Dari Sarang Mafia (Petral) Nyangkut di Pertamax Abal-abal

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 2 Maret 2025 01:54 WIB
Riva Siahaan sempat bekerja di anak perusahaan Pertamina yakni sebagai Bunker Trader di Pertamina Energy Services Pte Ltd (Petral). Saat menjadi bos di Pertamina Patra Niaga sering di maki-maki Ahok (Foto: Dok MI/Aswan)
Riva Siahaan sempat bekerja di anak perusahaan Pertamina yakni sebagai Bunker Trader di Pertamina Energy Services Pte Ltd (Petral). Saat menjadi bos di Pertamina Patra Niaga sering di maki-maki Ahok (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Korupsi di tubuh PT Pertamina (Persero) tidak pernah ada habisnya. Habis PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral), terbitlah PT Pertamina Patra Niaga (PPN). Keduanya sama-sama perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang saat ini dinahkodai Erick Thohir sebagai menterinya.

Ironisnya, sang Direktur Utama (Dirut) PPN, Riva Siahaan tersangkut dalam korupsi tata kelola minyak dan produksi kilang periode 2018-2023. Periode 2023 saja telah merugikan negara Rp 193,7 triliun. 

Dia ditersangkakan bersama 8 orang lainnya, yakni Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi (YF); Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Kerry Andrianto Riza (MKAR); VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina International Agus Purwono (AP); Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadhan Joedo (GRJ).

Lalu, Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin (SDS); Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati (DW); Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya (MK); dan VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga Edward Corne (EC).

Penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi di PT Pertamina Patra Niaga ini pun terus berlanjut dengan fokus pada pengumpulan bukti. Pemeriksaan saksi juga dimungkinkan pada mantan Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Ahok sapaannya mengaku dengan senang hati saja diperiksa penyidik Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejagung. Dia akan buka-bukaan terkait mega korupsi di Pertamina yang menyeret para pejabat perusahaan migas berpelat merah ini ke hadapan anak buah Jaksa Agung ST Burhanuddin.

Sebagai Komisaris Utama Pertamina periode 2019-2024, Ahok berkeinginan mengungkap bukti dugaan penyalahgunaan wewenang dan praktik korupsi yang terjadi antara 2018 dan 2023.

Rekaman dan notulen rapat semasa dirinya menjabat menjadi bukti atas dinamika di internal Pertamina yang kian meresahkan. Dalam sebuah wawancara Ahok mengatakan, sejak awal kariernya di Pertamina, dirinya mulai mencurigai terhadap pergerakan para Direksi Utama (Dirut).

Ahok merasa ada kejanggalan, terutama mengenai peran oknum yang pernah terlibat di Petral, organisasi yang telah di bubarkan karena di anggap sarang mafia, namun kini di orang Petral jadikan Dirut di Patra Niaga. 

Tak lain adalah Riva Siahaan. Saat masih Komut Pertamina, Ahok pernah mengancam memecat Riva dan memaki-makinya. “Saya sudah teriak berapa kali gue pecat lu,” kata Ahok dinukil Monitorindonesia.com, Sabtu (1/3/2025).

Di momen saat jadi Komisaris Utama (Komut) itu, Ahok bahkan mengatakan hal tersebut dilakukannya bukan hanya sekali. Tapi nyaris tiap pekan. 

“Maki-maki hampir tiap minggu,” tegasnya.

Ia lalu menjelaskan beberapa momen yang dimaksud. Yakni saat Ahok memerintahkan Riva agar pembayaran tunai ditiadakan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). “Saya kasih contoh ya. Saya minta tunai dihilangkan di SPBU,” katanya.

Saat Riva ditetapkan tersangka oleh Kejagung, Ahok mengaku tak terlalu kaget. “Iya (tidak kaget). Tapi saya tidak pernah berpikir dia kena kasus markup markup. Karena bukan ranah saya. Tapi kalau marah karena mereka tidak kerjakan, saya sudah marah berkali-kali karena lambat masuk digital,” bebernya.

Selama ia menjabat Komut Pertamina, Ahok mengatakan sudah bekerja semaksimal mungkin. Namun ia keterbatasan wewenang, karena hanya menjabat Komut, bukan Direktur Utama (Dirut). “Kenapa gak bisa sikat semua? Lo kasih gue Dirut dong. Gue pecatin-pecatin tiap Minggu,” katanya.

Ahok
Mantan Komisaris Utama (Komut) PT Pertamina, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Diketahui, bahwa pada 2015, Riva sempat bekerja di anak perusahaan Pertamina yakni sebagai Bunker Trader di Pertamina Energy Services Pte Ltd (Petral). Lalu saat menjadi bos di PPN inilah yang membuat Ahok tak habis pikir. 

“Petral (sarang mafia) di bubarkan, tapi kenapa kemarin orang Petral jadi Dirut Patra Niaga? Jangan tanya saya, tanya ke Menteri BUMN dong,” kata Ahok.

Lantas, dia mencurigai pemecatan salah satu mantan Dirut yang di duga enggan menandatangani kontrak pengadaan aditif. 

Menurutnya, langkah tersebut merupakan bagian dari permainan internal yang merugikan perusahaan dan negara. Lebih lanjut, Ahok mengaitkan isu pengoplosan bahan bakar antara Pertamax dan Pertalite dengan pengadaan aditif.

Kendati, pihak Pertamina membela dengan menyatakan zat aditif tersebut berfungsi meningkatkan performa mesin. Namun, Ahok menyatakan bahwa pemisahan tender antara transportasi dan pengadaan aditif membuka peluang bagi kecurangan, di mana tender transportasi yang lebih mahal kalah dari tender aditif yang lebih murah.

Ia juga mengungkapkan saat di dalam sebuah rapat, ia pernah di tekan untuk menandatangani dokumen dengan ancaman tidak tersedianya pasokan di SPBU. Meski telah menginstruksikan agar pengadaan di lakukan secara terpadu, praktik korupsi tersebut tetap berlangsung.

Ahok mengatakan, perannya sebagai Komisaris Utama saat itu membatasi kapasitasnya untuk melakukan pemecatan langsung terhadap pejabat yang melanggar aturan. “Jika saya berwenang sebagai Dirut, saya akan segera memecat pejabat yang tidak menjalankan tugas dengan benar,” ujarnya.

Menurutnya, kendala inilah yang membuat dirinya tidak pernah di angkat sebagai Dirut meski sebelumnya di janjikan posisi tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan sistemik seperti ini, Ahok menyarankan pemerintah menerapkan sistem e-katalog yang di kelola oleh LKPP dan menggunakan harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang ditetapkan Menteri ESDM.

Ia yakin, langkah tersebut dapat meningkatkan transparansi dan efisiensi, sekaligus mengurangi peluang bagi praktik mafia migas. Tanpa reformasi menyeluruh, ia memperingatkan, Pertamina akan terus menjadi sarang korupsi. 

Siapa mafia sesungguhnya?

Kasus suap PT Pertamina Energy Trading Limited (Petral) kembali mencuat seiring terbongkarnya dugaan kasus korupsi di PT Pertamina Patra Niaga itu. Soalnya, kasus teranyar tersebut turut menyeret nama pengusaha minyak dan gas Muhammad Riza Chalid. Sementara dalam kasus Petral, nama Riza Chalid sempat disebut dalam audit forensik perusahaan yang dibubarkan pada 2015 lalu itu. 

Dalam kasus teranyar, yang terlibat adalah anak Riza, Muhammad Kerry Adrianto Riza, yang ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara merugikan negara Rp 193,7 triliun tersebut.

Pun, Kejagung membuka peluang penyidik memeriksa Riza Chalid. Ada kemungkinan keterlibatan pengusaha tersebut dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja sama (KKKS) itu.

Kejagung akan periksa Riza Chalid
Riza Chalid (kiri) dan Muhammad Kerry Adrianto Riza (Foto: Kolase MI)

“Saya kira terbuka saja kemungkinan untuk itu, melihat dari nanti fakta-fakta dalam bukti yang sudah dikumpulkan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, di Kompleks Kejaksaan Agung, Rabu (26/2/2025).

Adapun kasus Petral mencuat pada kurun 2014 setelah Satgas Anti-Mafia Migas pimpinan mendiang Faisal Basri menemukan kejanggalan. Petral pun dibubarkan namun kasusnya tidak kunjung terungkap. 

Baru pada 2019 ada titik terang setelah penetapan tersangka. Kasusnya kembali tenggelam walau sempat disinggung pada 2024 lalu. Bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut kasus ini ditandai dengan memeriksa puluhan saksi.

Berdasarkan catatan Monitorindosia,com, pada Jum'at (9/8/2024) KPK memanggil 4 saksi yakni, Vice President Corporate Strategic Planning PT Pertamina, Heru Setiawan; Assistant/Analyst Crude Import & Exchange Opt. PT Pertamina 2010–2016 Novianti Dian Pratiwiningtyas; PJS VP ISC PT Pertamina, Rusnaedy; dan Senior Vice President Corporate Strategic Growth PT Pertamina, Gigih Prakowo.

Dari empat saksi itu, hanya Heru yang hadir diperiksa KPK. "Saksi HS hadir dan penyidik terus menggali keterangan terkait dengan supply chain pembelian minyak bumi (crude oil) dan BBM (Mogas 88)," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika saat dikonfirmasi Monitorindonesia.com, Jumat (9/8/2024) malam.

Sementara, Novinta dan Rusnaedy memohon penjadwalan ulang dengan alasan kesehatan. Teruntuk Gigih dikabarkan telah meninggal dunia.

Pada Kamis (8/8/2024), KPK memanggil Junior Analyst Claim PT Pertamina, Nining Kusmanetiningsih;Direktur Pengolahan PT Pertamina, Rukmi Hadihartini; Vice President Integrated Supply Planning PT. Pertamina Tafkir Husni; dan mantan Assistant Manager Product Market Analyst (eks Assistan Manager Claim Officer) PT Pertamina, Sri Hartati.

Dari 4 saksi itu, hanya Sri Hartati tak memenuhi panggilan KPK karena surat pemanggilan yang retur ke penyidik. "Saksi NK, RH, dan TH hadir. Penyidik masih mendalami keterangan terkait dengan supply chain pembelian minyak bumi (crude oil) dan BBM (Mogas 88)," kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika saat dikonfirmasi, Kamis (8/8/2024).

Lalu, pada Rabu (7/8/2024), KPK memanggil Manager Integrated Supply Planning PT Pertamina, Lina Rosmauli Sinaga; Eks Direktur Umum PTMN PT Pertamina, Luhur Budi Djatmiko; VP Legal Counsel Downstream PTMN PT Pertamina, Mei Sugiharso; dan  BOD Support Manager PT Pertamina, Mindaryoko.

Pada Selasa (6/8/2024) KPK memanggil mantan dewan komisaris PES dan mantan Direktur Keuangan PTMN PT Pertamina, Ferederick ST Siahaan; mantan dewan direksi PTMN PT Pertamina, Ginanjar Sofyan; Senior Analyst Downstream PT Pertamina, Imam Mul Akhyar; dan Account Receivables Manager PT Pertamina, Iswina Dwi Yunanto.

Tessa Mahardika Sugiarto menyatakan bahwa 4 saksi itu hadir dalam pemeriksaan. "Semua saksi hadir," kata Tessa.

Sementara pada Kamis (1/8/2024) KPK turut memanggil Cost Management Manager - Management Acct. Controller PT Pertamina Agus Sujiyarto; Manager Market Analysis Development PT Pertamina, Anizar Burlian; Manager Crude Product and Programming Commercial PT Pertamina, Cendra Buana Siregar; dan Direktur Utama PT Anugrah Pabuaran Regency, Lukman Neska.

Kendati demikian, hanya Agus Sujiyarto yang menjalani pemeriksaan, sisanya mangkir dengan dalih telah pensiun dan sakit.

Hingga saat ini, KPK belum melakukan pemeriksaan lagi terhadap saksi-saksi kasus dugaan korupsi menyeret Managing Director PT Pertamina Energy Services Pte. Ltd. (PES) periode 2009–2013 Bambang Irianto pada 10 September 2019 itu. 

"Belum ada pemeriksaan saksi-saksi lagi sementara ini," kata Juru Bicara KPK, Tessa Mahadika Sugiarto kepada Monitorindonesia.com, dikutip pada Senin (23/12/2024) lalu.

Penting diketahui, bahwa saat penetapan tersangka pada 2019 terhadap Managing Director Pertamina Energy Services Pte. Ltd (PES) periode 2009-2013 Bambang Irianto (BTO), kasus Petral berawal ketika Bambang diangkat menjadi Vice President Marketing Pertamina Energy Service.

Pada 2008, Bambang bertemu dengan perwakilan Kernel Oil Ltd—salah satu rekanan dalam perdagangan minyak mentah dan produk kilang untuk PES/PT Pertamina (Persero). Bambang melakukan pengadaan tender penjualan minyak mentah dan produk kilang untuk kebutuhan Pertamina dan mengundang National Oil Company (NOC), Major Oil Company, Refinery, maupun trader.

Dalam kasus ini, NOC akhirnya menjadi pihak yang mengirimkan kargo untuk PES/PT Pertamina adalah Emirates National Oil Company (ENOC). Diduga, perusahaan ENOC diundang sebagai kamuflase agar seolah-olah PES bekerja sama dengan NOC agar memenuhi syarat pengadaan. Padahal minyak berasal dari Kernel Oil.

Menurut KPK, Bambang selaku VP Marketing PES membantu mengamankan jatah alokasi kargo Kernel Oil dalam tender pengadaan atau penjualan minyak mentah atau produk kilang. Sebagai imbalannya diduga Bambang Irianto menerima sejumlah uang yang diterima melalui rekening bank di luar negeri.

Pada awal pemerintahan Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi, pemerintah lalu membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 14 November 2014 lalu menunjuk Faisal Basri sebagai pimpinan tim yang kemudian dikenal sebagai Satgas Anti-Mafia Migas tersebut.

“Mengatasi masalah sistem harus dengan sistem,” kata Sudirman Said, Menteri ESDM saat itu.

Pada Desember 2014, Tim Reformasi menemukan kecurangan yang dikenal lalu dengan sebagai skandal Petral dalam pengadaan melalui perusahaan minyak pemerintah asing (NOC). 

Dengan pola ini, rantai pengadaan minyak terkesan pendek. Kenyataannya, banyak perusahaan minyak nasional yang sebenarnya tak memiliki sumber minyak sendiri.

Kecurigaan muncul saat Maldives NOC Ltd berhasil menang tender pengadaan. Perusahaan ini jelas-jelas tak memiliki sumber minyak. Berdasarkan informasi yang diperoleh Faisal Basri, Maldives NOC beberapa kali digunakan sebagai kedok untuk memenuhi ketentuan pengadaan minyak oleh Petral.

Dalam perkembangannya, hasil audit forensik terhadap Petral menyebutkan terjadi anomali dalam pengadaan minyak pada 2012-2014. Temuan lembaga auditor Kordha Mentha menyebut jaringan mafia minyak dan gas (migas) menguasai kontrak suplai minyak senilai US$ 18 miliar atau sekitar Rp 250 triliun selama tiga tahun.

Berdasarkan keterangan Sudirman Said, ada beberapa perusahaan pemasok minyak mentah dan bahan bakar minyak kepada PT Pertamina melalui Petral pada periode itu. 

Setelah diaudit, kata Sudirman, semua pemasok berafiliasi pada satu badan yang sama, yang menguasai kontrak US$ 6 miliar per tahun atau sekitar 15 persen dari rata-rata impor minyak tahunan senilai US$ 40 miliar. “Itu nilai kontrak yang mereka kuasai, bukan keuntungan,” kata Sudirman.

Namun, Sudirman enggan membeberkan grup usaha yang ia maksud. Akibat ulah mafia ini, lanjut Sudirman, Pertamina tidak memperoleh harga terbaik dalam pengadaan minyak ataupun jual-beli produk BBM. 

Menurut sumber di Kementerian ESDM, Petral menjadi kepanjangan tangan pihak ketiga untuk masuk proses pengadaan minyak.

“Pihak ketiga ini memiliki informan di tubuh Petral, yang membocorkan informasi pengadaan minyak, memunculkan perhitungan harga serta mengatur tender. Sebelum disampaikan ke peserta tender, si pembocor menyampaikannya dulu ke jaringan tersebut.”

Riza Chalid terlibat?

Riza Chalid diduga menjadi sosok kunci dalam hasil audit forensik Petral pada 2015. Dalam audit forensik dari KordaMentha, auditor asal Australia, mengungkapkan modus permainan kotor impor minyak dan gas di sekitar Petral pada 2012-2014.

Salah satu temuan audit forensik itu menyebutkan kebocoran informasi pengadaan minyak mentah dan BBM merembes ke luar perusahaan lewat [email protected]

Melalui grup e-mail inilah semua data rahasia PES, termasuk harga perkiraan sendiri (HPS), dibocorkan ke pihak luar. Akibatnya, Pertamina tidak mendapatkan harga yang kompetitif.

Menurut temuan itu, setidaknya ada lima nama pegawai PES yang tidak kooperatif selama investigasi forensik berlangsung. Pihak luar yang menerima bocoran data itu adalah Global Energy Resources Pte Ltd dan Veritaoil Pte Ltd. 

Menurut Sudirman Said, Global Energy merupakan perusahaan yang terafiliasi dengan Riza Chalid, importir kakap minyak dan gas.

KPK kemudian menetapkan tersangka dalam kasus ini pada September 2019 setelah mengklaim melakukan penyelidikan sejak Juni 2014. 

Terduga pelaku utamanya adalah Bambang Irianto. Bambang diketahui pernah menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina Petral sebelum dilakukan penggantian pada 2015. 

“Setelah terpenuhinya bukti permulaan yang cukup, KPK meningkatkan ke penyidikan dalam perkara dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait kegiatan perdagangan minyak mentah dan produk kilang di PES selaku “subsidiary company” PT Pertamina (Persero),” kata Laode M Syarif saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta.

KPK mengungkapkan tersangka Bambang melalui rekening perusahaan SIAM Group Holding Ltd diduga telah menerima uang sekurang-kurangnya 2,9 juta dolar AS atas bantuan yang diberikannya kepada pihak Kernel Oil. Duit suap itu terkait kegiatan perdagangan produk kilang dan minyak mentah kepada PES/PT Pertamina di Singapura dan pengiriman kargo.

Bambang kemudian dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (wan)

Topik:

Korupsi Pertamina Kejagung Pertamina Patra Niaga Pertamax Abal-abal