Komisi III Bongkar Borok PUPR dan Dishub


Sofifi, MI - Evaluasi program kerja Dinas PUPR Malut kembali membuka sejumlah catatan penting. Dalam rapat bersama mitra kerja yang digelar Kamis (4/9) pekan ini, Komisi III DPRD Malut menemukan banyak kendala, mulai dari proyek swakelola yang belum rampung, tumpukan utang multiyears, hingga lemahnya kesiapan dalam proses tender.
Ketua Komisi III DPRD Malut, Merlisa Marsaoly, menegaskan bahwa rapat evaluasi ini penting untuk memastikan APBD Perubahan 2025 benar-benar menyentuh kepentingan publik.
“Yang tadi ini Dinas PUPR dengan Dinas Perhubungan, dinas PUPR sendiri kita evaluasi program kegiatannya, karena ini RAPBD ini kan penyesuaian dengan anggaran semester pertama,” ujarnya.
Merlisa mengungkapkan, PUPR menyampaikan progres pekerjaan swakelola baru mencapai 70 persen. Meski optimis bisa rampung Oktober, ia menekankan pentingnya pengawasan ketat.
“Untuk swakelola sendiri itu tadi disampaikan oleh Dinas PUPR sendiri sudah 70 persen. Insya Allah, bulan Oktober bisa selesai, dan ini kan pengawasan Komisi III,” jelasnya.
Meski pihak PUPR mengklaim hampir seluruh kegiatan telah dilelang, fakta di lapangan menunjukkan masih ada pekerjaan yang terbengkalai. Proyek pembangunan gedung BPKAD menjadi contoh paling nyata. Kegiatan strategis itu justru belum dilelang hingga kini, sementara anggaran sudah bergerak dan sebagian pekerjaan lain diklaim berjalan. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan besar tentang keseriusan perencanaan PUPR dalam menuntaskan setiap program yang masuk dalam APBD.
Keterlambatan pelelangan tersebut bukan hanya masalah teknis, melainkan juga potret lemahnya manajemen proyek di tubuh PUPR. Publik tentu layak mempertanyakan janji penyelesaian swakelola 70 persen bila masih ada kegiatan vital yang mandek pada tumpukan prosedur administrasi. Situasi ini sekaligus memperlihatkan bahwa pengawasan DPRD harus lebih tajam, karena tanpa tekanan serius, proyek yang mangkrak berpotensi terus berlanjut tanpa kejelasan.
“Kemudian seluruh kegiatan di Dinas PUPR sendiri sudah dilelang, mungkin sebagian sudah dilaksanakan kerjanya. Tinggal satu kegiatan saja yang belum, itu gedung BPKAD yang memang belum dilelang,” tambahnya.
Salah satu catatan yang mengemuka adalah soal utang lama yang masih membayangi. Menurut Merlisa, pembayaran utang proyek multiyears 2023–2024 sebagian baru bisa diakomodir lewat APBD Perubahan 2025.
“Masih banyak inventarisir utang, utang yang multiyears tahun 2023, 2024, sebagian itu di tahun anggaran 2025. Kemarin di APBD Perubahan itu 50 miliar untuk bayar utang,” ungkapnya.
Dari total pagu anggaran Rp63 miliar untuk PUPR di APBD Perubahan, sebagian besar sudah terserap. Tetapi, pola pembiayaan masih dianggap tidak sehat karena beban utang berpotensi menyeret hingga 2026.
“Utang ini juga Komisi III mendorong supaya 2025 ini selesai. Akan tetapi, skema ini kan ternyata anggaran kita, kemampuan keuangan kita tidak mampu, jadi terbawa juga di tahun 2026 karena ada efisiensi,” tegasnya.
Selain persoalan utang, Merlisa juga menyoroti perubahan mendadak dalam mekanisme tender. Banyak kegiatan yang gagal berjalan lancar akibat kesiapan penyedia yang buruk.
“Ternyata dalam banyak yang diubah dalam pos rutin proses tender, karena mungkin kesiapan dari usaha dan kesiapan lainnya tidak berjalan baik,” katanya.
Untuk mengantisipasi masalah berulang, Komisi III mendorong pelatihan SDM agar lebih siap mengelola e-katalog.
“Makanya banyak yang dicari untuk proses tender. Makanya itu ada anggaran yang disiapkan untuk pelatihan khusus pada peningkatan SDM untuk e-katalog,” ujar Merlisa.
Meski banyak catatan, Komisi III berjanji tidak hanya berhenti pada rapat. Kata Merlisa, pengawasan langsung ke lapangan akan dilakukan untuk memastikan klaim capaian 70 persen benar adanya.
“Karena untuk dipersiapkan ke depannya, nanti akan tetap kita turun lapangan untuk mengecek sesuai apa yang disampaikan oleh Kadis sendiri, bahwa memang ini capaiannya 70 persen. Sementara kita kan lagi pembahasan RAPBD dulu, ada ruang yang memang akan kita turun untuk memantau secara langsung,” jelasnya. Ungkapan Merlisa itu seolah-olah menegaskan kembali fungsi DPRD sebagai lembaga pengawas, namun publik kerap melihat pengawasan saat reses lebih sering bersifat seremonial daripada menghasilkan temuan nyata.
Jika pendampingan hanya berhenti pada janji tanpa aksi, maka pengawasan yang digembar-gemborkan Komisi III akan kehilangan makna dan tak lebih dari formalitas politik.
“Bisa juga teman-teman dalam posisi reses ikut memantau dan mengawasi, tapi dalam kerja-kerja kita juga akan melakukan pendampingan,” tambahnya.
Dalam rapat yang sama, Komisi III juga mengevaluasi kinerja Dinas Perhubungan. Salah satu sorotan adalah potensi pendapatan asli daerah (PAD) yang bisa dioptimalkan lewat penataan kendaraan penumpang.
“Tadi kita mendorong karena Dinas Perhubungan ini salah satu dinas yang punya potensi dalam hal objek distribusi pajak pendapatan,” kata Merlisa.
Dia menegaskan bahwa Dinas Perhubungan tengah menyiapkan langkah tegas untuk memperketat aturan kendaraan penumpang. Menurutnya, masih banyak mobil berplat hitam yang beroperasi layaknya angkutan penumpang, sehingga merugikan daerah dari sisi regulasi maupun pendapatan. Kondisi ini bukan hanya menyalahi aturan, tetapi juga membuka ruang ketidakadilan bagi para pengusaha transportasi resmi yang selama ini taat aturan.
“Kaya mobil lintas plat hitam, ternyata mobil penumpang. Jadi, kalau seandainya didata kemudian diubah, semua mobil yang mau muat penumpang itu harus berplat kuning. Otomatis, pendapatan kita bisa didapatkan dari situ,” jelasnya. Penjelasan tersebut sekaligus menunjukkan bahwa diduga Dishub ingin menutup celah kebocoran retribusi, meski efektivitas kebijakan nantinya akan sangat bergantung pada konsistensi pengawasan di lapangan.
Selain persoalan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor transportasi, Komisi III juga mencatat adanya kebutuhan mendesak terkait fasilitas transportasi di sejumlah daerah. Masalah ini muncul sebagai bagian dari aspirasi masyarakat yang menghendaki akses transportasi lebih memadai, khususnya di wilayah terpencil yang selama ini kerap terabaikan.
Namun, upaya untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak berjalan mulus. Keterbatasan kewenangan antara pemerintah provinsi dan kabupaten sering kali menjadi penghambat, sehingga program yang seharusnya bisa langsung dieksekusi harus terhenti di meja koordinasi. Kondisi ini menunjukkan adanya persoalan struktural yang membuat kebijakan transportasi sulit menyentuh kebutuhan nyata masyarakat di lapangan.
“Teman-teman dari daerah lain juga dari Dapil Taliabu meminta dalam hal pemenuhan transportasi, tapi kemudian kadang-kadang kita mendorong dan mendukung, tapi kendala dengan kewenangan masing-masing wilayah. Karena harus ada kewenangan kabupaten kepala daerahnya, maka koordinasi itu sangat penting,” tutur Merlisa. (Jainal Adaran)
Topik:
Dinas PUPR Malut DPRD Malut