Dianggap Mengancam Kebebasan Pers, DPR Terima Masukan Soal Draf RUU Penyiaran

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 11 Mei 2024 12:55 WIB
Anggota Komisi I DPR RI, Dave Laksono (Foto: Ist)
Anggota Komisi I DPR RI, Dave Laksono (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Anggota Komisi I DPR RI, Dave Laksono, buka suara soal polemik draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran yang tengah bergulir di DPR RI. 

Menurutnya kritikan dan masukan dari para praktisi media atas pasal 56 ayat 2 poin c yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi merupakan masukan baik untuk menyempurnakan revisi UU tersebut. 

"Masukan yang disampaikan oleh rekan-rekan dari media tentang keberatan ataupun juga mengenai pandangan mengenai revisi undang-undang penyiaran itu menjadi masukan yang baik untuk kita memperkaya memperkuat dan juga menyempurnakan undang-undang ini," kata Dave saat dihubungi Monitorindonesia.com Sabtu (11/5/2024). 

Dave mengungkapkan, UU yang dibuat tahun 2022 itu mulai dilakukan pembahasan reviai sejak tahun 2012, sehingga akan menjadi kekhawatiran jika RUU tersebut tak segera selesai. 

"Sudah hampir 12 tahun proses revisi ini belum juga selesai apa yang menjadi kekhawatiran ketakutan rekan-rekan ini akan menjadi masukan sehingga kita bisa menyempurnakan undang-undang ini dan bisa melayani dan melindungi," ujarnya. 

Politikus Golkar itu menegaskan, tak ada niat dari pemerintah ataupun DPR yang ingin melemahkan keberadaan pers di Indonesia. 

"Tiada niat sedikit pun baik dari pemerintah hari ini di bawah Presiden Jokowi ataupun nantinya di bawah Presiden Prabowo dan juga DPR akan memberangus hak-hak masyarakat dan kebebasan untuk menyampaikan pendapat, apalagi informasi terhadap masyarakat," ujarnya.

Sebelumnya, berbagai kritikan dan masukan disampaikan oleh peneliti, pegiat hingga praktisi media terhadap pasal 56 ayat 2 poin c pada draf RUU penyiaran. 

Peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael, menyebut pasal tersebut sangat ambigu dan membingungkan.

“Ini kan melawan seluruh prinsip jurnalistik, ya? Justru jurnalistik itu bukan hanya harus akurat dan benar, tetapi informasi itu harus aktual. Saya khawatir semakin mati ruang publik kita," kata Heychael.

Sementara, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Arif Zulkifli, menilai Pasal 56 Ayat 2 Poin c merupakan bentuk kemunduran yang sangat serius bagi kemerdekaan pers Indonesia.

"Saya tidak tahu kenapa DPR begitu bersemangat mengedepankan RUU ini. Apakah ingin membungkam pers dan kenapa harus sekarang? Apakah ada keinginan agar pemerintahan yang selanjutnya itu bisa berjalan tanpa kritik yang signifikan dari pers, dalam hal ini pers TV? Saya kira pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab," katanya Arif kepada wartawan. 

Selanjutnya, Sekjen AJI Indonesia, Bayu Wardhana juga buka suara, menutnya revisi UU penyiaran ini dapat dimaknai sebagai pembungkaman terhadap pers dan upaya DPR untuk melemahkan Dewan Pers. 

"Upaya untuk melemahkan Dewan Pers sebenarnya sudah lama terjadi. Seperti ketika RUU Omnibus Law Cipta Kerja, ada bab soal pers yang menjadi menjadi pasal melemahkan. Syukur saat itu bab pers dihapus dari draf RUU Ciptaker. Upaya itu muncul kembali di RUU Penyiaran ini," tukas Bayu. 

Sedangkan, Ketua Komisi Hukum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Zacky Antony, menilai pasal tersebut sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers pasca reformasi di Indonesia.

"Jelas-jelas bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers yang merupakan salah satu poin reformasi negeri ini," kata Zacky saat dihubungi Monitorindonesia.com Sabtu (11/5/2024). 

Untuk itu, kata dia, sudah sepantasnya DPR menghapus pasal tersebut dalam draf RUU tentang penyiaran karena dianggap mengekang kemerdekaan pers. 

"Oleh karena itu, sudah seharusnya DPR mengeluarkan pasal tersebut dalam RUU. Sebab, bakal membelenggu kemerdekaan pers," ujarnya. 

Sebab kata Zacky, pasal pelarangan penayangan jurnalisme investigasi bertentangan dengan pasal 2, pasal 4 ayat (1), (2) dan (3) UU Pers No 40 tahun 1999.

"Pasal 2 UU Pers berbunyi: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum." bunyi UU tersebut. 

Sedangkan pada pasal 4 ayat (1) jelas dikatakan: Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Selanjutnya di pasal 4 ayat (2) dijelaskan: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. 

Sedangkan pada pasal 4 ayat (3) juga ditegaskan: Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan reformasi.

"Jadi jelas, berdasarkan UU Pers, tidak boleh ada penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran," tegas Zacky. 

Untuk itu, dia menyarankan kepada panitia kerja (Panja) revisi UU penyiaran DPR agar mencermati dengan seksama UU Pers sebelum merevisi dan mensahkan RUU tersebut. 

"Sebaiknya anggota DPR yang terhormat baca dulu UU Pers sebelum membahas revisi UU Penyiaran," pungkasnya. 

Diketahui sebelumnya, Komisi I DPR RI telah mengirimkan draf RUU Penyiaran kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi.

Selanjutnya, jika disetujui, RUU itu akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk ditetapkan menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.