Pemuda di Makassar Meninggal Pasca Ditangkap Polisi, Kompolnas Minta Lakukan Otopsi

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 17 Mei 2022 18:42 WIB
Jakarta, MI - Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) mengatakan bahwa untuk memastikan penyebab kematian, apakah itu karena penyakit, penyiksaan maupun hal lainnya, maka harus dilakukan otopsi. Demikian disampaikan oleh Komisioner Kompolnas Poengky Indarti begitu ia disapa saat menanggapi kasus meninggalnya seorang pemuda berinisial AA (18) setelah ditangkap oleh pihak Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Selatan (Sulsel) di Makassar yang diduga terkait kasus penyelahgunaan Narkoba. "Jika nantinya hasil otopsi menunjukkan penyebab kematian bukan akibat penyakit, maka patut diduga korban meninggal akibat penyiksaan mengingat keluarga menyampaikan bahwa Alm. sebelumnya sehat wal afiat," kata Poengky kepada MI, Selasa (17/5). Poengky melanjutkan, bahwa yang bertanggungjawab untuk melakukan penangkapan, penahanan dan penyidikan harus diperiksa Propam Polda Sulawesi Selatan. Menurutnya, jika dari pemeriksaan ditemukan adanya dugaan penyiksaan, maka para pelakunya harus diproses pidana atas dugaan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang. "Tetapi jika nantinya hasil otopsi menyatakan bahwa Almarhum meninggal dunia disebabkan karena penyakit, maka petugas yang bertanggungjawab melakukan penangkapan, penahanan dan penyidikan tetap perlu diperiksa Propam untuk mengecek salah tidaknya prosedur penanganan terhadap Almarhum," jelas Poengky Indarti. Lebih lanjut, Poengky menjelaskan, memang proses lidik sidik identik dengan kekerasan karena atas nama penegakan hukum memperbolehkan menangkap, menahan, menginterogasi dan melakukan penyitaan. "Tetapi kekerasan yang diperbolehkan hukum tidak boleh berlebihan, misalnya dilakukan pemukulan saat interogasi," ungkapnya. "Penyidik, penyidik pembantu, dan penyelidik harus selalu berpegang pada KUHAP dan aturan-aturan yang berlaku, termasuk Perkap 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Pelaksanaan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia," sambungnya. Maka dari itu, untuk mencegah kekerasan yang berlebihan dan menjunjung tinggi akuntabilitas, maka, kata Poengky Indarti, di ruang-ruang interogasi perlu dilengkapi CCTV dan Video Camera. Tak hanya itu, Kompolnas juga berkali-kali mendorong penggunaan Body Camera dan Dashboard Camera kepada anggota yang bertugas di lapangan, termasuk penyidik dan penyelidik. "Hal itu bertujuan untuk menghindari mereka melakukan kekerasan berlebihan dan sebagai bentuk transparansi kerja2 kepolisian," tutup Poengky Indarti. Polisi sebelumnya menangkap Arfandi di Rappokalling, Makassar Minggu (15/5) dini hari dan menyebut korban sebagai bandar narkoba dengan barang bukti dua gram sabu. Namun belakangan polisi membuat pernyataan klarifikasi bahwa korban bukan seorang bandar narkoba seperti pernyataan sebelumnya. "Sesuai informasi yang bersangkutan sering melakukan penjualan (narkoba). Inilah kita dalami apakah dia hanya perantara atau apa, yang jelas bukan bandar," kata Kapolrestabes Makassar Kombes Budi Haryanto kepada wartawan, Senin (16/5). Namun polisi kini kesulitan mengembangkan kasus ini. Korban Arfandi telah meninggal dunia sehingga polisi tak bisa mendalami lebih lanjut status korban yang sebenarnya. "Ini konstruksi perkaranya agak terputus ya karena yang bersangkutan meninggal. Jadi tersangka ini sebagai apa, ya terputus karena di saat pengembangan yang bersangkutan meninggal," cetus Budi. (La Aswan)

Topik:

Kompolnas