Dampak Negatif Internet pada Anak Meningkat, DPR Dorong Regulasi Perlindungan

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 18 Februari 2025 16:47 WIB
Anggota Komisi I DPR, Nurul Arifin (dok. MI)
Anggota Komisi I DPR, Nurul Arifin (dok. MI)

Jakarta, MI- Anggota Komisi I DPR, Nurul Arifin, menyoroti maraknya dampak negatif internet terhadap anak-anak di Indonesia. Ia menegaskan bahwa perkembangan teknologi yang pesat, tanpa adanya batasan bagi penggunanya, telah membawa konsekuensi serius.

Hal ini disampaikan Nurul Arifin dalam diskusi Koordinatoriat Wartawan Parlemen (KWP) bekerja sama dengan Biro Pemberitaan DPR RI dengan tema: “Mendorong Efektivitas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembatasan Akses Internet Terhadap Anak” di Ruang PPID Gedung Nusantara I Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa, (18/2/2025)

“Sejak awal saya sudah memiliki kegelisahan yang sama. Dengan banyaknya platform digital yang bisa diakses oleh siapa saja, termasuk anak-anak, dampak negatifnya semakin nyata. Kita sering membaca berita atau mendengar cerita dari ibu-ibu bahwa anak-anak terpapar konten yang tidak pantas. Ini membuat kita gundah gulana,” tegas Nurul.

Nurul juga mengapresiasi langkah pemerintah yang mulai merancang regulasi terkait perlindungan anak di dunia digital. “Dulu, Mbak Mutia sebagai Ketua Komisi I juga merasakan kegelisahan yang sama. Sekarang, kegelisahan itu ditangkap dan dijadikan dasar untuk menyusun aturan yang lebih konkret. Kabarnya, peraturan pemerintah terkait ini sedang dalam tahap penggodokan,” tambahnya.

Data terbaru menunjukkan bahwa dari 280 juta penduduk Indonesia, sekitar 32 juta adalah anak-anak di bawah usia 16 tahun. Dari jumlah itu, 89% menggunakan internet dengan rata-rata waktu 5,4 jam per hari. Sebagian besar dari mereka menggunakan internet untuk berkomunikasi melalui media sosial, yakni mencapai 86,5%.

Namun, studi juga mengungkap fakta mencengangkan tentang ancaman digital yang dihadapi anak-anak: 48% anak mengalami perundungan online oleh sesama anak, 50,3% anak pernah melihat konten bermuatan seksual di media sosial dan 2% anak dipaksa atau diancam untuk melakukan tindakan yang merugikan mereka.

Berdasarkan Chile Online Safety Index tahun 2020, Indonesia menempati peringkat ke-26 dari 30 negara dengan indeks keamanan digital yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan anak dalam dunia digital masih sangat lemah.

Sejumlah negara telah menerapkan kebijakan perlindungan anak di internet. Misalnya, Inggris memiliki Online Safety Act yang mengatur kebijakan penggunaan kecerdasan buatan dalam keamanan digital.

Australia telah melarang anak di bawah 16 tahun menggunakan media sosial seperti TikTok, Twitter, dan Facebook.

Prancis mewajibkan izin orang tua bagi anak di bawah 15 tahun untuk mendaftar media sosial. Amerika Serikat memiliki Children’s Online Privacy Protection Act (COPPA) yang membatasi pengumpulan data anak di bawah 13 tahun. Jerman mensyaratkan izin orang tua bagi anak di bawah 16 tahun untuk mengakses media sosial.

Nurul menegaskan bahwa Indonesia perlu mengadopsi kebijakan serupa. “Kita ingin memerangi dampak negatif media sosial terhadap anak-anak. Saya berharap pemerintah dan DPR bisa segera merealisasikan regulasi yang jelas dan efektif, bukan sekadar wacana,” katanya.

Ia juga mengingatkan pentingnya peran orang tua dalam pengawasan anak-anak. “Dengan fitur parental control, orang tua bisa membatasi akses anak pada platform tertentu. Kalau negara lain bisa menerapkan kebijakan tegas, kenapa kita tidak?” pungkasnya. ***

Topik:

Nurul Arifin Media Sosial DPR