Guru Besar IPB: 50 Persen Rakyat Indonesia Alami Kelaparan Tersembunyi

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 19 September 2022 21:38 WIB
Jakarta, MI - Guru Besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB University, Prof. Drajat Martianto menyebutkan terjadi penurunan dalam ketahanan pangan nasional. Hampir 50 persen penduduk Indonesia kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani dan kacang-kacangan atau kelaparan tersembunyi. “Posisi Indonesia di Global Food Security Index mengalami penurunan pasca pandemi COVID-19," ujarnya dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar pada, Kamis (15/9) lalu. Menurut Martianto, Indonesia saat ini tengah menghadapi triple burden of malnutrition, tiga masalah gizi sekaligus yaitu gizi kurang (stunting dan wasting), obesitas dan kurang gizi mikro atau kelaparan tersembunyi. Menurutnya, tantangan terbesar bangsa Indonesia saat ini bukan lagi kurang energi dan protein, tetapi kelaparan tersembunyi atau hidden hunger. Arti kelaparan tersembunyi disini berupa defisiensi zat gizi mikro, khususnya defisiensi zat besi, yodium, asam folat, seng, vitamin A dan zat gizi mikro lainnya. Ia menjelaskan, penelitian menunjukkan hanya satu persen rakyat Indonesia yang tidak mampu mengakses pangan makro yang mengandung karbohidrat. Namun persoalannya, hampir 50 persen penduduk Indonesia yang kekurangan sayuran, buah-buahan, pangan hewani dan kacang-kacangan. “Kualitas konsumsi pangan kita belum baik. Penelitian menunjukkan 1 dari 2 penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan hewani, buah dan sayuran yang mengandung zat gizi mikro,” jelasnya. Martianto menyebut kelaparan tersembunyi karena seringkali tanda-tandanya tidak nampak. Padahal, sesungguhnya dampaknya sangat besar. "Zat gizi mikro telah terbukti sebagai unsur gizi penting untuk peningkatan produktivitas kerja, kecerdasan dan imunitas," ucapnya. Secara nasional, Indonesia dapat mengalami kerugian lebih dari Rp 50 triliun dari rendahnya produktivitas kerja akibat Anemia Gizi Besi (AGB). Angka ini belum termasuk biaya layanan kesehatan akibat defisiensi gizi mikro yang parah dan masalah-masalah gizi yang lain. Kata dia, penganekaragaman pangan, suplementasi dan fortifikasi pangan disertai dengan higiene dan sanitasi lingkungan merupakan solusi untuk mengatasi masalah kurang zat gizi mikro. Fortifikasi atau penambahan zat gizi tertentu pada pangan telah terbukti efektif dalam menurunkan kelaparan tersembunyi, sekaligus sangat cost-effective. Dikatakan, biaya fortifikasi pangan untuk menanggulangi kurang yodium, vitamin A dan zat besi di berbagai negara umumnya kurang dari 0,5 persen harga produknya, tanpa biaya tambahan untuk pendistribusiannya hingga sampai ke konsumen. "Mengingat peranannya terhadap produktivitas kerja dan pendapatan, program fortifikasi pangan juga dilihat sebagai bagian dari program pengentasan kemiskinan," katanya. Selama ini, imbuhnya, Pemerintah Indonesia telah menetapkan program fortifikasi pangan wajib untuk mengatasi Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKI) melalui fortifikasi garam, Anemia Gizi Besi (AGB) melalui fortifikasi terigu dan fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A untuk mengatasi kurang vitamin A (KVA). “Komitmen pemerintah melakukan fortifikasi pangan ke depan juga masih sangat kuat. Ini ditunjukkan dengan masuknya program fortifikasi pangan pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019-2024. Namun demikian, disadari bahwa dinamika program fortifikasi pangan sangatlah besar,” katanya. Ia juga menambahkan, sebagai negara produsen beras terbesar ketiga di dunia fortifikasi beras untuk distribusi kelompok khusus (bantuan sosial, bantuan bencana alam) maupun voluntary secara komersial perlu dikaji lebih mendalam. Pertimbangannya, kata dia, prevalensi AGB di Indonesia masih tinggi dan tidak hanya diderita rumahtangga miskin. Dia berharap, kebijakan dapat efektif dalam mencakup semua populasi karena beras dikonsumsi hampir semua orang Indonesia. [Flo]