PT Indofarma Tbk (INAF) Sengaja ‘Dibunuh’ Perlahan?

Tim Redaksi
Tim Redaksi
Diperbarui 4 Mei 2024 23:32 WIB
PT Indofarma Tbk (INAF) (Foto: Dok MI)
PT Indofarma Tbk (INAF) (Foto: Dok MI)
Jakarta, MI - Nasib Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Farmasi ini kian tertekan karena Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tengah melakukan audit investigasi indikasi fraud pada perseroan.

Adalah PT Indonesia Farma Tbk atau disingkat PT Indofarma Tbk (INAF) merupakan perusahaan farmasi dan alat kesehatan nasional yang berdiri sejak tahun 1918. Perseroan ini merupakan bagian dari Biofarma Group dan memiliki anak usaha yakni PT. Indofarma Global Medika.

Biofarma selaku Holding Badan Usaha Milik Negara atau BUMN Farmasi semestinya bertanggungjawab terhadap keadaan yang terjadi di Indofarma saat ini. Pasalnya, meskipun sudah mengucurkan pinjaman hingga meyentuh Rp 355 miliar, namun pengelolaan terhadap pinjaman tersebut tampaknya tidak berdampak pada pemulihan perusahaan. 

Kini Indofarma terancam kehilangan aset yang dijaminkan terkait pinjaman tersebut. Pemerintah melalui Kementerian BUMN pun semestinya mulai mengevalui proyek Holdingisasi BUMN. 

Faktanya sejumlah holding BUMN ternyata tidak memberikan konstribusi yang signifikan terhadap perkembangan korporasi.  Justru, seperti yang terjadi di BUMN Farmasi ini. Holdingisasi BUMN Farmasi, tanpa pendampingan dan proyeksi yang memadai justru terancam menyeret BUMN ke jurang pailit.

Hal lain yang menarik, dari kasus Indofarma, tampaknya Kementerian BUMN agak alergi menggunakan perangkat penegakan dalam menyehatkan BUMN ini. 

Meskipun indikasi fraud sudah lama didengungkan oleh Komisaris perusahaan ini. Upaya yang dilakukan oleh kementerian BUMN selama ini, terkesan, hanya membuat BUMN ini sekedar bertahan hidup.

Kini, di tengah krisis pasca pandemi, tantangan baru datang. Ancaman pailit dari sejumlah debitur, defisiensi perusahaan, hingga ancaman tak bisa membayar gaji menjadi ancaman menuju jurang kepailitan. 

Demi industri farmasi nasional dan ribuan karyawan yang nasibnya tergantung korporasi, Menteri BUMN Erick Thohir mesti segera meluncurkan skema penyelamatan Indofarma.

Laporan BPK
Di saat ribuan pekerja tak menerima gaji, ternyata direksi dan komisaris Indofarma sempat menerima tunjangan berlebih yang tidak sesuai ketentuan. Hal ini sebagaimana laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

Penerimaan tunjangan yang tak sesuai ketentuan ini terjadi dalam periode 2018-2019 saat direktur utama kala itu dijabat oleh Arief Pramuhanto dan Komisaris Utama dijabat Siswanto serta komisaris independen diemban Teddy Wibisana. Untuk nama yang terakhir disebut masih menjabat sampai kini.

Indofarma Bangkrut Laporan BPKBerdasarkan hasil pemeriksaan atas dokumen pembayaran asuransi purna jabatan pada, BPK menemukan adanya kelebihan pembayaran tunjangan asuransi purna jabatan dewan komisaris dan direksi sebesar Rp498.452.050. 

Ketidaksesuaian pembayaran tunjangan asuransi ini karena tiga hal, pertama tunjangan dibayarkan berdasar faktor pengkali 13 bulan dalam setahun. Padahal merujuk regulasi, jumlah faktor pengali seharusnya hanya 12 bulan karena dasar perhitungannya adalah gaji yang diterima dalam setahun.

Kedua, kelebihan bayar karena pembayaran premi asuransi dibayarkan berdasar gaji yang sebelum dikurangi iuran BPJS. Sehingga menyebabkan tunjangan yang dibayarkan lebih banyak. 

Berikutnya, premi asuransi dibayarkan tidak sesuai masa jabatan. Dalam perhitungan auditor negara, terdapat pembayaran kepada direksi dan komisaris di luar masa jabatannya.

Selain direksi dan komisaris Indofarma, BPK juga mengungkap ada kelebihan bayar tunjangan asuransi purna jabatan terhadap direksi maupun komisaris dari anak perusahaan Indofarma, yakni PT Indofarma Global Medika (IGM). 

Jumlahnya mencapai Rp608.736.798. Sehingga kalau ditotal kelebihan bayar Indofarma dan anak perusahaannya mencapai miliaran rupiah. Pola penyimpangan yang berujung kelebihan bayar tunjangan pun serupa.

Di PT IGM dan Indofarma, terungkap juga bahwa ada tunjangan transportasi terhadap komisaris dan direksi yang semestinya tidak berhak didapat mereka. Jumlah tunjangan yang menyimpang ini mencapai Rp149 jutaan.

BPK juga mengungkap adanya biaya promosi produk yang seharusnya mendatangkan profit, tapi justru membebani keuangan perusahaan. Ini terkait biaya pemasaran yang diberikan kepada cucu perusahaan, yakni PT Promosindo Medika (Promedik). Adapun Promedik didirikan oleh IGM pada 2007.

Kontrak pemasaran antara Indofarma dan Promedik terjadi pada 2018 dengan temuan selisih atau margin biaya pemasaran hingga miliaran rupiah. Hal ini dikarenakan dasar perhitungan biaya promosi produk dari Indofarma kepada Promedik menggunakan harga neto apotek (HNA) atau harga jual obat dari distributor kepada apotek atau outlet. Sementara itu, penghitungan HNA sebagai dasar pemberian komisi pemasaran kepada Promedik adalah menghitung harga jual pabrik (HJP) ditambah fee atau margin untuk distributor.

Melalui skema ini, justru Indofarma selaku produsen tidak diuntungkan sepenuhnya. Keuntungan yang berlebih dari pejualan, lantas tidak terserap semuanya. "Terdapat selisih (keuntungan seharusnya) sebesar Rp3.284.740.243," tulis laporan BPK.

Keterkaitan IGM dalam membebani keuangan Indofarma, juga diungkap BPK ketika belum memiliki standar operasional prosedur penjualan bisnis kerjasama operasional (KSO) laboratorium patologi IGM.

Pada 2018, IGM melakukan penjualan aset keuangan yang dimilikinya berupa saham di PT Indo Genesis Medika kepada PT Kreasi Putra Nusantara. Nilai buku saham yang dijual sebesar Rp51,740 miliar.

Adapun nilai jual pelepasan saham tersebut Rp99 miliar. Nilai saham dari KSO ini didapat dari aktivisitas bisnis penyediaan laboratorium di 12 rumah sakit yang dimiliki IGM. Dalam hal ini, Indofarma yang seharusnya mendapat jatah dalam pelepasan saham ini, justru sebaliknya.

Sebab, kondisi keuangan Indofarma yang juga memiliki saham di anak perusahaannya itu justru mencatatkan laba namun rugi sebesar Rp25,298 miliar. Ditambah, IGM pun hanya mencatat laba sebesar Rp9,787 miliar. Sehingga pelepasan saham ini tidak dapat memberikan deviden kepada Indofarma. 


"Indofarma tetap mengalami minus cash flow secara total sebesar Rp109.693.300.344. Hal tersebut karena direksi PT IGM tidak cermat melakukan penjualan KSO dengan mengacu peraturan," tulis laporan BPK.

BPK juga menemukan adanya pengalihan pekerjaan penyediaan barang/jasa proyek dengan Kemenkes yang digarap IGM. Pada periode 2018-2019, IGM memperoleh paket pekerjaan pengadaan penyediaan makanan tambahan ibu hamil dan balita sebesar Rp1,2 triliunan.

Akan tetapi, IGM saat sudah dipercayakan menggarap proyek itu, justru mengalihkan produksi dan distribusinya ke pihak lain, yakni ke PT Good Will Indonesia Jaya (GWIJ). Pengalihan proyek pengadaan dan distribusi ini pun tidak bisa dipertanggun jawabkan secara administratif.

Hal tersebut mengakibatkan potensi adanya kewajiban kontijensi atas pelanggaran ketentuan pengalihan secara keseluruhan. BPK juga menyatakan IGM berpotensi menghadapi permsalahan hukum karena pengalihan tanpa izin ini.

Rugi Rp 191,7 miliar
Direktur Utama Indofarma Yeliandriani dalam Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI) dikutip pada Sabtu (20/4/2024) membenarkan bahwa pihaknya tak sanggup bayar gaji karyawannya.

Bila mengutip laporan keuangan terbaru Indofarma, yakni laporan kuartal III/2023 yang belum selesai diaudit yang dilaporkan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), emiten berkode INAF ini mencatatkan rugi bersih sebesar Rp 191,7 miliar. 

Sementara pada kuartal yang sama tahun sebelumnya, perusahaan mencatatkan kerugian Rp 183,11 miliar. Indofarma diketahui belum merilis laporan keuangan untuk sepanjang 2023. Bila melihat laporan arus kas Indofarma, keuangan perusahaan ini juga sangat memprihatinkan. 

Jangankan untung, penjualannya saja jauh dari kata cukup untuk menutup operasionalnya. Arus kas dari aktivitas operasi tercatat minus sampai Rp 188,59 miliar. 

Pengeluaran terbesar adalah pembayaran untuk pemasok dan karyawan sebesar Rp 611,52 miliar, lalu pembayaran bunga utang Rp 20,58 miliar. Sementara pemasukan kas dari pelanggan tercatat hanya Rp 443,44 miliar. Arus kas perusahaan juga tercatat negatif dari investasi sebesar minus Rp 950 juta. 

"Saat ini perseroan belum memiliki kecukupan dana operasional untuk memenuhi kewajiban pembayaran upah karyawan," beber Yeliandriani. Dia menuturkan, keputusan menunda pembayaran gaji juga karena adanya putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang menimpa emiten BUMN berkode INAF tersebut. 

Menurut Yeliandriani, putusan PKPU sebenarnya tidak berdampak secara langsung pada operasional perseroan, namun perseroan harus berkoordinasi dengan tim pengurus yang ditunjuk pengadilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Indofarma sendiri sejauh ini belum merilis resmi laporan keuangan tahun 2023. 

Terkait kondisi keuangan perusahaan terkini, nantinya akan disampaikan pada laporan keuangan yang saat ini masih dalam finalisasi audit Kantor Akuntan Publik (KAP).

"Kondisi keuangan Perseroan akan disampaikan pada Laporan Keuangan yang saat ini masih dalam proses finalisasi audit oleh Kantor Akuntan Publik (KAP)," kata dia. 

Yeliandriani melanjutkan, meski perseroan menunggak pembayaran hak gaji pekerja, untuk pembayaran tunjangan hari raya (THR) tidak mengalami kendala. 

Ini karena komponen kewajiban THR sudah diusulkan ke tim pengurus PKPU. "Perseroan akan tetap beroperasi sebagaimana biasanya dengan tetap berkoordinasi dengan tim pengurus yang ditunjuk pengadilan sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan," jelasnya. 

Hakim kabulkan PKPU
Indofarma pun resmi mengajukan penundaan pembayaran kewajiban utang sementara (PKPU) kepada PT Foresight Global. Foresight Global merupakan perusahaan yang bergerak pada bidang penyedia jasa outsourcing yang berdiri sejak tahun 2004 di Cikarang Lippo Bekasi.

Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengabulkan Permohonan PKPU dengan nomor Perkara 74/Pdt.Sus- PKPU/2024 PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 29 Februari 2024 melalui putusan yang dibacakan pada tanggal 28 Maret 2024.

Yeliandriani mengatakan, PT Foresight Global telah mengajukan Permohonan PKPU sejak tanggal 29 Februari 2024. Lalu, tanggal 28 Maret 2024, Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan yang pada intinya memberikan PKPU untuk jangka waktu selama 42 hari sejak Putusan PKPU tersebut dibacakan.

Pengadilan juga telah menunjuk Tim Pengurus PKPU untuk melakukan tugas pengurusan bersama dengan Perseroan selama proses PKPU berlangsung. "Adanya Putusan PKPU ini tidak berdampak secara langsung pada operasional Perseroan. Perseroan akan tetap beroperasi sebagaimana biasanya dengan tetap berkoordinasi dengan Tim Pengurus yang ditunjuk Pengadilan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan," sebagaimana disebutkan Yeliandriani dalam keterbukaan informasi BEI, Kamis, (4/4/2024).

Selama masa PKPU, Indofarma akan melakukan upaya restrukturisasi atas utang-utang kepada Para Kreditornya secara menyeluruh dengan rencana-rencana yang akan dituangkan dalam suatu Proposal Perdamaian dan akan disampaikan dalam rapat-rapat kreditor di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Kondisi Indofarma inipun membentok perhatian mantan Sekretaris BUMN, Sadi Didu. Said menilai bahwa sebenarnya Indofarma adalah perusahaan yang sehat. Dia mewanti-wanti Indofarma ini akan dibangkrutkan.

"Indofarma adalah BUMN yang selalu sehat karena produksi vaksin yang digunakan diberbagai negara - sekarang BUMN bagus seperti ini pun kalian bangkrutkan !!!," kata Said Didu dalam cuitannya di X (Twitter) ditukil Monitorindbonesia.com, Sabtu (4/5/2024).

Pun Said Didu mengaku terkejut bila Indofarma kini tengah berada dalam kondisi krisis. Padahal Indofarma ini sudah disuntik oleh APBN melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) yang besar. 

"Indofarma adalah BUMN yang selalu sehat karena produksi vaksin yang digunakan di berbagai negara tapi sekarang ini nasibnya tidak jelas," katanya.

Said Didu juga menyoroti penugasan khusus yang diberikan oleh pemerintah kepada BUMN yang dinilainya telah mengabaikan Pasal 66 UU BUMN. 

“Pemerintah tidak pernah menggunakan Pasal 66 UU BUMN terkait penugasan khusus, yang mana tidak pernah ada penugasan kepada BUMN secara tertulis berdasarkan hitungan yang disiapkan biaya oleh Pemerintah,” katanya.

Said juga menjelaskan bahwa terjadinya pergeseran yang besar dari prinsip PMN yang merupakan penyelamatan dan penugasan. "Misalnya kalau tidak dikasih modal, maka ruginya akan membesar. Bukan karena rugi, lalu diganti” ujarnya.

Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk evaluasi lebih lanjut mengenai pemberian PMN kepada BUMN. "Jangan sampai yang menerima PMN adalah mereka yang masih memiliki modal dan perlu diperhatikan juga dari kesehatan BUMN tersebut. Ini secara tidak langsung mengambil uang rakyat melalui APBN untuk digunakan berbisnis. Sementara rakyat kekurangan subsidi,” tandasnya.

Komisaris Indofarma undur diri 
Pada awal 2024, Laksono Trisnantoro mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Komisaris Utama Indofarma. Pengunduran diri tersebut di tengah menguapnya isu gaji karyawan belum dibayarkan hingga penundaan pembayaran kewajiban utang sementara (PKPU). 

Berdasarkan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Direktur Utama Indofarma, Yeliandriani menyampaikan bahwa pengunduran Laksono Trisnantoro per 3 April 2024.

“Indofarma telah menerima surat permohonan pengunduran diri Laksono dari jabatannya sebagai Komisaris Utama terhitung sejak diperolehnya persetujuan dari RUPS 2023 perusahaan,” tulis Yeliandri dalam keterangannya, Jumat (5/4/2024).  

Sebelumnya, Laksono juga melayangkan surat pengunduran diri pada 8 Januari 2024 lalu. Laksono telah menjabat sebagai Komisaris Utama Indofarma sejak April tahun 2021 dengan tujuan untuk mengembangkan bidang alat kesehatan dan herbal sesuai dengan rencana transformasi Holding BUMN Farmasi. 

Namun, kata Laksono, situasi saat ini tidak memungkinkan lagi untuk melakukan pengembangan tersebut di PT Indofarma Tbk sesuai dengan rencana transformasi BUMN tahun 2020. 

“Oleh karena itu dengan rendah hati kami mengajukan pengunduran diri sebagai Komisaris Utama PT Indofarma Tbk. Saya berharap pengunduran diri ini dapat diterima oleh Kementerian BUMN dan Holding BUMN Farmasi,” tulis laksono Selasa (9/1/2024). 

Skandal penipuan laporan keuangan 
Laksono Trisnantoro, menyatakan bahwa berdasarkan pengamatan dan hasil rapat Dewan Direksi PT Bio Farma dan Dewan Komisaris/Direksi pada 3 Januari 2024, situasi di PT Indofarma Tbk memiliki beberapa gambaran sebagai berikut:  

Pertama, berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada tahun 2023, ditemukan adanya indikasi praktik penipuan (fraud) di PT Indofarma Tbk. 

Laksono mengklaim situasi ini sudah dicurigai sejak tahun 2021 dan Dewan Komisaris PT Indofarma Tbk telah mengusulkan audit eksternal terkait masalah ini. Namun, audit tersebut tidak pernah dilakukan hingga kemunculan audit BPK pada 2023. 

Kedua, Laksono menyebut dalam rapat 3 Januari 2024, diumumkan bahwa Holding BUMN Farmasi tidak akan melanjutkan jalur Transformasi BUMN yang sebelumnya direncanakan. 

Sebelumnya, PT Indofarma Tbk direncanakan akan menjadi bagian dari Holding yang berfokus pada alat kesehatan dan herbal. Namun, kata Laksono, kondisi perusahaan pada tahun 2023 membuatnya tidak lagi cocok untuk peran tersebut. 

Sebagai gantinya, Direksi PT Bio Farma (Persero) menyatakan bahwa kegiatan usaha alat kesehatan dan herbal akan dialihkan ke perusahaan lain yang berada di dalam Holding.

Ketiga, terjadi proses downsizing di perusahaan dengan mengurangi Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) dari Rp 450 miliar menjadi Rp 250 miliar. “Di samping itu PT Indofarma Tbk berada di dalam penanganan PPA untuk mengatasi masalah saat ini,” tulis Laksono dalam keterangannya, Selasa (9/1/2024).