Rakyat Tapanuli Menanti Keputusan Presiden Jokowi Menutup TPL

Adrian Calvin
Adrian Calvin
Diperbarui 6 Agustus 2021 11:11 WIB
Inisiator Aksi Jalan Kaki Tutup TPL, Togu Simorangkir dan tim AKSI Tutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) pada Jumat (6/8/2021) sekitar Pukul 10.30 WIB bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi). Presiden Jokowi diharapkan segera menutup TPL karena telah banyak menyengsarakan masyarakat Tapanuli. Togu yang merupakan aktivis lingkungan itu bersama Tim 11 telah berjalan kaki selama 44 hari sejauh lebih dari 1.700 kilometer dari Toba ke Jakarta hanya untuk bertemu Presiden Jokowi. Togu dan kawan-kawan telah menyiapkan laporan setelah 67 halaman untuk diserahkan epada Presiden Jokowi. Laporan itu disertai foto-foto kebiadapan TPL kepada masyarakat Tapanuli. Dikutif dari laporan yang diserahkan ke Presiden Jokowi, TPL jelas telah menjadi sumber bencana bagi masyarakat kitaran Kaldera Toba. Keberadaan bukan manfaat, melainkan mudharatlah yang lebih banyak dihadirkan PT Inti Indorayon Utama (IIU, kini lebih dikenal sebagai PT Toba Pulp Lestari, TPL). TPL memperoleh izin operasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di penghujung 1983. Korporasi yang dimiliki taipan Sukanto Tanoto (Tan Kang Hoo) memunculkan masalah yang tak berkesudahan sedari awal hingga sekarang. Perilakunya yang sangat eksploitatif, nakal, gemar memecah-belah masyarakat, dan menyengsarakan orang banyak menjadi musebabnya. Menteri Kehutanan memberi izin kepada Indorayon (IIU) di tahun 1984 untuk menggarap hutan pinus 86 ribu hektar di Sumatra Utara (Sumut). Pada 1986 korporasi ini juga mendapat hak pengusahaan hutan (HPH) 150 ribu hektar dari otoritas tersebut. Soalnya adalah sebagian konsesi ini tumpang tindih dengan tanah adat, termasuk apa yang dikenal sebagai hutan ulayat. Namun, di masa Orde Baru itu rakyat yang menyoal bisa saja dituduh subversif sebab menghalangi pembangunan. Masalah semakin mengemuka setelah pabrik Indorayon mulai beroperasi pada 1988 di lahan 200 hektar di Sosor Ladang, Kecamatan Parmaksian, Porsea. Selain bubur kayu (pulp) dan rayon (unsur penting untuk tekstil) ternyata bahan kimia dalam jumlah besar di sana mereka produksi juga untuk digunakan sendiri. Hal ini terungkap jauh hari kelak yakni setelah Labat Anderson Incorporated, perusahaan konsultan AS yang ditugasi pemerintah mengumumkan hasil auditnya pada 1996. Warga Porsea sangat diresahkan oleh limbah kimia—gas, cair, dan padat— dari pabrik Sosor. Bau busuk yang harus dihirup, itu baru satu hal. Masih ada sederet perkara lain, termasuk lahan pertanian yang rusak akibat air, tanah, dan udara yang tercemar; kulit yang menjadi gatal-gatal; dan atap seng yang bolong-bolong. Penduduk di sepanjang aliran Sungai Asahan juga ikut menderita. Masalahnya, air Danau Toba yang digunakan Indorayon dalam proses produksi dialirkan kembali ke sana dengan kondisi sudah tercemar oleh bahan kimia. Padahal, air itu mereka manfaatkan betul sehari-hari termasuk untuk keperluan rumah tangga dan pertanian. Petaka yang lebih dahsyat terjadi setelah hutan pinus dan hutan alam konsesinya dibabati Indorayon. Pada periode 1988-1999 saja perusahaan ini menghasilkan sekitar 2 juta ton pulp dan rayon. Untuk itu perlu sedikitnya 10 juta kubik kayu. Lahan yang sudah gundul kemudian mereka tanami dengan eukaliptus, tumbuhan yang rakus air. #aksi jalan kaki tutup tpl Keanekaragaman hayati berganti dengan monokultur. Tentu saja ini melahirkan ekses yang luar biasa terhadap flora dan fauna. Kalau bukan punah, organisme ini merana. Kawanan monyet yang ratusan tahun berhabitat di hutan Sibaganding, Parapat, umpamanya, sampai sekarang sebagian menjadi pengemis di pinggir jalan yang menanti sedekah dari penumpang kendaraan. Ada juga yang menjadi pencuri-penjarah di rumah-rumah termasuk yang di dalam kota. Sungai yang mengalir ke Danau Toba (sekitar 145 buah) krisis serius, kalau bukan kerontang. Sebabnya? Daerah tangkapan air telah rusak, kalau bukan hancur. Hujan menjadi jarang. Alhasil, permukaan danau terbesar di Asia Tenggara (terakbar di dunia sebagai danau kaldera) terus menurun. Pada periode Mei 1984-Juni 1998 saja surut hingga 2,86 meter, menurut LAPAN; sekarang sudah jauh lebih parah. Pada sisi lain, longsor dan banjir bandang semakin membayang. Pada 7 Oktober 1987, misalnya, longsor terjadi 2 kali (selangnya 3 jam) di Bukit Tampean, Kecamatan Silaen. Akibatnya 18 orang tewas. Tanah amblas akibat keserampangan pembukaan jalan yang menghubungkan Silaen dengan desa Sianipar (I dan II), Natumingka, dan Dolok Jior, oleh Indorayon. 5 Pada 25 November 1989 malam, giliran Bulu Silape, yang longsor. Saat itu 13 orang yang kehilangan nyawa. Contoh kekinian dari banjir besar adalah yang terjadi di tengah kota turis Parapat, pada kamis 13 Mei 2021. Air bah menerjang dari atas bukit yang ternyata sudah digunduli sejak lama. Aksi Protes Rakyat bangkit melawan Indorayon yang menghancurkan hutan dan meracuni alam. Itu sudah berlangsung bahkan sejak 1987. Pada Juni-Agustus tahun itu warga desa Sianipar (I dan II) serta Simanombak menyoal karena sawah mereka (15 hektar) tertimbun. Inilah perlawanan rakyat yang pertama sekali secara masif. Desa Sugapa bergolak sejak kepala desa dan 19 warga menyerahkan 52 hektar tanah ulayat kepada pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara (diterima oleh Bupati Gustav Sinaga), pada Maret 1987. Indorayon menanami lahan itu dengan eukaliptus mulai penghujung 1988. Merasa dikhianati, 10 inang-inang (ibu-ibu) lantas mencabuti tanaman itu dari ladangnya. Ternyata mereka kemudian diadili dan divonis. Setelah dijatuhi hukuman penjara 3 bulan oleh Pengadilan Tinggi Medan, 10 ibu pemberani mengajukan kasasi. Tak hanya itu, bersama penduduk Bulu Silape mereka mengadu ke Mendagri Rudini di Jakarta. Hasilnya, pada 13 Oktober 1989 warga Sugapa menerima kembali tanahnya. Sejak itulah kasus Indorayon menasional. Perlawanan dari warga yang dirugikan korporasi yang menginduk ke Raja Garuda Mas (RGM) terus meningkat seiring perjalanan waktu. Namun mereka direpresi oleh kekuatan yang hampir selalu melibatkan tentara dan polisi. #aksi jalan kaki tutup tpl Di tengah euforia reformasi, pada 19 Maret 1999 Presiden BJ Habibie menyatakan PT Inti Indorayon Utama ditutup sementara. Tentu saja warga senang. Mereka memaknainya sebagai kemenangan rakyat. Abdurahman Wahid—Megawati Soekarno Putri resmi menjadi presiden dan wakil presiden sejak 20 Oktober 1999. Bersemi harapan rakyat banyak bahwa perusahaan yang sangat bermasalah itu akan tutup selamanya. Apalagi Menteri Lingkungan Hidup Sonny Keraf nyata bersimpati ke mereka. Ternyata mereka harus kembali mengelus dada. Sidang kabinet yang dipimpin Wapres Megawati pada 10 Mei 2000 memutuskan bahwa rayon saja yang dihentikan; produksi pulp boleh jalan terus. Enam hari berselang Menteri Perdagangan dan Industri Rini MS Suwandi mengizinkan korporasi beroperasi kembali. Keputusan ini seketika mengobarkan kemarahan masyarakat yang sudah sempat menjalani kehidupan tenang seperti sediakala. Pergolakan berpuncak. Korban kembali berjatuhan. Hermanto Sitorus (siswa STM) tewas dibedil 6 aparat keamanan, pada 21 Juni 2000. Sebelumnya, pada 23 November 1998, dalam aksi unjuk rasa sekitar 10 ribu warga Toba Samosir, Panuju Manurung yang kehilangan nyawa. Pemuda yang baru meraih gelar insinyur elektro dari UKSW, Salatiga, disekap dan dianiaya karyawan Indorayon di pabrik mereka. Sejak 15 November 2000 PT Inti Indorayon Utama berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari. Di tahun 1992 HPH yang dimiliki Indorayon sudah 269 ribu hektar. Sebarannya di Kabupaten Tapanuli utara (17.943 Ha), Tapanuli Selatan (41.818 Ha), Dairi (31.627 Ha), Simalungun (22.533 Ha), dan Tapanuli Tengah (5.139 Ha). Begitupun, mereka terus-menerus lapar kayu. Sebabnya adalah pabrik mereka membutuhkan bahan yang lebih banyak dan lebih banyak lagi. Sejak bersebutan TPL, mereka memang tidak memproduksi rayon di pabrik Sosor Ladang. Yang mereka lakukan adalah mengirimkan pulp ke pabriknya di Cina untuk dirayonkan. Dari sana dan dari pabrik mereka di sejumlah negara, serat panjang itu disalurkan ke industri tekstil, sepatu, dan tas global. Penggunanya termasuk pemilik merek-merek paling top se-jagat. Indorayon yang telah menjadi Toba Pulp Lestari memuaskan lapar kayunya dengan cara legal maupun ilegal. Hasil investigasi Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, dan Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) pada 2-16 Juni 2021 di Tele, Habinsaran, Padang Sidempuan, dan Aek Raja memperlihatkan hal itu. Untuk meluaskan lahan eukaliptus mereka bisa melakukan segala cara. Perbenturan dengan masyarakat setempat pun terjadi. 7 Ratusan hektar hutan kemenyan (syntrax sp) mereka tebang di Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, pada 2007. Alasannya, tanah tersebut merupakan areal konsesi mereka. Rakyat setempat bangkit melawan. Pada Juni 2009, perlawanan kembali muncul. Kali ini masyarakat adat di Desa Pandumaan dan Desa Sipituhuta, Kecamatan Pollung, yang hutan kemenyannya dirusak TPL, yang menentang. Menggunakan pendekatan kekerasan, sedari dulu disukai awak korporasi ini manakala bersitegang dengan masyarakat. Juga, mengadu domba sesama warga. Adat Batak yang bertumpu pada Dalihan Natolu (tungku nan tiga) pun terancam. Saat menghadapi penduduk desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba, pada 18 Mei 2021, umpamanya. Rekaman video yang viral memperlihatkan bagaimana mereka menyerang, memukuli, dan menganiaya warga dengan menggunakan kayu dan bambu. Akibatnya, 12 orang luka-luka. Nenek-nenek dan kakek-kakek termasuk yang berdarah-darah.[Cal] #aksi jalan kaki tutup tpl Lihat Juga https://monitorindonesia.com/monindo2022/nusantara/aliansi-gerak-tutup-tpl-izin-pt-tpl/ #aksi jalan kaki tutup tpl

Topik:

Presiden Jokowi Tim 11 Tutup TPL