DPRD Malut Desak Evaluasi Total K3 di Tambang

Albani Wijaya
Albani Wijaya
Diperbarui 7 Agustus 2025 16:33 WIB
Anggota DPRD Malut, Iswanto (Foto: Dok MI).
Anggota DPRD Malut, Iswanto (Foto: Dok MI).

Sofifi, MI - Lonjakan angka kecelakaan kerja di sektor pertambangan di Maluku Utara (Malut) sejak awal tahun 2025 menuai sorotan tajam dari DPRD Malut. Komisi III DPRD meminta evaluasi menyeluruh terhadap manajemen penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di seluruh perusahaan tambang, menyusul data mengejutkan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) yang mencatat 512 kasus kecelakaan kerja hanya dalam kurun waktu lima bulan pertama tahun ini.

Anggota Komisi III DPRD Malut, Iswanto, menyebut bahwa manajemen K3 yang diterapkan di sebagian besar perusahaan saat ini masih sebatas administratif dan belum menyentuh substansi budaya keselamatan kerja.

“Kebanyakan K3 itu hanya cenderung administratif. Padahal, yang paling penting dalam dunia kerja adalah Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Kalau angka korban terus naik, itu bicara data nyata di lapangan,” ujarnya saat ditemui Monitorindonesia.com, di Kantor DPRD Malut, Sofifi, Kamis (7/8).

Iswanto, mengungkapkan keprihatinannya terhadap maraknya kasus kecelakaan kerja yang terjadi di sejumlah perusahaan tambang di Malut. Ia menilai, insiden demi insiden yang menimpa para pekerja bukan sekadar akibat dari kelalaian teknis, melainkan menunjukkan adanya persoalan mendasar dalam sistem manajemen keselamatan yang dijalankan oleh perusahaan.

Menurutnya, banyak perusahaan belum menjadikan keselamatan kerja sebagai prioritas utama, sehingga tindakan preventif cenderung bersifat formalitas semata. Padahal, keberadaan sistem K3 seharusnya menjadi alat perlindungan menyeluruh bagi para pekerja di lingkungan kerja berisiko tinggi.

“Yang harus dievaluasi adalah LBS, agar penerapan K3 benar-benar sesuai prosedur. Kelalaian perusahaan menjadi faktor utama terjadinya banyak korban, karena pelaksanaannya belum efektif dan efisien,” katanya.

Iswanto kembali menyoroti pentingnya penerapan K3 di sektor pertambangan. Ia menyatakan bahwa tren kecelakaan kerja yang terus berulang dalam beberapa tahun terakhir merupakan cerminan dari lemahnya komitmen perusahaan terhadap perlindungan tenaga kerja. Dalam pengamatannya, masih banyak perusahaan yang memandang K3 sebagai beban administratif, bukan sebagai kebutuhan fundamental.

Politisi Partai Hanura ini menjelaskan, bahwa mayoritas insiden yang terjadi tidak semata-mata karena kesalahan individu pekerja, melainkan lebih pada lemahnya pengawasan dan manajemen risiko dari pihak perusahaan. 

Menurut dia, pengawasan internal yang dilakukan oleh tim K3 perusahaan sering kali tidak menyentuh akar masalah. Banyak temuan hanya ditindaklanjuti secara reaktif tanpa perbaikan sistemik jangka panjang.

Ia juga mengkritik minimnya pelatihan berkelanjutan dan simulasi penanganan darurat di lapangan. Dalam kondisi kerja yang mengandalkan mesin berat dan bahan berbahaya, ketiadaan pelatihan berkala bisa berujung fatal. 

Karena itu, ia menekankan bahwa tanggung jawab perusahaan tidak hanya sebatas menyediakan alat pelindung diri (APD), tetapi juga memastikan seluruh prosedur keselamatan diterapkan secara konsisten.

“Spesifikasi teknis K3 sudah diatur, mulai dari alat pelindung, rambu, dan standar keselamatan. Tapi kalau implementasi manajemennya tidak ditegakkan, maka potensi kecelakaan akan terus meningkat,” tegasnya.

Ia juga mempertanyakan sejauh mana instansi pembina K3 menjalankan fungsi pengawasan secara efektif terhadap pelaksanaan standar keselamatan kerja di lapangan, sebab menurutnya, meskipun secara administratif perusahaan-perusahaan tambang telah memiliki dokumen K3, belum tentu seluruh prosedur tersebut benar-benar diterapkan secara nyata dan konsisten dalam aktivitas operasional harian.

“Administratif K3 mungkin sudah dimiliki semua perusahaan, tapi apakah itu dijalankan? Ini yang penting untuk diamati,” pungkasnya.

Sementara itu, berdasarkan data Dinas Nakertrans Malut menunjukkan lonjakan mencolok pada angka kecelakaan kerja. Dalam periode Januari hingga Mei 2025, tercatat 512 kasus kecelakaan kerja di wilayah Malut. Sebagai perbandingan, sepanjang tahun 2024, hanya tercatat 317 kasus.

Kepala Bidang Pengawasan dan Keselamatan Kerja Dinas Nakertrans Malut, Nirwan M. Turuy, menjelaskan bahwa lonjakan ini adalah sinyal bahaya serius terkait lemahnya pelaksanaan K3 di sektor pertambangan.

“Ini peringatan penting bagi semua pihak untuk lebih disiplin menerapkan K3. Dalam lima bulan saja kita sudah mencatat 512 kasus, dan ini belum termasuk kasus kematian yang belum kami data,” ungkap Nirwan saat ditemui di Sofifi, Selasa (5/8).

Ia mengungkapkan bahwa lonjakan ini berasal dari 105 perusahaan tambang aktif di Malut, dengan Kabupaten Halmahera Tengah sebagai penyumbang tertinggi kasus kecelakaan kerja.

Menurut Nirwan, penyebab utama dari meningkatnya kecelakaan kerja mencakup faktor teknis, perilaku kerja tidak aman (unsafe act), dan kondisi kerja yang berbahaya (unsafe condition). Kecelakaan seringkali terjadi karena kelalaian sederhana namun fatal.

“Banyak kasus karena pekerja tidak pakai helm atau APD, mengemudi dalam keadaan mengantuk, kurang waspada, atau melaju melebihi batas kecepatan. Semuanya bisa dicegah kalau ada pengawasan ketat dan kesadaran dari pekerja,” jelasnya.

Meski sebagian besar perusahaan sudah memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) K3, menurut Nirwan, pelaksanaan di lapangan masih menjadi persoalan utama.

“SOP itu hampir semua perusahaan punya. Masalahnya adalah eksekusi. Di atas kertas ada, tapi di lapangan sering diabaikan,” kata dia.

Nirwan juga mengakui bahwa data kecelakaan kerja yang dikumpulkan instansinya sebagian besar hanya mencakup klaim yang masuk ke BPJS Ketenagakerjaan. Banyak perusahaan yang tidak mendaftarkan seluruh pekerjanya, sehingga data resmi belum menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

“Kalau ada kecelakaan dan pekerja tak terdaftar di BPJS, perusahaan dikenai sanksi administratif. Misalnya, jika jari pekerja putus, tapi tidak ada jaminan, maka kami akan tentukan santunan sendiri sesuai aturan,” ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa ketimpangan data ini membuat penanganan kasus kecelakaan kerja menjadi tidak menyeluruh. Banyak pekerja yang menjadi korban kecelakaan kerja, namun tidak tercatat secara resmi karena tidak terdaftar dalam sistem perlindungan BPJS. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap akurasi angka kecelakaan yang dilaporkan secara nasional maupun daerah.

“Jadi data BPJS tidak mencakup semua korban, terutama mereka yang bekerja di perusahaan yang tidak patuh pada aturan jaminan sosial tenaga kerja,” tambah Nirwan.

Menutup pernyataannya, Nirwan mengimbau semua pihak, baik manajemen perusahaan maupun tenaga kerja, untuk lebih serius dan disiplin dalam menegakkan budaya keselamatan kerja.

“K3 adalah tanggung jawab bersama. Kesadaran akan keselamatan harus melekat dalam setiap aktivitas kerja. Kami terus mengingatkan perusahaan agar tidak abai terhadap aspek ini,” tandasnya. (Jainal Adaran)

Topik:

DPRD Malut