KemenPPPA Terima Masukan Masyarakat dalam Penyusunan RUU TPKS

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 2 Maret 2022 13:52 WIB
Monitorindonesia.com - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak atau KemenPPPA, kembali menerima masukan masyarakat dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Kali ini, KemenPPPA menerima masukan yang lebih mengerucut agar dapat diimplementasikan dalam RUU TPKS, berupa simulasi penanganan perkara yang dapat menguji norma RUU TPKS dalam mengurai hambatan pada penanganan kasus kekerasan seksual. “Pelaksanaan simulasi nantinya akan berfokus pada 2 simulasi, yaitu layanan terpadu dan restitusi. Saya memandang sangatlah penting keterlibatan dari kementerian/lembaga, jaringan masyarakat sipil, serta akademisi pada simulasi layanan terpadu dan restitusi dalam RUU TPKS ini,” kata Menteri PPPA Bintang Puspayoga seperti dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (2/3/2022). Dalam hal ini, ia dan pihaknya yakni yakni KemenPPPA mendengarkan pandangan dan pengalaman para pendamping korban dan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual serta mendiskusikan skema simulasi layanan terpadu dan restitusi dalam RUU TPKS. “Kami harapkan rancangan undang-undang ini tidak sebatas dokumen norma hitam atas putih. Kami ingin ketika disahkan undang-undang ini akan betul-betul implementatif. Kita perlu memastikan apakah implementasi nyata di lapangannya akan bisa ter-eksekusi dengan baik. Oleh karena itu, simulasi menjadi metode yang penting untuk dilakukan,” ungkap Menteri Bintang. Salah satu pendamping korban dari LBH Apik, Ratna Batara Munti, menuturkan bahwa dalam simulasi restitusi pihak pemerintah dalam hal ini KemenPPPA perlu mencermati detil aspek-aspek, mulai dari bentuk restitusi, mekanisme, serta eksekusinya. Di samping itu, katanya, eksekusi di lapangan soal restitusi bisa berlarut hingga tidak tertangani. Misalnya ketika pelaku meninggal dunia, sedang harta pelaku dipegang oleh ahli waris. "Atau ketika pelaku dinyatakan tidak mampu atau tidak mempunyai harta untuk dieksekusi. Selain itu, mekanisme pemberian ganti rugi kepada korban di luar proses peradilan pidana belum tertangani, padahal juga perlu diberi perhatian sehingga RUU ini nantinya sepenuhnya menjamin keadilan bagi korban," rincinya. Menurutnya, selain simulasi restitusi, simulasi juga perlu dilakukan terhadap penyelenggaraan layanan terpadu. Sebagai sebuah rancang bangun pelayanan bagi korban, sangat penting adanya pemahaman yang sama tentang penyelenggaraan pelayanan terpadu. "Untuk itu mengetahui yang dimaksud dengan penyediaan layanan yang dibutuhkan korban secara terpadu perlu dibedah dan disimulasikan," imbuhnya sembari menambahkan, hal itu perlu memperhatikan kekhasan korban kekerasan seksual yang umumnya korban membutuhkan berbagai layanan untuk pemulihan akibat tindak pidana kekerasan seksual. Ratna mengatakan, para pendamping korban selama ini melihat sejumlah permasalahan dalam pemberian layanan bagi korban. Hal utama yang dirasakan adalah masih seringnya korban harus menyediakan biaya sendiri untuk mengakses visum. Pihak Perempuan Mahardhika, Puspita juga menyampaikan ke KemenPPPA bagaimana rumah bagi pekerja perempuan yang sudah begitu baik disediakan oleh pemerintah dan perusahaan, ternyata masih sulit diakses para perempuan pekerja karena hambatan birokratik. "Demikian pula yang masih sangat memprihatinkan terbatasnya layanan psikososial dan konseling psikologi bagi korban agar korban mampu menyampaikan keterangan yang diperlukan untuk mengungkap peristiwa kekerasan seksual," katanya. Menurutnya, pembahasan tentang simulasi layanan terpadu mengerucut pada aspek akses pada layanan yang disediakan serta upaya mengatasi hambatan bagi korban dalam mengakses layanan. "Untuk itu, suatu simulasi akan dapat mengidentifikasi titik-titik hambatan dan cara memecahkannya untuk mendukung pemberian layanan bagi korban, serta pembiayaan dalam pemberian layanan bagi korban," pungkasnya. (Ery)  
Berita Terkait