Cari Muka di Balik Manisnya Impor Gula?

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 6 November 2024 11:34 WIB
Tom Lemong mengenakan rompi tahanan Kejagung (Foto: Dok MI)
Tom Lemong mengenakan rompi tahanan Kejagung (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI - Tom Lembong ditetapkan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai tersangka korupsi. Kasusnya, Tom Lemong memberikan izin impor gula mentah kepada perusahaan swasta, tanpa rekomendasi Kemendag.

Perusahaan Swasta, tidak berwenang impor gula mentah, yang merupakan kewenangan Bulog. Tom telah merugikan keuangan negara Rp 400 miliar.

Mantan Wakapolri Komjen (purn) Oegroseno meyakini unsur pemidanaan perkara korupsi yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) terhadap eks Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.

Oegroseno menilai pantas saja masyarakat menganggap kasus ini sebagai kriminalisasi, titipan, atau mencari muka terhadap rezim yang baru.

"Sekarang model kalau misalnya seseorang dijadikan tersangka. Kenapa harus jadikan saksi dulu lalu diperiksa-periksa? Berarti, kan, dia mengharapkan pengakuan. Padahal pengakuan tidak diatur di KUHAP Pasal 184".

"Karena salah satu alat bukti itu bukan keterangan tersangka. Ada keterangan saksi. Saksi itu yang melihat, mendengar, mengalami. Tetapi kalau Pak Tom Lembong ini saksi apa dia di situ? Saksi pembuat surat," kata Oegroseno, Senin (4/11/2024).

Di sisi lain, Kejagung mengklaim bahwa Tom Lembong sudah 3 kali diperiksa sejak tahun 2023. Tahun batas periode penyidikan kasus itu. Lalu, Kejagung juga mengklaim fokus pada dugaan rasuah yang terjadi pada tahun 2015-2016 atau era Menteri Perdagangan (Mendag) Tom Lembong. Kejagung juga menyatakan kasus ini tak bermuatan politis.

Kendati begitu, ekonom Anthony Budiawan menilai penetapan status tersangka terhadap mantan tim kampanye Capres Anies Baswedan itu bermotif politik, dengan memberi alasan cukup detil.

"Tuduhan jaksa kepada Tom Lembong sangat lemah, terkesan dicari-cari. Misalnya, Kejagung mengatakan tahun 2015 Indonesia mengalami surplus gula.  Faktanya tidak ada surplus," kata Anthony kepada Monitorindonesia.com, Rabu (6/11/2024).

Kejagung juga mengatakan tidak menemukan aliran dana ‘fee’ kepada Tom Lembong. Kejagung kemudian berkilah, korupsi tidak harus dapat aliran dana. Tuduhan Kejagung begitu lemah, mencerminkan sangat amatir, tidak profesional.

"Kok bisa? Saya kira hanya ada satu faktor yang bisa membuat Kejagung ‘konyol’ seperti itu. Yaitu, di bawah tekanan (politik). Kalau Kejagung di bawah tekanan politik, siapa aktornya? Untuk itu cuma ada dua kemungkinan, rezim lama atau rezim baru: Jokowi atau Prabowo," jelasnya.

Oegroseno juga mengatakan fenomena politik yang menjadikan hukum sebagai alat sangat kuat. Lawan politik dikriminalisasi agar tidak melawan. 

Tak hanya itu, dia menduga ada pihak yang ingin mencari muka agar mendapatkan posisi tawar kursi Jaksa Agung pada rezim yang baru ini. 

"Ada kemungkinan ini kan persaingan ketat ini, persaingan ketat untuk siapa yang menjadi Jaksa Agung. Salah satu cara adalah mungkin seolah-olah berprestasi. Berprestasi di sini, kan, tetapi kan caranya tidak sehat seperti itu. Kan, tidak profesional," bebernya.

Dia mengatakan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Febrie Adriansyah dan Jam yang lain seharusnya menjaga muruah Jaksa Agung sebagai pimpinan.

"Seharusnya kalau Jampidsus, mau Jam apa pun itu kan berpikir ke Jaksa Agung untuk sebagai lembaga. Jangan berpikir sebagai perorangan. Kan tidak sehat kalau bersaing-bersaing dengan cara gitu".

"Wah ini mau ada suksesi Kapolri, suksesi Jaksa Agung, suksesi apa pun. Terus dengan cara-cara mencari prestasi yang semua seperti itu kan tidak bagus. Tidak sehatlah ya," jelas Oegroseno.

Siapa di balik drama ini?

Banyak pihak menuding Prabowo di belakang penetapan tersangka ini. Bahkan ada satu media asing, SCMP, langsung menurunkan berita yang sangat mendiskreditkan Prabowo. 

Karena itu, Anthony mengira Prabowo tidak tahu apa-apa. "Saya menduga kuat, kalau ini memang bermotif politik seperti dugaan saya, maka tidak ada orang lain selain Jokowi di balik drama Tom Lembong," jelas Anthony.

Lantas apa alasan dan analisis Anthony soal itu? Anthony menyatakan bahwa surat perintah penyidikan (Sprindik) kepada Tom Lembong sudah dikeluarkan sekitar Oktober tahun lalu (2023) menjelang pilpres. 

"Ketika itu Tom Lembong ditunjuk sebagai tim sukses dan co-captain Anies-Imin. Apakah kebetulan? Hampir mustahil. Lah, kok tiba-tiba ada sprindik? Memang kapan penyelidikan dimulai?" lanjut Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) itu.

Anehnya, ujar Anthony, jaksa penyidik mengaku tidak tahu kapan penyelidikan kasus Tom Lembong dimulai, seperti pengakuan Abdul Qohar, Direktur Penyidik pada Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus, yang dimuat di berbagai media.

"Kita sudah tahap penyidikan satu tahun, artinya penyidikan sebelum itu (pilpres). Saya tidak punya data ini mulai kapan (penyelidikan), tapi yang pasti sistem dari penyidikan adalah penyelidikan, itulah tahap yang telah diatur dan ditentukan dalam KUHAP, cukup ya," kata Qohar.

Kemudian kasus Tom Lembong ini, kata dia, nampaknya mengendap. "Hampir satu tahun sejak sprindik diterbitkan, Tom Lembong tidak pernah diperiksa. Akhirnya, pada 8 Oktober 2024, Tom Lembong diperiksa sebagai saksi untuk pertama kalinya".

"Ketika itu, Jokowi masih berkuasa dan bisa mendesak Kejagung mempercepat proses ‘tersangkakan’ Tom Lembong. Artinya, Prabowo ketika itu tidak dalam posisi bisa minta mengusut Tom Lembong. Setelah itu, pemeriksaan kepada Tom Lembong memang dipercepat, super cepat, setiap minggu," ungkapnya.

Pemeriksaan kedua dilakukan pada 16 Oktober 2024, pemeriksaan ketiga pada 22 Oktober 2024, dan pemeriksaan keempat pada 29 Oktober 2024, sekaligus menetapkan Tom Lembong tersangka kasus impor gula 2015, dan langsung ditahan.

Mencermati kronologi ini, beber dia, hampir mustahil Prabowo berada di belakang drama Tom Lembong. Artinya, secara otomatis, dugaan aktor drama ‘tersangkakan’ Tom Lembong tertuju pada Jokowi. Tidak bisa lain.

"Nampaknya, skenario ini bagian dari design besar. Seperti pepatah bilang, sekali tepuk dua lalat, sekali dayung dua pulau terlampaui," cetusnya.

Artinya, menangkap Tom Lembong sebagai orang penting di kubu oposisi, sekaligus diskreditkan Prabowo di awal kekuasaannya agar dianggap ‘otoriter’, untuk membenarkan pendapat sebagian orang yang masih beranggapan Prabowo memang seperti itu.

Adapun dugaan “bukan Prabowo tapi Jokowi” diperkuat dengan adanya tulisan di media asing asal China, South China Morning Post (SCMP), dengan judul keras mendiskreditkan Prabowo: Indonesia’s Prabowo Playing Constitutional Hardball Arresting Widodo Critic / ‘Constitutional hardball?’ Beyond the arrest of Indonesia ex-minister Thomas Lembong. [https://www.scmp.com/week-asia/politics/article/3284835/indonesias-prabowo-playing-constitutional-hardball-arresting-widodo-critic https://fajar.co.id/2024/11/02/media-china-soroti-penangkapan-tom-lembong-jokowi-hingga-prabowo-disebut-sebut/]

Kini Kejagung berkukuh dapat menjerat Tom Lembong atas dugaan menyalahgunakan kewenangannya mengizinkan impor gula pada 2015 lalu. 

Meski belum diketahui adanya aliran dana dari perbuatan korupsi, Kejaksaan meminta semua pihak untuk mengedepankan asas praduga tak bersalah. 

"Saya minta kita hormati bersama-sama asas praduga tidak bersalah. Kita ikuti nanti sama-sama di sidang pengadilan, bagaimana pelaksanaannya dan apa putusannya," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar.

Atas penetapan tersangka ini, Tom Lembong melalui tim kuasa hukum telah mengajukan permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pengajuan praperadilan dilakukan untuk membatalkan status tersangka dan membebaskan penahanan Tom Lembong. 

Sementara itu, Kejagung menegaskan bahwa korupsi tidak melulu terkait aliran uang, apalagi jika kasusnya terkait dengan kebijakan. "Apakah harus ada aliran dana dulu, baru disebut sebagai tindak pidana korupsi?" kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar. 

Kejanggalan izin sejak kapan?

Indikasi kejanggalan dalam proses penerbitan izin importasi gula diduga telah menjadi sorotan sejak tahun 2017 lalu. 

Pada waktu itu, Badan Pemeriksa Keuangan alias BPK dalam pemeriksaan Semeter 1/2017 menemukan sejumlah kejanggalan baik itu untuk importasi gula kristal putih alias GKP maupun gula kristal mentah atau GKM.   

Pertama, jumlah alokasi impor untuk komoditas gula kristal putih tahun 2015-semester 1 2017 yang ditetapkan dalam persetujuan impor tidak sesuai dengan data kebutuhan dan produksi dalam negeri. 

Kedua, persetujuan impor terhadap 1,69 juta ton selama tahun 2015-semester 1/2017 tidak melalui rapat koordinasi. Ketiga, penerbitan gula kristal mentah alias GKM kepada PT AG dalam rangka uji coba kegiatan industri sebanyak 108.000 ton tidak didukung data analisis kebutuhan. 

Sementara itu, pihak Kejagung menyebut perkara Tom Lembong terkait dengan pemberian izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 350.000 ton pada 2015. 

Padahal, saat itu Indonesia sedang mengalami surplus gula. Hasil rapat koordinasi antara kementerian pada 12 Mei 2015 silam menyimpulkan Indonesia surplus gula sehingga tidak membutuhkan impor dari luar negeri. 

Akan tetapi, Tom Lembong yang saat itu menjabat Mendag pada 2015-2016 justru memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah kepada perusahaan swasta.  

Di sisi lain, peraturan yang ada yakni Keputusan Menteri Perdagangan dan Perindustrian No.257/2004 mengatur bahwa impor gula kristal hanya boleh diimpor oleh BUMN. Namun, pada izin persetujuan yang dikeluarkan oleh Tom, impor itu dilakukan oleh swasta PT AP. 

"Dan impor gula kristal tersebut tidak melalui rapat koordinasi atau rakor dengan instansi terkait serta tanpa adanya rekomendasi dari Kementerian Perindustrian guna mengetahui kebutuhan riil gula di dalam negeri.” 

Selanjutnya, pada 28 Desember 2015, Kementerian-Kementerian di bawah Kemenko Perekonomian menggelar rapat ihwal Indonesia yang disebut bakal mengalami kekurangan gula kristal putih sebanyak 200.000 ton di 2016. Pemerintah pun menggelar rapat untuk membahas stabilisasi harga gula dan pemenuhan stok gula nasional. 

Pada rentang waktu November-Desember 2015, tersangka CS selaku Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI memerintahkan P, selaku Staf Senior Manajer Bahan Pokok PT PPI untuk melakukan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula. 

Padahal, menurut versi Kejagung, impor yang boleh dilakukan untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga seharusnya gula impor putih, dan hanya boleh dilakukan oleh BUMN. 

Tidak hanya itu, izin industri 8 perusahaan swasta yang mengelola gula kristal mentah menjadi gula kristal putih itu sebenarnya adalah produsen gula kristal rafinasi untuk industri makanan, minuman dan farmasi. Setelah impor dilakukan oleh kedelapan perusahaan, PT PPI seolah-olah membeli gula tersebut. 

Padahal, Kejagung menduga senyatanya gula itu dijual oleh perusahaan swasta ke pasaran atau masyarakat melalui distributor yang terafiliasi dengannya.  

Harga yang dipatok untuk gula itu yakni Rp16.000 per kg, atau lebih tinggi dari HET saat itu Rp13.000 per kg dan tidak dilakukan operasi pasar. Alhasil, PT PPI berhasil mendapatkan fee sebesar Rp105 per kg dari delapan perusahaan yang melakukan importasi dan pengolahan gula kristal mentah ke gula putih tersebut. 

Dugaan kerugian negara lebih dari Rp400 miliar. 

“Ada dua alat bukti lalu apa yang menjelaskan itu tentunya sudah disampaikan ada 90 orang saksi disitu sudah diperiksa. Kemudian ada surat ya ada keterangan ahli yang semuanya itu nanti tentu akan dibuka di persidangan," kata Harli.

Topik:

korupsi-impor-gula tom-lembong