KPK Diminta Ambil Alih Kasus Pengadaan Antigen Kemenkes dari Kejagung

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 20 Januari 2024 02:03 WIB
KPK diminta mengambil alih kasus dugaan korupsi pengadaan rapid diagnostic test antigen Rp 95 miliar dari Kejagung (Foto: MI/Net/Ist)
KPK diminta mengambil alih kasus dugaan korupsi pengadaan rapid diagnostic test antigen Rp 95 miliar dari Kejagung (Foto: MI/Net/Ist)

Jakarta, MI - Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK diminta mengambil alih kasus dugaan korupsi pengadaan rapid diagnostic test antigen (RDT-Ag) yang merugikan negara Rp 95 miliar dari Kejaksaan Agung (Kejagung). 

Pasalnya, kasus dugaan korupsi yang dilaporkan Forum Rakyat Bicara Peduli Pembangunan dan Kesehatan Masyarakat (Forbi PPKM) pada beberapa waktu lalu itu, hingga kini tak kunjung ditindaklanjuti.

Belum diketahui apa sebabnya, apakah mungkin karena Jaksa Agung, ST Burhanuddin telah menginstruksikan anak buahnya untuk menunda proses hukum para peserta Pemilu 2024 selama gelaran pesta demokrasi itu berlangsung, mulai dari calon anggota legislatif, kepala daerah, hingga calon presiden dan wakilnya, atau sebab lainnya.

Namun yang jelasnya, instruksi tersebut dinilai menunjukkan “proses politik menegasikan penegakan hukum“. Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) sempat menyesalkan memorandum Jaksa Agung itu karena “seharusnya hukum dijadikan panglima, jangan di bawah ketiak politik“.

Berbeda dari Kejagung, KPK menyatakan proses hukum yang melibatkan peserta pemilu tetap akan berlangsung. Terbukti, dengan menjerat mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) sebagai tersangka korupsi di Kementan. Tercatat bahawa SYL sempat sebagai caleg DPR RI untuk dapil Sulsel 1 dari partai Nasional Demokrat (NasDem).

Tak terkecuali dengan kasus dugaan kasus korupsi Alat Pelindung Diri (APD) Covid-19 di Kementerian Kesehatan. Lagi-lagi, KPK menunjukkan taring-taringnya mengusut dugaan rasuah menjelang pemilu 2024.

Kasus dugaan rasuah Rp 3,03 triliun ini telah naik ke tahap penyidikan. Bahkan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan sudah menetapkan tersangka di kasus itu.

"Pengadaan APD apa sudah ada tersangka? Ya sudah ada," kata Alexander dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Kamis (9/11).

Maka dengan demikian, sesuai harapan masyarakat atau pelapor kasus dugaan korupsi pengadaan rapid diagnostic test antigen (RDT-Ag) itu, KPK diharapkan dapat mengambil alih. 

Hal ini sesuai dengan wewenang yang diatur Pasal 6 huruf d UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi terkait teknis pelaksanaan supervisi KPK. 

Bahwa KPK bertugas melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Bukan tanpa latar belakang, soalnya tercatat bahwa KPK telah mengambil alih sebanyak 27 kasus dari Kejagung selama tahun 2022 lalu. Dari jumlah itu, 25 di antaranya merupakan kasus yang belum selesai dari tahun 2021.

Sebagaimana diberitakan Monitorindonesia.com, bahwa Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengadakan jutaan rapid diagnostik test antigen (RDT-Ag) tahun anggaran 2021. 

Kemenkes saat itu menunjuk PT SBI melalui distributornya PT ZPN, menawarkan Rapid test Merk Biosensor. PT SBI itu telah tayang di e-katalog. 

Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan memesan RDT-Ag merk Biosensor dari PT SBI melalui distributornya PT. ZPN sebanyak 3.009.325 test Tahun 2021 saat Covid 19 mengganas. Harganya, Rp 81.986 per tes termasuk PPN atau Rp 74.538 sebelum PPN.

Harga inilah yang dituding oleh LSM Forbi PPKM terjadi permahalan harga. Sehingga berpotensi merugikan Negara Rp 95 miliar. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Dunia yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup Anak dan Wanita (UNICEF) turut membantu Indonesia mengatasi Covid-19.

Kedua organisasi dunia itu tercatat menyumbang RDT Ag merk Biosensor kepada Indonesia. Namun menurut Mikler Gultom, harganya jauh dibawah harga kontrak PT. ZPN kepada pemerintah. 

Harga RDT-Ag Merk Biosensor bantuan Hibah WHO dan UNICEF hanya Rp 41.239 dan Rp 42.952. Sangat jauh dibawah harga Biosensor yang dijual oleh PT SBI atau PT ZPN kepada Kemenkes sebesar Rp 81.986 per tes termasuk PPN atau Rp 74.538 sebelum PPN.

"Inilah yang kami desak untuk diusut oleh Kejaksaan Agung Pidana Khusus,” kata Mikler pada beberapa waktu lalu.

Mikler menambahkan bahwa PT CUL, perusahaan lain yang ditunjuk Kemenkes dalam Pengadaan RDT Ag, diduga beralamat fiktif.  Bahkan, surat yang dikirim lewat Pos, tidak sampai ke PT CUL. Surat pun kembali ke kantor Forbi PPKM.

“Saat kami survey, alamatnya ditemukan. Tapi kantor PT CUL tidak ada. Diduga ‘fiktif.’ Tidak ada kantor perusahaan pada alamat yang tertera di e-katalog. Padahal kontraknya mencapai hingga Rp 117 miliar (1,5 juta test). Hal ini juga harus diusut oleh Kejaksaan Agung,” kata Mikler.

Namun sayangnya, hingga saat ini Kejagung belum menindaklanjuti laporan tersebut.

Terkait dugaan rasuah ini, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, ketika dikonfirmasi Monitorindonesia.com pada Rabu (4/10) lalu belum memberikan respons. 

Sementara Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan, Kemenkes, Prima Yosephine bungkam. "Saya lagi di luar kota pak," singkat Prima Yosephine menjawab pesan WhatsAap Monitorindonesia.com pada beberpa waktu lalu.

Temuan BPK

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat pengadaan rapid diagnostic test antigen (RDT-Ag) di Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan melebihi kebutuhan hingga senilai Rp314,9 miliar. 

Laporan mengenai kelebihan kebutuhan itu terangkum dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2021 yang dipublikasikan BPK pada Selasa (24/5/2022). 

Adapun lembaga autidor negara itu juga melaporkan adanya kelebihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan/dan atau barang meliputi kelebihan pembayaran atas pengadaan barang/jasa pada Kemenkes sebesar Rp170,73 miliar. "Termasuk  kelebihan pembayaran atas pengadaan barang/jasa pada BNPB sebesar Rp9,041 miliar," tulisa laporan itu. (wan)