakati oleh PT IIN dengan PT SCT sebesar Rp 3.400.000. Dan perkiraan Direktur PT IIN, biaya maksimal pekerjaan HDD hanya Rp 2.100.000 per meter.
PT IIN memperoleh keuntungan sebesar Rp 2.300.000 hanya sebagai perusahaan perantara dari main kontraktor PT CME. Sedangkan PT SCT bisa mengerjakan proyek HDD hingga tuntas dan diterima oleh PLN senilai Rp 2,1 juta per meter.
"PT IIN yang hanya sebagai perantara saja dalam proyek itu bisa mendapatkan fee sebesar Rp 2,3 juta per meter. Logikanya PT CME sebagai main kontraktor tentu mendapatkan bagian yang jauh lebih besar lagi dari PT IIN. Artinya, dalam perencanaan di PLN ada dugaan mark up hingga ratusan persen untuk pekerjaan HDD ya," kata Direktur Eksekutif INDECH, Hotman.
Pun INDECH menduga Pekerjaan SKTT UGC Bali Pecatu – Nusa Dua, telah terjadi kemahalan harga. SKTT UGC Bali Pecatu – Nusa Dua memiliki Panjang 30.000 meter (30 kilometer).
Bila dikalkulasi kerugian negara hanya untuk pekerjaan HDD Pecatu-Nusa Dua mencapai Rp 63 miliar. Sementara pekerjaan HDD di seluruh wilayah kerja PT PLN (Persero) bisa mencapai ratusan kilometer setiap tahun. "Artinya kerugian negara hanya pekerjaan HDD saja negara dirugikan triliunan rupiah setiap tahun," beber Hotman.
Sementara Sekjen INDECH Orden Gultom menambahkan, pengalihan pekerjaan SKTT UGC Bali Pecatu – Nusa Dua, melanggar peraturan dibidang pengadaan barang dan jasa.
“Penyedia Barang/Jasa dilarang mengalihkan tanggung jawab seluruh atau sebagian pekerjaan utama dengan mensubkontrakkan kepada pihak lain dengan cara dan alasan apapun, kecuali disubkontrakkan kepada Penyedia Barang/Jasa yang memiliki kompetensi dalam bidang tersebut, dengan persetujuan Pengguna Barang/Jasa.”
Order juga mengatakan, tak hanya item pekerjaan HDD yang perlu diungkap para penyidik KPK. Pengadaan kabel juga tak kalah penting menjadi objek pemeriksaan karena Harganya juga sangat fantastis.
Deret kasus korupsi yang 'menyetrum' Dirut PLN
1. Eddie Widiono
Mantan Direktur Utama PLN Eddie Widiono dijatuhi hukuman lima tahun penjara. Vonis itu dibacakan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (21/12/2011).
"Menyatakan Saudara Eddie Widiono secara sah dan menyakinkan bersalah dengan vonis lima tahun penjara," kata Ketua Majelis Hakim Tjokorda Rae Suamba.
Selain itu, Eddie juga didenda sebesar Rp 500 juta atau subsider hukuman penjara enam bulan. Ia juga diminta membayarkan uang pengganti Rp 2 miliar atau penjara dua tahun bila tak dibayarkan dalam satu bulan.
Hakim menyatakan Eddie bersalah dalam kasus korupsi proyek outsourcing Customer Information System-Rencana Induk Sistem Informasi (CIS-RISI) di PLN Distribusi Jakarta Raya (Disjaya) Tangerang tahun 2004-2007. Kasus ini terjadi saat Eddie menjabat sebagai Direktur Utama PLN periode 2001-2008.
Menurut jaksa penuntut umum Muhibudin, Eddie melakukan korupsi karena memerintahkan penunjukan langsung kepada PT Netway Utama sebagai kontraktor proyek. Eddie didakwa memperkaya diri sendiri dan orang lain sehingga merugikan keuangan negara setidak-tidaknya Rp 46,1 miliar.
Dalam hal penunjukan kontraktor, Eddie tak melibatkan Komisaris PLN. Komisaris bahkan tak pernah menyetujui penunjukan langsung terhadap PT Netway Utama, kontraktor proyek tersebut. Jajaran komisaris sangat lama menelaah rencana proyek CIS RISI di Disjaya Tangerang.
Bahkan, sejak dibahas tahun 2001 hingga setahun kemudian, dia dan Komisaris PLN periode 1999-2002 lainnya belum menyetujui proyek itu diadakan. Termasuk soal menunjuk langsung PT Netway sebagai rekanan.
Perbuatan korupsi dilakukan Eddie secara sendiri ataupun bersama-sama dengan eks General Manager PLN Disjaya Tangerang Margo Santoso, Fahmi Mochtar, serta Direktur Utama PT Netway Utama Gani Abdul Gani. Eddie disebut jaksa memperkaya diri sendiri Rp 2 miliar, memperkaya Margo Rp 1 miliar, Fahmi Rp 1 miliar, dan Gani Rp 42,1 miliar.
Dalam perkara ini, jaksa sebelumnya menuntut Eddie hukuman pidana tujuh tahun penjara.
Dalam dakwaan primer, Eddie dijerat Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sedangkan dalam dakwaan subsider, Eddie dijerat Pasal 3 jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.
2. Dahlan Iskan
Pada Juni 2015, Kejaksaan DKI Jakarta menetapkan Dahlan Iskan -sebagai mantan direktur utama PT Perusahaan Listrik Negara- sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara pada 2011-2013.
Dahlan ditetapkan sebagai tersangka dalam posisi sebagai kuasa pengguna anggaran dalam kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk tersebut.
Kejaksaan mengusut kasus ini sejak Juni 2014 setelah menerima laporan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terhadap proyek senilai Rp1,06 triliun ini.
Menolak semua sangkaan, Dahlan kemudian mengajukan gugatan praperadilan Dahlan Iskan terhadap Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Dalam putusannya pada Agustus 2015, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan untuk mengabulkan seluruhnya gugatan praperadilan Dahlan Iskan terhadap Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.
Alasannya, majelis hakim sependapat bahwa Dahlan terlebih dahulu ditetapkan sebagai tersangka, baru kemudian dicari alat buktinya. Padahal untuk bisa menetapkan seseorang tersangka, seharusnya sudah ada dua alat bukti yang cukup.
3. Nur Pamudji
Nur Pamudji menjabat Dirut PLN periode 2011-2014. Nur Pamudji divonis enam tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider enam bulan kurungan oleh Pengadilan Tipikor Jakarta atas perbuatannya. Pengadilan Tinggi DKI memperberat hukumannya menjadi tujuh tahun penjara.
Bareskrim Polri menetapkan Nur Pamudji sebagai tersangka pada 15 Juli 2015, dan setelah menyidik selama empat tahun, kemudian menyerahkan perkara ke Kejaksaan pada 16 Juli 2019. Selanjutnya kejaksaan menyusun dakwaan dan menyerahkan perkara ke Pengadilan Tipikor pada 10 September 2019.
Kasus ini bermula saat PLN membuka tender untuk memenuhi kebutuhan 9 juta ton BBM.
Sebanyak 2 juta ton dibagi menjadi lima tender. Sedangkan sisanya, 7 juta ton diadakan Pertamina tanpa melalui tender. Ia didakwa telah merugikan keuangan negara Rp 188,7 miliar terkait pengadaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis High Speed Diesel (HSD) tahun 2010.
Namun, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan kasasi Nur Pamudji. Dengan putusan kasasi itu, Nur Pamudji lepas dari vonis hukuman tujuh tahun penjara.
Juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, saat itu menyatakan vonis lepas itu dijatuhkan lantaran perbuatan Nur Pamudji dinilai merupakan bukan pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan.
"Vonis ditolak karena tidak beralasan hukum. Sedangkan alasan kasasi terdakwa dapat dibenarkan, sehingga meskipun perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana," kata Andi dalam pernyataan tertulis, Senin (19/7/2021).
4. Sofyan Basir
Direktur Utama PT PLN (Persero) 2016-2019 Sofyan Basir terseret dalam perkara suap terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Sofyan telah divonis bebas dari semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK dalam perkara dugaan pembantuan kesepakatan proyek PLTU Riau-1.
KPK meyakini bukti yang kami hadirkan di persidangan kuat. Sofyan Basir didakwa sebagai pembantu dalam tindak pidana korupsi suap yang dilakukan oleh Eni M Saragih (mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR), Idrus Marham (mantan Menteri Sosial), dan Johannes B Kotjo (pemegang saham Blackgold Natural Resources Ltd) yang telah dijatuhi vonis bersalah di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Adapun bukti keterlibatan Sofyan, yakni untuk mempercepat proses kesepakatan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang RIAU-1 (PLTU MT RIAU-1) antara PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI) dengan Blackgold Natural Resources (BNR) Ltd, dan China Huadian Engineering Company (CHEC), Ltd yang dibawa oleh Kotjo.
"Padahal terdakwa mengetahui Eni dan Idrus akan mendapat sejumlah uang atau fee sebagai imbalan dari Kotjo, suap Rp4,75 miliar dari Kotjo," ucap Febri Diansyah, Juru Bicara (Jubir) KPK, Rabu (6/11/2019).
Oleh karena itu, KPK menerapkan pasal suap yang dihubungkan dengan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 56 ke-2 KUHP.
Peran terdakwa Sofyan sebagai pembantu dalam tindak pidana korupsi. Pertama, mempertemukan Eni dan Kotjo dengan Direktur Pengadan Strategis 2 PT PLN dan melakukan beberapa kali pertemuan untuk membahas pembangunan proyek PLTU Riau-1. Pertemuan dilakukan di kantor dan rumah terdakwa.
Kedua, meminta pada Direktur Perencanaan PT PLN sebagai jawaban dari permintaan Eni dan Kotjo agar proyek PLTU Riau-1 tetap dicantumkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2017-2026.
Ketiga, menandatangani Power Purchase Agreement (PPA) proyek pada 29 September 2017 sebelum semua prosedur dilalui dan hal tersebut dilakukan tanpa membahas dengan Direksi PLN lainnya. Adapun, PPA secara resmi tertanggal 6 Oktober 2017.
"Padahal, saat PPA ditandatangani belum dimasukan proposal penawaran anak perusahaan, belum ada penandatanganan LoI (letter of intent) belum dilakukan persetujuan dan evaluasi dan negosiasi harga jual-beli listrik antara PLN dengan anak perusahaan atau afiliasi lainnya," kata Febri.
Topik:
PLN Proyek SKTT UGC Pecatu-Nusa Dua Bali 20Berita Terkait

Dirut PLN Darmawan Prasodjo Diduga Lakukan Abuse of Power Melaui Praktik Rombak Petinggi Anak Perusahaan dan Sub Holding
22 September 2025 13:16 WIB

Dugaan Monopoli dan Markup Rp45 M, PLN dan PT Serambi Gayo Sentosa akan Dilaporkan ke KPK dan Kejagung
19 September 2025 07:46 WIB

PLN Tampil Kaya di Atas Kertas tapi Siapa yang Sebenarnya Untung?
8 September 2025 13:53 WIB