Putusan MK dan Pilkada, Agun Gunandjar: Jangan Serahkan Semua ke MK

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 6 Agustus 2025 14:28 WIB
Agun Gunandjar Sudarsa (foto.rizal siregar)
Agun Gunandjar Sudarsa (foto.rizal siregar)

Jakarta, MI -  Wakil Ketua Badan Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, Agun Gunandjar Sudarsa, menanggapi dinamika putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem ketatanegaraan dengan menegaskan bahwa meskipun keputusan MK bersifat final dan mengikat, proses politik dan legislasi tetap memiliki ruang yang sah dalam sistem demokrasi.

Hari ini, Agun menyampaikan pandangannya terkait berbagai dinamika ketatanegaraan, termasuk soal putusan MK dan sistem pemerintahan Indonesia.

"Kalau saya diberikan kesempatan, saya berdiam diri juga salah. Walaupun kelak saya baca putusan MK, apakah keputusannya A, B, C, atau D, itu adalah urusan yang melalui proses tarik-menarik kepentingan. Tapi, untuk hal-hal yang menyangkut saya, saya akan bertanggung jawab. Bisa sama, bisa berbeda," ujar Agun, Rabu (6/8/2025).

Agun menilai bahwa bangsa Indonesia saat ini hidup dalam sistem ketatanegaraan yang terbuka. Oleh karena itu, tidak seharusnya masyarakat terlalu cepat membandingkan kondisi saat ini dengan Undang-Undang Dasar saat disahkan pada 18 Agustus 1945.

"Kita jangan terlalu cepat meng-compare situasi hari ini dengan konstitusi saat awal kemerdekaan. Sekarang sistem sudah terbuka. Fenomena-fenomena seperti putusan MK atau hal-hal lain adalah konsekuensi dari kehidupan demokratis yang harus kita hormati," tegasnya.

Ia juga menyebut bahwa perbedaan pendapat dalam menyikapi putusan MK merupakan hal yang wajar dalam negara demokrasi.

"Jangan baperan. Hidup itu perjalanan. Kalau melihat sesuatu masih ada respon, ya itu ruang demokrasi. Hormati dan hargai prosesnya," imbuhnya.

Agun menyinggung bahwa keputusan MK adalah produk hukum yang harus dihormati, namun pelaksanaan kebijakan tetap berada di ranah eksekutif dan legislatif, yakni Presiden dan DPR.

"Putusan MK itu final dan mengikat, iya. Tapi, tidak serta-merta semuanya bisa langsung dijalankan. Harus ada kebijakan, regulasi, dan undang-undang yang mengatur pelaksanaannya. Itu kewenangan DPR dan pemerintah," jelas Agun.

Sebagai Ketua Panitia Khusus (Pansus) Undang-Undang Kementerian Negara dan pelaku sejarah reformasi undang-undang di DPR, Agun juga menekankan pentingnya memahami struktur konstitusional Indonesia secara utuh.

"Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kita bukan negara yang menganut supremasi kekuasaan, tetapi supremasi hukum. Jadi, segala bentuk kebijakan harus tunduk pada konstitusi," paparnya.

Terkait Pilkada, Agun juga memberi penekanan bahwa pemilihan kepala daerah memiliki dasar hukum yang berbeda dengan pemilu nasional.

"Pilkada itu bukan bagian dari pemilu nasional. Kepala daerah dipilih secara demokratis, tapi bukan melalui sistem yang sama dengan pemilu presiden atau DPR. Itu diatur dalam pasal 18 UUD 1945, yang menegaskan Indonesia sebagai negara kesatuan yang dibagi atas provinsi dan kabupaten/kota," terang dia.

Dalam pandangannya, MK seharusnya lebih fokus pada urusan konstitusional dan tidak terjebak mengurusi hal-hal teknis yang menjadi ranah pemerintah daerah.

"MK itu lembaga tinggi negara. Jangan sampai jadi tempat mengurus hal-hal ecek-ecek seperti sengketa kepala daerah. Biarkan proses politik dan hukum berjalan sesuai jenjangnya. Hormati pilar-pilar ketatanegaraan yang ada," tandasnya.

 

Topik:

AgunGunandjar MPRRI MahkamahKonstitusi PutusanMK EmpatPilar