Revisi UU TNI Berpotensi Kembalikan Dwifungsi ABRI

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 2 Maret 2025 21:39 WIB
Atraksi prajurit TNI saat gladi bersih HUT TNI di Monas, Jakarta, Kamis (3/10/2024). Gladi bersih dalam rangka HUT ke-79 TNI digelar di Monumen Nasional (Monas) pada 5 Oktober 2024, diwarnai defile dan atraksi dari para prajurit
Atraksi prajurit TNI saat gladi bersih HUT TNI di Monas, Jakarta, Kamis (3/10/2024). Gladi bersih dalam rangka HUT ke-79 TNI digelar di Monumen Nasional (Monas) pada 5 Oktober 2024, diwarnai defile dan atraksi dari para prajurit

Jakarta, MI - Peneliti Senior Imparsial Al Araf menyoroti beberapa muatan dalam revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Sebab, dinilai hendak mengembalikan dwi fungsi ABRI karena memperbolehkan militer aktif duduk di jabatan sipil.

“Militer itu dilatih dan direkrut serta dipersiapkan untuk perang. Itu alasan dibuatnya militer, tidak ada fungsi yang lain, sesungguhnya tugs militer hanya itu. Di dalam negara demokrasi, militer itu harus ahli dalam bidangnya dan harus profesional,” kata Al Araf, Minggu (2/3/2025).

Namun, revisi UU TNI justru melemahkan profesionalisme militer lantaran beleid tersebut tidak didorong untuk membangun tentara yang profesional dalam menghadapi ancaman perang sebagai alat pertahanan negara. Tetapi menarik militer kembali untuk menduduki jabatan sipil.

“Dalam pasal 47 justru militer bisa menduduki jabatan-jabatan sipil, menurut saya ini salah dan keliru. Artinya ini mendukung dwifungsi ABRI seperti zaman orde baru bahwa militer tidak hanya terlibat dalam kegiatan pertahanan tetapi juga kegiatan sipil,” jelas dia. 

Al Araf menilai, jika militer aktif dapat menduduki jabatan sipil, maka akan berimplikasi pada orientasi kerja dan melemahkan profesionalisme TNI. 

“Ketika militer aktif menduduki jabatan sipil, ini akan mengganggu mekanisme birokrasi sipil karena merit sistem tidak berjalan. Dan dalam konteks reformasi pertahanan, akan memundurkan proses transformasi militer,” katanya.

Persoalan lain dalam RUU TNI yang harus diperhatikan adalah mengenai pasal 7 ayat 2 terkait dengan pencabutan kewenangan Presiden untuk mobilisasi, perluasan jenis Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dan jabatan sipil. Menurutnya, hal ini berpotensi menjadi pasal kudeta. 

“TNI bisa melakukan operasi militer selain perang tanpa melalui putusan politik negara, bagaimana bisa presiden dinafikan dan diabaikan dalam operasi militer selain perang? Ini bisa menjadi pasal kudeta karena tidak ada indikator kapan dan dalam situasi apa militer akan beroperasi, akan bahaya karena ukurannya tidak melalui otoritas politik negara dalam hal ini presiden,” katanya.

Topik:

UU TNI TNI