Kampus Jogja Mulai Menolak RUU Penyiaran, Siapa Menyusul?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 21 Mei 2024 16:21 WIB
Roy Suryo (Foto: Dok MI/Aswan)
Roy Suryo (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Alhamdulillah, setelah sempat ditunggu-tunggu semenjak minggu lalu ,(baca: Tulisan saya "Jurnalistik Mau Dibungkam, Pakar dan Masyarakat Diam?" Rabu (15/5/2024).

Kampus perguruan tinggi sebagai kawah candradimuka para cendekia mulai bicara.

Meski tidak terkait langsung dengan RUU Penyiaran kontroversial yang sedang dibahas, namun tidak sedikit dari jurnalis, bahkan pemilik media juga dulunya berawal dari aktivis pers kampus.

Sehingga mereka memiliki tautan pemikiran yqng sama, setidak-tidaknya sejalan.

Adalah kampus Universitas Islam Indonesia (UII) yang dulu juga ketika para civitas akademika di seluruh Indonesia bergerak menyuarakan keprihatinan bangsa menjadi salah satu kampus pelopornya, pasca putusan MK 90 yang melahirkan apa yang sempat disebut-sebut sebagai "anak haram konstitusi", kini kembali bersuara. 

Kampus swasta yang usianya hampir sama dengan republik ini, yakni 79 tahun semenjak tanggal 8 Juli 1945, kini mulai bergeliat.

Bertempat di lantai 3 Kampus UII Cik Ditiro digelar diskusi terbuka menyambut 26 tahun reformasi 1998, Selasa (21/5/2024).

Diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Penyelamat Media dan Demokrasi, Forum Cik Ditiro, Sejagad, ini menampilkan Direktur Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi UII, Eko Riyadi, Pito Agustin Rudiana Jurnalis Tempo dan Antonius Darmanto seorang senior salam bidang Perundang-undangan, khususnya UU Penyiaran semenjak era reformasi silam. 

Dihadiri juga oleh Prof Adink Masduki dan Puji Riyanto selaku Civitas Akademika UII.

Diskusi cukup komprehensif dan berlangsung sekitar 2 jam mulai 10.30 WIB sampai dengan 12.30 WIB.

Secara sistematis Eko dan Pito memaparkan poin-poin dalam RUU Penyiaran kontroversial tersebut yang pada intinya RUU sudah menodai era reformasi yang berjalan lebih dari seperempat abad sekarang dan bahayanya jika RUU ini tetap diteruskan akan merusak demokrasi dan membuat bangsa ini mundur kebelakang lagi. 

Disebutkannya bahwa kehidupan pers yang bebas namun bertanggungjawab saat ini akan menjadi kenangan dan bahkan penyelenggaraan diskusi semacam yang sedang dilaksanakan pun tidak boleh diselenggarakan samasekali.

Secara detail, Darmanto kemudian menyampaikan bahwa ide rezim ini untuk mencabut kembali kemerdekaan Pers dan merusak Lembaga Penyiaran Publik (LPI) sebenarnya sudah ada saat penyusunan RUU Cilaka yang kini jadi UU Ciptaker.

Dia mengajak masyarakat untuk melihat paragraf 15, Pasal 72 di UU yang kini banyak menimbulkan gejolak khususnya di bidang tenaga kerja tersebut.

Jelasnya sekarang Lembaga Penyiaran Indonesia sudah dibuat menjadi bagian dari produk kapitalis dan tidak ada tempat lagi bagi Lembaga Penyiaran Komunitas.

Meski RUU Penyiaran ini ada perlunya juga untuk menambah bentuk Lembaga Penyiaran Digital, namun hakikat dari kelembagaan Penyiaran termasuk Lembaga Penyiaran Publik (LPP) sudah berubah dari semangat UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dibuat pasca reformasi itu. 

Lebih fatal lagi menurut sosok yang dikenal sering menulis buku ajar tersebut adalah bahwa RUU Penyiaraan ini berbahaya karena menghilangkan sifat ke-Indonesiaan, termasuk nilai-nilai Pancasila yang dikandung didalamnya. 

Menurutnya, UU Ciptaker sudah mulai merusak, RUU ini menyempurnakan kerusakan tersebut.

Lebih tajam lagi dikupasnya Pasal 50 b yang paling kontroversial di RUU Penyiaran ini bukan hanya soal pelarangan bentuk jurnalisme Investigatif, tetapi hal-hal yang berkaitan dengan pemilik Lembaga Penyiaran hubungannya dengan warna politisnya.

Termasuk soal yang saya juga sudah sampaikan dalam tulisan sebelumnya yakni adanya upaya "penyelundupan" hal-hal yang sebenarnya sudah diatur dalam UU ITE tentang pencemaran nama baik, kabar bohong dan sebagainya didalam RUU ini. 

Intinya KPI tampak sangat dikuatkan menjadi seperti KPU-KPUD dan jelas munculnya paradigma otoritarian dan sentralistik kembali yang dulu sebenarnya dihindari di era reformasi.

Soal pengesahan RUU Penyiaran kontroversial yang sangat tampak tergesa-gesa ini juga dipandang aneh, karena meski RUU ini sempat timbul tenggelam dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) selama beberapa periode DPR RI.

Namun diujung rezim sekarang ini pembahasan dan penambahan pasal-pasal serta ayat-ayat yang nonreformis tampak sangat kental. 

Oleh karenanya ketiga pembicara sepakat untuk menyampaikan sikap mereka menolak RUU Penyiaran sebagaimana yang tersurat dalam naskah harmonisasi Badan Legislasi terakhir tanggal 27 Maret 2024 tersebut ditolak agar demokrasi tetap terjaga. 

Diskusi kemudian berlanjut dengan aksi teatrikal khas Jogja di perempatan eks Korem tidak jauh dari lokasi dedung diskusi.

Meski diskusi sempat berjalan baik sayangnya dikotori oleh ulah seorang provokator yang sebelumnya mengaku-ngaku aktivis gorum Cik Ditiro.

Namun belakangan dikonfirmasi oleh panitia penyelenggara hanya simpatisan saja, yang sempat berorasi namun kurang update, mungkin sudah frustasi dilihat dari penampilannya yang acak-acakan dan malah mengusung isu-isu diluar topik diskusi, misalnya soal keistimewaan Jogja dan status politik. 

Oknum yang diketahui berinisial DD akhirnya keluar ruangan sendiri setelah provokasinya tidak laku didepan audience.

Makanya hati-hati akan ulah susupan semacam ini. Karena dimana-mana bisa terjadi.

Kemarin di acara nonton bareng dan diskusi Film "Dirty Election" juga hampir ada ulah serupa namun tidak sevulgar yang di Jogja barusan.

Kesimpulannya, perjuangan masih panjang dan akan berat bilamana para pakar, akademisi, civitas akademika kampus termasuk mahasiswa dan masyarakat yang masih berpikiran waras diam saja tidak respons dengan kondisi yang sekarang terjadi. 

Jelas sekali di depan mata perubahan-perubahan aturan yang nonreformis gencar dikejar tayangkan seperti misalnya RUU MK, RUU Kelembagaan/Ketatanegaraan dan RUU Penyiaran ini.

Ditengahnya hati-hati juga akan provokasi seperti yang dialami dalam diskusi di APDI kemarin dan UII hari ini, tetapi itu semua justru membuat bara semangat makin menjadi. 

Panjang umur reformasi, jangan biarkan mati dihadapan tirani yang isinya hanya kolusi, korupsi dan oligarki.

[Dr. KRMT Roy Suryo - Pemerhati Telematika, Multimedia, AI & OCB, Peserta Diskusi Forum Cik Ditiro]