APBD Maluku Utara Tak Seimbang dengan Kekayaan Alam


Sofifi, MI - Gubernur Malut, Sherly Tjoanda, menegaskan bahwa pemerintah provinsi tengah menaruh perhatian besar pada upaya peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) melalui optimalisasi pajak dan retribusi. Hal itu disampaikan usai menghadiri rapat paripurna Pembicaraan Tingkat I Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Maluku Utara 2025-2029 di Kantor DPRD Malut, Jumat (15/8).
Gubernur Sherly menjelaskan bahwa pertemuan awal (entry meeting) bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah menjadi momentum penting untuk memperkuat sinergi antarlembaga dalam memperbaiki tata kelola keuangan daerah.
Pemprov Malut, kata dia, tidak hanya fokus pada pengeluaran, tetapi juga harus memastikan bahwa setiap potensi pendapatan daerah benar-benar digali dan dikelola secara optimal.
“Entri meeting bersama BPK perwakilan di Maluku Utara kita sudah memulai salah satu agenda terpenting adalah bagaimana meningkatkan pendapatan melalui pajak dan retribusi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sherly menyampaikan bahwa dukungan dari seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) menjadi kunci keberhasilan agenda peningkatan PAD ini.
Ia menegaskan, komitmen kolektif akan mempercepat langkah Maluku Utara menuju predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK pada tahun 2025 mendatang.
“Dan mohon kerjasama dari semua OPD terkait supaya proses ini dapat berjalan dengan baik dan lancar, target kita 2025 Pemprov Maluku Utara sudah bisa WTP,” tegasnya.
Ketika ditanya lebih rinci terkait pembahasan bersama BPK di ruang rapat lantai empat Kantor Gubernur Maluku Utara, Sherly menuturkan bahwa pembahasan difokuskan pada sinkronisasi data yang valid dan transparan.
Hal ini, kata Sherly, merupakan pondasi agar sistem keuangan daerah berjalan sehat dan tidak menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.
“Ditekankan kerjasamanya dengan baik, data-data disiapkan dengan baik dan tahun ini ada peningkatan bagaimana BPK akan membantu meningkatkan penerimaan dari pajak dan retribusi daerah,” ungkapnya.
Secara terpisah, Kepala BPK Malut, Marius Sirumapea, turut memberikan penjelasan usai menghadiri rapat dengan DPRD Malut. Ia menegaskan bahwa selain fokus pada pajak dan retribusi, BPK juga akan mengawasi isu lingkungan hidup yang kini menjadi salah satu masalah mendesak di Maluku Utara.
Menurut Marius, kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan semakin mengkhawatirkan. Oleh karena itu, BPK berkomitmen memastikan bahwa pemerintah daerah benar-benar memperhatikan aspek Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dalam setiap proses perizinan maupun operasional perusahaan tambang.
“Dan kami juga sekarang mengambil juga dengan lingkungan hidup, kita lihat kerusakan lingkungannya, karena ini terkait dengan pengawasan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa BPK tidak hanya ingin melihat bagaimana izin dikeluarkan, tetapi juga ingin memastikan apakah Amdal benar-benar dipatuhi oleh perusahaan tambang setelah beroperasi.
Hal ini menjadi penting karena kerusakan lingkungan berkaitan langsung dengan kualitas hidup masyarakat dan keberlanjutan pembangunan di daerah.
“Kita mau lihat Pemda ini gimana. Pada saat mengeluarkan izin, kan ada namanya analisis dampak lingkungan, kita mau lihat Amdalnya ada atau tidak,” tegas Marius.
Lebih lanjut, Marius menjelaskan bahwa dalam semester kedua tahun ini, BPK akan melaksanakan tiga fokus pemeriksaan utama di Provinsi Maluku Utara.
Ketiga fokus tersebut adalah pemeriksaan terkait proses penganggaran dan belanja daerah, pajak serta retribusi daerah, serta pengawasan terhadap isu lingkungan hidup.
“Karena kami akan melakukan pemeriksaan, semester dua ini kita ada tiga pemeriksaan di Provinsi. Yang pertama terkait dengan proses penganggaran dan belanja daerah. Yang kedua, terkait dengan pajak dan retribusi daerah dan yang ketiga terkait dengan lingkungan hidup,” jelasnya.
Dalam keterangannya, Marius juga menyoroti rendahnya tingkat optimalisasi pajak pertambangan yang seharusnya bisa menjadi sumber PAD utama di Maluku Utara.
Ia mengungkapkan bahwa masih banyak perusahaan tambang yang belum membayar kewajiban pajaknya secara penuh, termasuk pajak kendaraan bermotor, air permukaan, serta distribusi alat berat yang digunakan dalam operasi tambang.
“Pajak distribusi untuk perusahaan pertambangan belum membayar semua, baik kendaraan bermotor yang belum dipungut, air permukaannya seperti apa, distribusi kendaraan alat berat seperti apa,” ungkapnya.
Untuk itu, BPK telah mengidentifikasi tiga daerah yang akan menjadi fokus dalam pemeriksaan distribusi pajak pertambangan, yakni Halmahera Tengah, Halmahera Selatan, dan Halmahera Timur. Langkah ini ditempuh agar pemerintah daerah memiliki gambaran jelas mengenai potensi PAD yang seharusnya bisa dimaksimalkan dari sektor tambang.
“Maka ini kita ambil tiga daerah untuk pajak distribusi daerah dari Provinsi, Halmahera Tengah sama Halmahera Selatan,” tegasnya.
Marius juga mengkritisi lemahnya koordinasi pemerintah daerah dalam mengetahui secara pasti berapa jumlah pembagian hasil dari sumber daya alam yang dikelola. Menurutnya, kondisi ini mencerminkan lemahnya transparansi data yang pada akhirnya merugikan daerah.
“Yang menjadi persoalan sekarang ini Pemerintah Daerah tidak pernah mengetahui berapa yang dibagi menyangkut ini. Seperti pembagian hasil sumber daya alam, kita tanya ke Pemda berapa sebenarnya ternyata tidak ada yang tahu,” ujarnya.
Karena itu, BPK mendorong pemerintah provinsi untuk duduk bersama dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk DPRD dan pengusaha tambang, agar memiliki pemahaman yang sama terhadap regulasi sekaligus memperjuangkan hak daerah atas penerimaan yang adil.
“Jadi Badan Pemeriksaan Keuangan BPK akan mendorong untuk pendapatan ini, kita duduk bersama dengan Pemerintah Daerah, sepaham dulu, kita baca sama-sama undang-undangnya baru kita akan panggil seluruh pengusaha pertambangan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Marius menilai kondisi Maluku Utara saat ini cukup ironis. Daerah yang kaya dengan sumber daya alam justru masih memiliki keterbatasan fiskal untuk membiayai pembangunan.
Ia mencontohkan Kabupaten Pulau Taliabu dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) hanya sekitar Rp600 miliar, yang menurutnya sangat kecil untuk mendorong pembangunan infrastruktur maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Maka nantinya Gubernur yang memanggil pengusaha tambang untuk mendiskusikan agar membantu daerah ini karena daerah ini tragis karena kita memiliki sumber daya alam yang kaya tapi miskin kan,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa media massa juga memiliki peran penting untuk mengawal isu ini. Bukan hanya mengkritisi rendahnya PAD, tetapi juga ikut membuka fakta mengenai kebocoran pendapatan yang seharusnya bisa masuk ke kas daerah.
“Jadi perlu juga media membuka masalah ini, tidak hanya membuka masalah PAD, seharusnya membuka masalah ini loh,” tegas Marius. (Jainal Adaran)
Topik:
Gubernur Malut Sherly Tjoanda APBD Malut