Wartawan di Blitar Dianiaya Preman saat Meliput Dugaan "Money Politic"

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 27 November 2024 12:26 WIB
Korban saat melapor di Polres Blitar Kota dugaan penganiayaan dan pengeroyokan. (Foto: Istimewa)
Korban saat melapor di Polres Blitar Kota dugaan penganiayaan dan pengeroyokan. (Foto: Istimewa)

Blitar, MI – Aksi kekerasan terhadap jurnalis kembali mencoreng proses demokrasi di Indonesia.

Seorang wartawan senior, PRA (55), menjadi korban pengeroyokan oleh sekelompok preman di Jalan Merapi, Kecamatan Kepanjenkidul, Kota Blitar, pada Selasa (26/11/2024). 

Akibat insiden tersebut, PRA mengalami luka fisik berupa lecet di dada, lebam di pipi kiri, serta keluhan pusing.

Kejadian ini bermula ketika PRA bersama sejumlah jurnalis lainnya meliput dugaan praktik 'money politics' yang diduga dilakukan oleh tim sukses pasangan calon (paslon) Wali Kota dan Wakil Wali Kota Blitar.

Lokasi peliputan berada di Dusun Mojo, Desa Plosoarang, Kecamatan Sanankulon.

Namun, upaya peliputan tersebut terhenti ketika para jurnalis menghadapi intimidasi dari beberapa preman yang berjaga di lokasi. Demi keselamatan, rombongan jurnalis memutuskan meninggalkan tempat tersebut dan beristirahat di sekitar Jalan Merapi. 

Tidak disangka, situasi memburuk saat PRA menerima telepon dari seorang kenalan, PTS, yang datang bersama kelompok preman tersebut. Tanpa basa-basi, mereka langsung mengeroyok PRA.

“Aksi pengeroyokan itu terjadi sangat cepat. Mereka marah karena kami meliput dugaan money politics, padahal kami hanya menjalankan tugas sebagai wartawan,” ujar salah satu jurnalis yang menjadi saksi mata.

Selain melakukan penganiayaan, para preman juga merampas dan memaksa penghapusan rekaman video dari wartawan lain yang mencoba mengabadikan insiden tersebut.

Laporan ke Polisi dan Desakan Penegakan Hukum

Korban langsung melaporkan kasus ini ke Polres Blitar Kota. PRA mendesak agar para pelaku segera ditangkap dan diadili sesuai hukum. Mengacu pada Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, tindakan menghalangi kerja jurnalistik dapat dikenakan sanksi pidana penjara maksimal dua tahun atau denda hingga Rp500 juta.

Namun, dalam kasus ini, penghalangan kerja jurnalistik disertai dengan kekerasan fisik, yang tentunya memperberat pelanggaran.

Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Blitar, Robby Ridwan, mengecam keras insiden tersebut. Menurutnya, aksi premanisme ini merupakan ancaman serius bagi demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia.

“Pengeroyokan terhadap wartawan tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai prinsip dasar demokrasi. Pilkada adalah pesta rakyat, bukan arena kekerasan,” tegas Robby. Ia menambahkan bahwa wartawan yang menjadi korban telah meninggalkan lokasi peliputan, namun tetap dikejar dan diserang.

Tuntutan IJTI: Jangan Anggap Remeh

IJTI Korda Blitar meminta agar aparat kepolisian bertindak tegas terhadap para pelaku. Robby mengingatkan bahwa insiden ini harus dijadikan pelajaran penting agar tidak ada lagi kekerasan terhadap jurnalis.

“Kami mengimbau semua pihak, baik aparat penegak hukum maupun masyarakat, untuk melindungi kebebasan pers. Jika wartawan yang dilindungi undang-undang saja masih bisa dianiaya, bagaimana dengan masyarakat biasa?” ujarnya.

Pentingnya Kebebasan Pers dan Demokrasi

Kejadian ini menjadi pengingat penting bagi semua pihak akan perlunya menjaga kebebasan pers sebagai pilar utama demokrasi. Kekerasan terhadap jurnalis, apalagi dalam konteks politik, menciptakan preseden buruk yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi.

Polres Blitar Kota diharapkan dapat mengusut tuntas kasus ini hingga ke akar permasalahan. Sementara itu, masyarakat diimbau untuk tetap mendukung kebebasan pers dan berperan aktif menjaga iklim demokrasi yang sehat dan bermartabat. (Joko Prasetyo)

Topik:

Blitar polres Blitar