Sedap! Ratakan Bukit Bandara Toraja Telan Anggaran Negara Rp 900 Miliar (2)

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 17 Januari 2024 14:00 WIB
Kepala Bandara Toraja, Anas Labakara (Foto: Dok MI)
Kepala Bandara Toraja, Anas Labakara (Foto: Dok MI)

Jakarta, MI -  Bandara Udara (Bandara) Buntu Kunik, Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel) dibangun di atas tanah seluas 141 hektar dengan panjang landasan pacu pada tahap awal sepanjang 1.600 meter yang bisa didarati pesawat jenis ATR, kemudian apron seluas 94,5 x 67 meter dan taxiway 124,5 x 15 meter. Luas bangunan terminal sekitar 1.000 meter persegi yang mampu menampung 150 penumpang.

Kini Bandara Toraja sudah selesai dan bisa difungsikan secara optimal oleh masyarakat Toraja. Untuk saat ini, jam terbangnya setiap hari dengan rute Toraja - Makassar dan Toraja-Balikpapan. 

"Untuk anggaran pembangunan saat itu secara total kurang lebih Rp 820 miliar, tapi saat itu kami harap ada penambahan. Secara keseluruhan Rp 900 miliar, tetapi tidak secara keseluruhan itu dihitung berdasarkan kontrak," ujar Kepala Bandara Toraja, Anas Labakara yang juga Pimpro saat berbincang dengan Monitorindonesia.com, di Jakarta Pusat, Rabu (17/1) siang.

Tetapi, kata Anas, dari keseluruhan anggaran sudah termasuk penghematan dan pengembalian yang berdasarkan audit BPK dan BPKP saat itu.

"Ada penghematan, ada pengembalian juga, kalau dihitung setelah dikurangi pengembalian kemudian ada penghematan, setelah ditagih kontraktor, namanya kan ada audit dari BPK dan BPKP, tapi kalau anggaran pembangunan untuk Toraja itu tertuang secara elektronik," katanya.

Ia menjelaskan bahwa selama proses pembangunan proyek itu, ada pendampingan dari pihak Kejaksaan dan pihak terkait. "Jadi pembangunan proyek Bandara Toraja itu ada pendampingan juga dari Kejaksaan. Artinya kita menjaga juga, Kejaksaan itu dari Kejari, Kejati, yang juga merupakan bagian daripada pengawasan," jelasnya.

Menurutnya, membangun Bandara Toraja itu harus meratakan perbukitan terlebih dahulu dengan anggaran ratusan miliar rupiah. Anas mengklaim dengan anggaran seperti itu merupakan hal yang wajar.

"Sementara soal kondisi tanah disana itu, meratakan gunung saja dengan anggaran tadi sampai Rp 800 miliar, kalau menurut saya itu wajar. Jadi gini kalau dihitung kasar volume tanah itu 6 juta kubik yang digeser atau dipindahin, sekarang kita hitung kasar saja dikali Rp 100 ribu saja harga satuan Rp 100 ribu, itu sudah murah sekali," bebernya.

Jika Rp 100 ribu dikalikan dengan 6 juta kubik, maka hasilnya Rp 600 miliar. "Memang kalau kita melihat Tojara itu dia membangun Bandara di daerah perbukitan, bukan di daerah rata, kalau mau disamakan dengan daerah rata tidak begitu anggarannya," katanya menjelaskan.

Menurutnya, Toraja itu membangun bandara dengan tingkat kesulitannya yang tinggi. Jadi harus merubah struktur alam dari perbukitan menjadi rata.

"Disana itu dua perbukitan yang melintasi, tanahnya lembung, memang tingkat kesulitannya itu tinggi memang harus diimbangi, kalau dilihat dari luar, kenapa ini itu, tapi mereka tidak paham soal itu," ungkapnya.

Di lain sisi, perlu diketahui bahwa berdasarkan penelusuran Monitorindonesia.com, perusahaan yang mengerjakan proyek itu pun patut dipertanyakan. Pasalnya, perusahaan yang menempati kantor dengan ukuran seperti kost-kostan bisa menang tender sekelas proyek pada Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

"Kalau perusahaan yang mengerjakan itu, itukan sudah melalui proses, ada namanya penelitian ada namanya pengecekan lokasi, ketika dia memenangkan tender itu, berarti sudah melalui tahap evaluasi," tuturnya.

Lantas apakah yang mengerjakan proyek di Kemenhub itu kantor perusahaannya seperti kosan itu bisa?

"Oh tidak seperti itu, jadi kita bicara Toraja sekarang yang dikerjakan Kemenhub. Perusahaan itu hanya seperti kost-kostan. Sebenarnya yang menentukan kualitas perusahaan kan ada LPJK, itu tanya ke LPJK. Ini bentul nggak perusahaan ini masuk kualifikasi besar, kan ada parameter-parameternya, bukan hanya melihat gedungnya," jelasnya.

"Bisa jadi hari ini dia bisa pindah gedung A, besok pindah ke gedung B, kan itu tidak ada masalah tapi dia sudah melalui kualifikasi besar atau kecil, ada kualifikasi itu," timpalnya.

Menurutnya, perusahaan itu tentunya telah diproses oleh kelompok kerja atau pokja. "Ketika kita terima di lapangan, kita klarifikasi ulang, kita lihat, kan mereka ada struktur kan melaksanakn proyek itu," katanya.

"Ada orang lapangannya, ada alatnya yang datang, itukan teknis dia, mungkin seperti yang dibilang tadi bahwa ukuran kantor seperti kost-kostan, kalau menurut saya tidak masuk akal juga."

Dijelaskannya, penentuan perusahaan yang mengerjakan proyek Bandara Toraja itu merupakan urusan Dirjen Perhubungan Udara. "Setelah menang (tender), baru diserahkan ke saya, saya hanya bertanggung jawab dalam pelaksanaan saja. Dalam pelaksanaan itu kan tugas PPK itu, kalau proses lelang ya saya tidak ikut campur disitu," katanya.

"Namun urusan teknis itu memang urusan saya. Juga menetapkan harga perkiraan sendiri (HPS), setelah itu proses pemilihan diserah kepada PPK. Intinya saya hanya pelaksana di lapangan, memastikan pengerjaan itu berjalan aman dan bagus gitu, disitu fungsi PPK," tandasnya.

Telan APBN Rp 1,4 Triliun

Diketahui, bahwa dalam kurun waktu 2013-2021, Kemenhub mengucurkan anggaran sebesar Rp 1,4 triliun untuk membangun Bandar Udara (Bandara) Buntu Kunik, Toraja, Sulawesi Selatan.

Anggaran fanstatis tersebut dinilai sangat jomlang dengan kondisi real bandara setelah diresmikan Presiden Joko Widodo alias Jokowi.

Sebelum tahun 2013, anggaran untuk pembangunan Bandara Buntu Kunik sudah dikucurkan. Terlihat dari adanya Pekerjaan Tanah bandara baru Buntu Kunik lanjutan  Tahun 2013 yang dilaksanakan oleh PT. Putra Jaya. Tahun tahun berikutnya juga selalu dikucurkan anggaran untuk melanjutkan pembangunan bandara tersebut.

Anggaran Bandara Toraja Sejak Tahun 2013 hingga Tahun 2021
 

https://monitorindonesia.com/storage/media/photos/0830c4d0-fd06-4b6c-bdfe-f0caa19cf501.jpg

 

https://monitorindonesia.com/storage/media/photos/58dbf178-d28a-496d-bdb6-52c214e8147b.jpg

https://monitorindonesia.com/storage/media/photos/295c6217-256d-40a5-a010-bc949b3e0fd5.jpg

"Sekalipun anggaran cukup besar setiap tahunnya, progres tidak sebanding dengan banyaknya anggaran yang dikucurkan," ujar aktivis antikorupsi dari Indonesia Corruption Observer Order Gultom kepada Monitorindonesia.com di Jakarta, Rabu (10/1).
 
Order menyebut, pekerjaan sisi darat Tahap II dan Pemotongan Obstacle Tahun Anggaran 2020, tidak terdapat Bill of Quantity. Dengan demikian, tidak dapat dipahami bagaimana kontraktor PT. Inter Persada Electro Nusantara) mengajukan penawaran  sebesar Rp 96, 6 miliar.

"Kita juga tidak tahu bagaimana pula Pokja dan Pejabat Pembuat Komitmen menguji dan menganalisa kewajaran harga penawaran tersebut. Dalam Pekerjaan Pemasangan Bronjong TA 2020 yang juga dimenangkan oleh PT. Inter Persada Electro Nusantara dengan penawaran sebesar Rp. 47.163.236.117,00 (96,74 %), tidak terdapat rincian BQ (bill of qunatity)," jelas Order.
 
PT. Inter Persada Electro Nusantara, sesuai lpjk.net, miliki sub bidang, Pekerjaan Tanah, Galian dan Timbunan (SP 004). Perusahaan ini bahkan diduga tidak memiliki sub bidang yang berkaitan dengan bangunan gedung. 

"Dengan demikian, karena tidak memiliki Sub Bidang Gedung, PT. Inter Persada Electro Nusantara, tidak memiliki pengalaman dalam membangun gedung dan tidak layak memenangkan lelang," paparnya.
 
Order mengatakan, pemenang lelang sengaja dibuat bergantian oleh Kemenhub dengan pengusaha yang  sama.
 
Dokumen lelang Pekerjaan Lanjutan Konstruksi Runway Tahun Anggaran 2020 yang dimenangkan oleh PT.Cipta Agar Utama (satu satunya perusahaan yang memasukkan penawaran) dengan penawaran Rp. 47.683.252.600, tidak  mencantumkan Daftar Kuantitas dan Harga (Bill of Quantity) sebagaimana lajimnya dokumen lelang. 

Hal ini tentu mengundang tanda tanya, wujud pekerjaan tersebut ditengah besarnya anggaran yang dikucurkan dalam membangun bandara Toraja tersebut. Kondisi itu makin menguatkan adanya pekerjaan yang tumpang tindih dalam pelaksanaannya. Sehingga perlu dikaburkan dengan cara tidak menyebutkan BQ dalam dokumen lelang.
 
Dari hasil penelusuran Monitorindonesia.com, total anggaran yang dikucurkan Dirjen Perhubungan Udara sejak 2013 hingga tahun 2021 telah mencapai  hingga Rp. 1,439 triliun.  Anggran tersebut tidaklah sedikit. 

"Dibandingkan dengan realita saat ini, patut diduga, anggaran yang menguap cukup besar. Penguapan tersebut diperkuat adanya lelang tanpa Bill of Quantity. Seakan pekerjaan tersebut tidak perlu lagi dikerjakan dan hanya melakukan penagihan saja," papar Order Gultom lagi.
 
Berbeda dengan Dokumen Lelang Pekerjaan Sisi Darat Tahap II dan Pemotongan Obstacle Tahun Anggaran 2020 dan Pekerjaan Pekerjaan Lanjutan Konstruksi Runway, Tahun Anggaran 2020. Dokumen Lelang Pekerjaan Pemasangan Bronjong di atas box culvert STA 0+400 tahun Anggaran 2019, dilengkapi dengan Bill of Quantity. 

"Perbedaan yang sulit dipahami jika tidak ada kepentingan pihak pihak tertentu yang terbungkus di dalamnya. Pekerjaan cut and fill berikut pemadatan bandara ini sangat besar," tandasnya.

Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub, Maria Endah Krist,i masih enggan memberikan komentar terkait besarnya anggaran yang dikucurkan ke Bandara Toraja. Pesan WhatsAap yang dikirimkan Monitorindonesia.com pun tak dibalas. (Tim)

Topik:

bandara-toraja kemenhub dirjen-perhubungan-udara kepala-bandara-toraja anas-labakara proyek-bandara-toraja buntu-kunik toraja sulawesi-selatan bukit-bandara-toraja