PLN Tampil Kaya di Atas Kertas tapi Siapa yang Sebenarnya Untung?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 September 2025 13:53 WIB
Dirut PT PLN Darmawan Prasodjo (Foto: Ist)
Dirut PT PLN Darmawan Prasodjo (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) membeberkan bahwa akhir 2024, PLN tampil bak perusahaan superkuat: aset hampir Rp1.772 triliun, ekuitas tembus Rp1.061 triliun. 

"Angka ini bikin publik terkesima, seolah raksasa listrik negara ini sedang berenang di lautan duit," kata Iskandar, Senin (8/9/2025). 

Tapi tunggu dulu, sebagian besar kenaikan itu berasal dari revaluasi aset senilai Rp48,46 triliun, itu angka di atas kertas yang hanya menghiasi laporan keuangan, bukan uang tunai yang bisa dipakai.

Di mata publik, ini mudah disalahartikan. Apalagi, laporan semacam ini bisa digunakan untuk menampilkan citra “PLN sehat” di tengah tuntutan pemerintah agar BUMN menyetor dividen besar ke APBN.

Permainan derivatif yang membingungkan

Publik juga dibuat bingung oleh klaim “pendapatan hedging Rp6,35 triliun” yang sempat ramai. 

"Faktanya, laporan resmi PLN menunjukkan kerugian kurs Rp6,78 triliun dan instrumen derivatif hanya mengurangi beban bunga sekitar Rp0,70 triliun," lanjutnya.

Secara akuntansi, pilihan metode pencatatan sah, tapi tanpa penjelasan jernih, masyarakat bisa saja mengira PLN panen laba, padahal kinerja operasionalnya tak seindah itu.

Dividen dari angka semu?

Pertanyaan besar muncul, apakah angka-angka di neraca akan dijadikan alasan untuk setor dividen jumbo? Kalau iya, negara sedang memanen “kertas”, bukan uang sungguhan. 

"Strategi seperti ini bisa menggerus keuangan PLN di masa depan karena beban depresiasi otomatis naik akibat revaluasi. Kemungkinan Direksi periode berikutnya akan linglung mirip BUMN Garuda Indonesia," katanya.

Temuan BPK sebagai peringatan yang terabaikan

Selama satu dekade terakhir, BPK berkali-kali memberi alarm soal PLN:

1. Subsidi listrik tak tepat sasaran karena data pelanggan berantakan.

2. Proyek pembangkit molor dan kelebihan bayar, menandakan lemahnya kontrol.

3. Pengadaan batu bara dan peralatan dengan harga tak wajar.

4. Piutang macet ke pelanggan besar yang tak tertagih.

"Semua ini membentuk gambaran bahwa PLN memang besar, tapi penuh titik rawan yang bisa jadi ladang penyalahgunaan wewenang," ungkapnya.

Potensi fraud dan tipikor

Kalau komunikasi resmi PLN terbukti menyesatkan publik atau investor, itu masuk kategori informasi menyesatkan menurut UU Pasar Modal. 

Bahkan, jika terbukti ada rekayasa untuk menggelembungkan ekuitas demi dividen atau bonus direksi, pintu tindak pidana korupsi terbuka lebar. 

"BPK dan OJK punya wewenang penuh untuk membongkar ini," tegasnya.

Langkah tegas yang dibutuhkan

1. OJK wajib memanggil Direksi PLN untuk jelaskan metode revaluasi, transaksi derivatif, dan semua komunikasi ke publik.

2. BPK harus melakukan audit investigatif khusus: apakah ada kebijakan keuangan yang merugikan negara.

3. Kementerian BUMN harus pastikan dividen tak diambil dari angka semu yang merugikan masa depan PLN.

4. Publik dan DPR perlu menuntut transparansi. Listrik adalah kebutuhan rakyat, bukan arena sulap keuangan.

Laporan keuangan PLN sah secara akuntansi, tapi keindahan angka bisa jadi “make-up” untuk menutupi masalah mendasar. Publik berhak tahu kebenaran di balik laporan triliunan rupiah ini. 

"Dalam audit, angka yang terlalu indah justru adalah alarm bahaya. Saatnya PLN buka data, agar perusahaan listrik rakyat ini tidak jadi panggung trik finansial," demikian Iskandar.

Topik:

PLN