Bukan Tugas Negara, Tapi Minta Dilayani: Staf KBRI Ungkap Ulah Pejabat dan Keluarganya di Luar Negeri

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 11 Juli 2025 08:49 WIB
Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman (Foto: Repro)
Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), Maman Abdurrahman (Foto: Repro)

Jakarta, MI - Perilaku sejumlah pejabat Indonesia yang memanfaatkan fasilitas kedutaan untuk keperluan pribadi menjadi sorotan. Sejumlah staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di luar negeri mengungkapkan bahwa permintaan agar keluarga pejabat "dilayani" sudah menjadi praktik yang berlangsung selama bertahun-tahun.

"Ada juga pejabat yang tidak menjalankan tugas negara atau dinas ke luar negeri tapi tetap meminta fasilitas dari KBRI," kata salah-seorang staf KBRI kepada Media, dikutip Jumat (11/7/2025).

Pengakuan ini muncul setelah mencuatnya kasus permintaan fasilitas diplomatik oleh seorang menteri kepada enam KBRI dan satu KJRI, yang tersebar luas di media sosial pada Kamis (3/7/2025). 

Dalam surat berkop Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), pejabat tersebut meminta agar istri Menteri UMKM didampingi oleh staf perwakilan RI dalam sebuah acara di luar negeri.

'Walau bukan tugas negara, kami tetap layani'

Para staf tersebut menceritakan pengalaman mereka dalam melayani kebutuhan pejabat maupun keluarganya. Namun, demi alasan keamanan, mereka meminta agar identitasnya tidak dipublikasikan.

Salah satu staf menganggap praktek "melayani pejabat" itu sebagai suatu yang normal setelah bertahun-tahun bekerja di lingkungan tersebut. Sebab pada dasarnya, para staf hanya menjalankan perintah, ujar salah-seorang di antaranya.

Meski permintaan tersebut tidak selalu berkaitan dengan urusan resmi atau tugas kenegaraan, staf tersebut menyebutkan bahwa selama disampaikan secara formal, mereka menganggapnya sebagai bagian dari tanggung jawab.

"Kami kan abdi negara yang diharapkan dapat memberikan pelayanan prima kepada seluruh elemen masyarakat Indonesia," ujarnya, ketika dikonfirmasi mengenai tugas pokok dan fungsinya.

"Jadi ya apapun permintaannya, kami jalani dengan sepenuh hati. Jangan sampai ada yang merasa tidak diperhatikan oleh Perwakilan RI di luar negeri," sambungnya.

Di sisi lain, seorang staf lain menuturkan bahwa tidak sedikit pejabat yang membawa serta anggota keluarganya saat melakukan perjalanan dinas ke luar negeri.

Selama pejabat bertugas, keluarga akan ditemani oleh persatuan dharma wanita untuk berjalan-jalan atau berbelanja. Si pejabat, kata dia, akan diajak jalan dan makan-makan setelah tugas selesai.

Ada juga pejabat yang tidak menjalankan tugas negara atau dinas ke luar negeri tapi tetap meminta fasilitas dari KBRI.

"Mereka itu 'memakai' jasa para staf bahkan di luar jam kerja, misal menemani dinner atau saat akhir pekan dipakai mengajak mereka jalan-jalan atau belanja. Pakai mobil KBRI karena enggak mungkin mereka sewa mobil di negara setempat," terangnya.

Tanggapan Menteri UMKM

Di sisi lain, Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman memberikan klarifikasi usai mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (4/7/2025).

Maman menegaskan bahwa dirinya tidak pernah memberikan instruksi kepada staf kementeriannya untuk menerbitkan surat tersebut.

Ia menjelaskan bahwa kepergian sang istri ke Eropa bertujuan mendampingi anak mereka yang mengikuti misi budaya rutin yang diselenggarakan oleh sekolah.

Selama proses perjalanan, Maman mengatakan bahwa istri dan anaknya tidak menggunakan fasilitas negara dan seluruh biaya dibayarkan melalui rekening pribadi istri.

Seluruh kebutuhan, mulai dari tiket pesawat, akomodasi, transportasi hingga sopir, telah dibayar pribadi dan dipesan melalui agen perjalanan jauh sebelum keberangkatan.

Ia menyebut, Istri dan anaknya sudah sampai negara tujuan pertama sejak 29 Juni 2025, sedangkan surat itu tertanggal 30 Juni 2025.

Ahli hukum tata negara Bivitri Susanti kemudian berbagi pengalaman ketika berada di luar negeri dan melihat ada staf KBRI sibuk menggeret koper pejabat yang sedang berbelanja di factory outlet.

"Mereka belanja seenak-enaknya dimasukin koper. Yang tukang geret, tukang cariin restoran pegawai kementerian yang jadi kayak pelayan."

Untuk itu, Bivitri menegaskan penggunaan kop surat kementerian atau lembaga negara bukan sekadar logo tapi memiliki nilai instruksi.

"Mereka enggak bisa berdalih ini sebenarnya cuma pemberitahuan aja seperti fyi gitu. Karena penggunaan kop surat itu sebenarnya sudah mengandung perintah kalau kita bicara lembaga pemerintahan," ujar Bivitri.

Budaya feodalisme, lanjut dia, yang masih melekat di kalangan pejabat dan para aparatur sipil negara membuat hal semacam ini bertahan dan mengakibatkan kejadian serupa berulang kali.

Meski ada aturan, para pegawai atau staf tidak kuasa menolak. Apalagi jika sudah berbekal 'surat sakti' tadi.

Bivitri menilai praktik semacam ini mencerminkan bentuk “katebelece”, yakni penggunaan jabatan untuk secara tidak langsung memerintahkan orang lain memberikan fasilitas tertentu.

Ia menambahkan, pernyataan Menteri UMKM yang mengaku tidak tahu-menahu soal surat tersebut justru memperlihatkan kuatnya budaya feodalisme. "Di negara kita, ada juga kebiasaan bawahan ini semacam ingin memberikan servis," kata Bivitri.

Ahli hukum administrasi negara dari UGM Oce Madril juga menegaska penggunaan surat berkop kementerian atau lembaga negara untuk hal di luar tugas negara atau kedinasan merupakan sesuatu yang keliru dan dilarang dari sisi administrasi pemerintahan.

Sebelumnya, kasus penyalahgunaan kop surat kementerian untuk kepentingan pribadi juga pernah terjadi. Salah satunya melibatkan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal, Yandri Susanto, yang menggunakan surat resmi untuk acara keluarga.

Pada 2016, Fadli Zon, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua DPR, juga tercatat mengirimkan surat berkop Sekretariat Jenderal DPR kepada Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat dan Konsul Jenderal RI di New York agar menjemput dan mendampingi anaknya yang mengikuti pelatihan teater.

Di tahun yang sama, anggota DPR dari Fraksi Gerindra, Rachel Maryam, juga diketahui mengirim surat kepada KBRI Paris. Ia memohon bantuan penjemputan dan fasilitas transportasi untuk dirinya dan keluarganya yang berjumlah enam orang selama kunjungan ke Paris.

Topik:

staf-kbri pejabat surat-dinas etika-pejabat