HUT ke-13 DKPP: 5.832 Pengaduan Masuk, 52% Penyelenggara Direhabilitasi

Rizal Siregar
Rizal Siregar
Diperbarui 12 Juni 2025 20:48 WIB
Ketua DKPP Heddy Lugito dalam acara Syukuran HUT ke-13  (Foto. Rizal)
Ketua DKPP Heddy Lugito dalam acara Syukuran HUT ke-13 (Foto. Rizal)

Jakarta, MI - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) genap berusia 13 tahun pada Kamis, 12 Juni 2025. Di usia yang kian matang, lembaga ini menegaskan komitmennya untuk terus memperbaiki diri dan menjaga marwah etika pemilu di tengah tantangan demokrasi yang semakin kompleks.

“Kami ke depan akan berusaha keras untuk memperbaiki kinerja DKPP dalam banyak hal,” ujar Ketua DKPP Heddy Lugito dalam acara Syukuran HUT ke-13 DKPP bertajuk "Konsisten Menjaga Etika Penyelenggara Pemilu", yang digelar di Ruang Sidang DKPP, Jakarta, (12/6/2025).

Heddy menekankan, pemilu dan pilkada serentak yang digelar beberapa tahun terakhir menjadi perhatian utama DKPP karena skala dan kompleksitasnya yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Indonesia.

“Pemilu serentak ini adalah yang terbesar. Dampaknya luar biasa, termasuk meningkatnya pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu,”  ucap Heddy.

Ia mengungkapkan, sebagian besar pelanggaran etika muncul dari pengaruh eksternal, terutama dari peserta pemilu. “Pelanggaran itu banyak terjadi saat tahapan pemilu karena ada intervensi dari peserta dan lemahnya integritas penyelenggara,” tegasnya.

Namun tak hanya pada masa tahapan, Heddy menyebut pelanggaran non-tahapan juga tinggi, khususnya kasus-kasus yang bersifat asusila. “Peringkat pertama pelanggaran non-tahapan adalah asusila. Mulai dari kekerasan seksual, perjudian, hingga penyalahgunaan narkotika,” tambahnya.

Lebih lanjut, ia menyebut DKPP kerap menerima pengaduan di luar dugaan. “Pilkada sudah selesai, PSU rampung, tapi pengaduan ke DKPP masih ada terus. Bahkan soal utang piutang, pinjol juga dilaporkan ke sini. Unik memang lembaga ini,” kata Heddy sambil tersenyum.

Meski demikian, menurut Heddy, peran DKPP bukan hanya menjatuhkan sanksi, tapi juga melindungi nama baik penyelenggara yang tidak terbukti bersalah. “Putusan rehabilitasi mencapai 52 persen. Ini menunjukkan kami tidak hanya menghukum, tapi menjaga marwah lembaga,” tegasnya.

Berdasarkan data hingga 8 Juni 2025, DKPP telah menerima 5.832 pengaduan sejak dibentuk pada 12 Juni 2012. Dari jumlah itu, 2.475 perkara telah diputus dengan total 10.108 penyelenggara pemilu sebagai teradu.

Sebanyak 5.322 penyelenggara direhabilitasi karena tidak terbukti melanggar kode etik, sementara 3.378 orang mendapat peringatan tertulis, 86 diberhentikan sementara, 97 dicopot dari jabatan ketua atau koordinator divisi, dan 791 diberhentikan tetap.

“Hanya 48 persen yang dijatuhi sanksi, dan mayoritas menerima putusan DKPP. Hanya sedikit yang menggugat, terutama soal tindak lanjut di KPU atau Bawaslu,” ujar Heddy.

Namun, ia juga menyayangkan masih adanya pihak yang membawa putusan DKPP ke ranah hukum, seperti menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Ini menjadi otokritik bagi kami. Apakah putusan DKPP yang bermasalah, atau memang pribadi penyelenggara itu yang tidak layak? Ini bahan evaluasi kami,” pungkasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri Dalam Negeri Ribka Haluk menyampaikan apresiasi atas peran DKPP dalam menjaga integritas penyelenggara pemilu. Menurutnya, DKPP adalah garda terdepan dalam menegakkan kode etik.

“DKPP menjaga kepercayaan publik melalui penyelesaian perkara dan pemberian sanksi yang tegas terhadap pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu,” ujar Ribka dengan nada penuh keyakinan.

Topik:

DKPP Heddy Lugito Penyelenggara Pemilu Etika