Kuasa Gelap DFK: Demokrasi = Berkomentar Bebas?

Josef Herman Wenas, Analisis Intelijen

Josef Herman Wenas, Analisis Intelijen

Diperbarui 29 Oktober 2024 21:44 WIB
Josef Herman Wenas, Analisis Intelijen (Foto: Istimewa)
Josef Herman Wenas, Analisis Intelijen (Foto: Istimewa)

BAGI saya, apa yang dipertontonkan oleh BEM FISIP Universitas Airlangga adalah DFK (Disinformasi, Fitnah dan Kebencian) yang bersembunyi dibalik wajah kaum intelektual (mahasiswa). Alasannya?

Pertama, substansi yang mereka sampaikan merupakan ASUMSI bukan FAKTA. Kedua— sebagai konsekuensi dari poin pertama— maka pilihan GRAFIS dan KATA pada papan bunga mereka pun tone-nya menjadi pelecehan atau penghinaan. 

Ekspresi BEM FISIP Universitas Airlangga ini melulu emosional, sama sekali tidak intelektual. Sebab ini bukan KRITIK, tetapi BLACK CAMPAIGN. Kita tahu, black campaign adalah musuh demokrasi, sedangkan kritik adalah sahabat demokrasi. 

BLACK CAMPAIGN dilakukan dengan membuat suatu isu atau gosip yang ditujukan kepada pihak lawan, tanpa didukung fakta atau bukti yang jelas (alias fitnah). Karena ini fitnah, maka black campaign— yang adalah DISINFORMASI— tidak membutuhkan intelektualitas. Modalnya hanya KEBENCIAN saja, yang disampaikan secara EMOSIONAL-DEKONSTRUKTIF. 

Sedangkan KRITIK kebalikan dari BLACK CAMPAIGN. Kritik selalu berbicara tentang suatu isu publik yang obyektif ada (bukan mengada-ada), didukung fakta atau bukti yang jelas (alias ilmiah). Karena ilmiah, maka kritik— yang adalah INFORMASI— membutuhkan intelektualitas. Modalnya CINTA KEBENARAN, yang disampaikan secara RASIONAL-KONSTRUKTIF.

Soal kenapa DFK perlu dirawat, bahkan dikobarkan, oleh mereka yang berkepentingan, sudah saya bahas pada AI yang lalu. Silahkan dibaca kembali: 

Dari sudut pandang mereka yang tidak ingin Indonesia menjadi salah satu “global players,” VIE 2045 memang perlu terus-menerus diganggu dengan DFK. Indonesia harus dijadikan negara gagal (failed state) melalui strategi “devide et impera” gaya VOC maupun Kerajaan Belanda kolonial.

Nilai tambah berbagai SDA kita (nikel hanya salah satunya) yang mau dihilirisasi [baca: industrialisasi] sejak Presiden Jokowi dan dilanjutkan oleh Presiden Prabowo, menimbulkan disrupsi di sisi supply chain berbagai industri besar dunia. Ini tidak boleh terjadi! Sebab, Indonesia bisa menjadi negara superpower. Lihat grafis HILIRISASI NIKEL terkait.

Masalahnya, DFK ini sulit dituliskan definisinya. Kata “definisi” dari bahasa Latin “dēfīnīre”, artinya “menarik batas.” Apalagi bila ingin disempitkan ke dalam definisi hukum, lebih sulit lagi. Kita bisa dituduh mendukung “pasal karet” lah, bersikap “anti demokrasi” lah, atau “mau jadi otoriter” lah— seperti yang sering digembar-gemborkan oleh kalangan studi hukum UGM, mereka para kadernya mantan Menkopolhukam itu. 

Populasi kita saat ini didominasi Millennials dan Gen-Z, totalnya 52.2 % penduduk Indonesia (Gen-Z 27,9%; Millennials 24,3%). DFK ini sudah menjadi semacam sub-kultur dalam sosiologi kita (di dunia nyata maupun dunia maya), akibat populasi Gen-Z + Millennials umumnya sulit membedakan mana yang KRITIK, mana yang BLACK CAMPAIGN. 

Nada nyinyir bagi saya masuk ke dalam black campaign, bukan kritik, karena alasan diatas (beda antara kritik dan black campaign). Itu sebabnya Sdr. Ady Prasetya saya blokir dari forum saya, setelah yang bersangkutan diberi peringatan. Lihat grafis DEMOKRASI = KOMEN BEBAS-BEBAS SAJA?

Kampanye ANTI DFK adalah PENDIDIKAN POLITIK. Sama seperti ketika para Bapak Bangsa kita sejak awal dekade 1920-an— yang disebut sebagai Angkatan ’28 — mendidik rakyat untuk melihat suatu masa depan yang “merdeka dari kolonialisme” dibalik ikrar “satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa.” Ternyata visi mereka terwujud di tahun 1945. Kita merdeka.

Hari ini, kita punya tantangan mewujudkan VIE 2045. Mantan Presiden Jokowi selama 10 tahun pemerintahannya telah meletakkan berbagai fondasi yang diperlukan. Tekanannya pada infrastruktur kita yang saat itu memang masih amburadul. 

Kata kunci pembangunan infrastruktur disini adalah KONEKTIVITAS untuk (1)ORANG, (2)BARANG, (3)JASA dan (4)DATA. Konektivitas ini dampaknya kemana-mana: IPOLEKSOSBUDHANKAM! Hal ini sudah berkali-kali saya bahas juga di kanal AI. 

Hanya mereka yang bodoh/sempit wawasannya yang komentar “Rakyat kecil ga bisa makan aspal, ga perlu jalan tol.” Tapi kan mereka makan sayuran yang lebih segar, lebih murah, akibat KONEKTIVITAS di sisi supply chain-nya lebih efisien.

Soal konektivitas orang, barang, jasa dan data ini, adalah bagian strategis dari road map (peta jalan) menuju VIE 2045 yang juga telah disiapkan oleh Presiden Jokowi. Ini juga sudah berulangkali saya bahas. Lihat grafis TAHAPAN DARI REFORMASI KE TRANSFORMASI.

Karena tahun 2045 masih sekitar 20 tahun lagi, sedangkan seorang presiden hanya punya waktu 5 tahun (maksimal dikali 2 periode), maka perlu yang namanya KEBERLANJUTAN KOALISI BESAR yang perlu dibaca sebagai KEBERLANJUTAN PERSATUAN PARA PEMIMPIN POLITIK (para elit politik). Ini untuk menjamin road map VIE 2045 bisa terlaksana.

Elit politik yang bersatu artinya para pendukungnya pun bersatu, maka ini artinya PERSATUAN NASIONAL.

Keberhasilan Angkatan ’28 mewujudkan Proklamasi 1945 adalah keberhasilan mereka MENDIDIK RAKYAT UNTUK BERSATU. Itu sebabnya para Bapak Bangsa kita bersepakat bahwa Indonesia adalah “negara kesatuan” (unitary state) dalam UUD 1945 Pasal 1 Ayat 1. Indonesia bukan negara federalistik (federal state). 

Disini kita perlu mengenang visi kenegarawanan Sultan HB IX-Paku Alam VIII, yang menyatakan bergabung ke dalam negara kesatuan RI (Amanat 5 September 1945), padahal otonomi Kesultanan Jogja akan lebih diuntungkan bila berada dalam sistem federalistik!

Jangan lupa. KMB di Den Haag pada Desember 1949 itu menghasilkan negara federalistik, namanya Republik Indonesia Serikat (RIS). Ya, kita memang bersepakat dulu dengan Kerajaan Belanda— yang adalah kelanjutan VOC, yang ingin terus memecah-belah RI agar tetap dapat menguasai SDA kita. 

Yang penting kedaulatan RI diakui dulu melalui KMB ini, sekalipun hasilnya geografi politik kita dibagi menjadi 7 “federal states” dan 9 “autonom regions.”

Tetapi tidak sampai setahun, pada bulan Agustus 1950, Presiden Soekarno “berkhianat” terhadap KMB. Soekarno mengembalikan RI menjadi unitary state. Bagi Soekarno, persetan dengan KMB! 

Yang utama adalah persatuan elit di level pimpinan pusat harus berada diatas elit-elit kecil di daerah. Lebih jauh lagi, bagi Soekarno, ELIT-ELIT POLITIK DI PUSAT HARUS MENJADI DAYA PEREKAT PERSATUAN LINTAS S-A-R-A dalam realitas Indonesia yang majemuk. 

Soekarno benar! Tanpa PERSATUAN NASIONAL (artinya terpusat), Indonesia tidak akan pernah bisa membangun. 

Maka, hari ini, elit politik yang bersatu juga amat  penting bagi terwujudnya VIE 2045. Itulah yang diupayakan mati-matian oleh mantan Presiden Jokowi sejak 2014, dan sekarang dilanjutkan oleh Presiden Prabowo, dibalik perlunya suatu suatu KOALISI BESAR = PERSATUAN PARA ELIT POLITIK DI LEVEL NASIONAL. 

Setelah retret di Akademi Militer Magelang minggu lalu, Kepala PCO Hasan Nasbi mulai menerapkan strategi PRO-AKTIF dalam menangkal DFK ini. Wawancara eksklusif Presiden Prabowo Subianto di SCTV bersama Pimred Retno Pinasti adalah langkah awal. Masih ada banyak langkah lain menyusul.

Saya pun menekankan soal strategi PRO-AKTIF ini dalam wawancara terakhir saya di Cokro TV bersama Mas Akhmad Sahal. Kita tidak bisa hanya mengambil posisi REAKTIF menanggapi serangan DFK yang dilakukan oleh mereka (melalui para proxy dalam negerinya) yang ingin Indonesia menjadi failed state.

Kita harus secara PRO-AKTIF melakukan PENDIDIKAN POLITIK bagi bangsa ini. Terutama bagi generasi muda kita (Millennials dan Gen-Z) yang total proporsinya mencapai 52.2 % populasi Indonesia. 

Mereka inilah tulang punggung produktivitas Indonesia dalam apa yang disebut sebagai BONUS DEMOGRAFI, yang puncaknya terjadi pada pertengahan dekade 2030-an mendatang. 

Jangan sampai “demographic dividend” ini malah menjadi “demographic disaster,” hanya karena generasi muda kita tidak bisa membedakan antara BLACK CAMPAIGN dan KRITIK.

Topik:

Kuasa Gelap DFK Demokrasi Berkomentar Bebas