Pertarungan Yulin Mus vs 7 Anggota Komisi II


Sofifi, MI - Kisruh di tubuh Komisi II DPRD Malut kembali menyeruak. Meski Ketua DPRD Malut, Iqbal Ruray, sebelumnya telah menyatakan persoalan internal komisi itu sudah selesai melalui sebuah rapat resmi bersama pimpinan DPRD dan anggota Komisi II, kenyataannya gejolak tetap berlanjut. Tujuh anggota Komisi II masih bersikeras menolak kepemimpinan Agriati Yulin Mus, meskipun secara formal ia tetap sebagai ketua sah.
Situasi ini menunjukkan adanya ketegangan politik yang lebih dalam dari sekadar perebutan kursi pimpinan komisi. Di balik layar, tersimpan tarik-menarik kepentingan, ego fraksi, hingga persoalan tata tertib DPRD yang ditafsirkan berbeda-beda.
Puncak ketegangan mereda ketika pimpinan DPRD menggelar rapat bersama Komisi II. Dalam forum tersebut, tiga pimpinan DPRD, yaitu Ketua Iqbal Ruray serta Wakil Ketua Kuntu Daud dan Husni Bopeng, turun langsung untuk menyelesaikan polemik. Rapat itu menghasilkan keputusan bahwa Agriati Yulin Mus tetap menjabat sebagai Ketua Komisi II dengan masa jabatan penuh sesuai ketentuan tata tertib.
Iqbal Ruray menegaskan, keputusan tersebut bukan hanya sekadar formalitas, melainkan hasil kompromi politik yang mengikat seluruh anggota komisi. Ia menekankan pentingnya menjaga kebersamaan dan mengutamakan agenda kerja DPRD, khususnya di Komisi II yang memegang peran strategis dalam urusan pendapatan dan keuangan daerah.
“Rapat dengan Komisi II dengan pimpinan, yaitu Ibu Husni Bopeng, Pak Kuntu Daud, dan saya sebagai ketua, akhirnya menyepakati bahwa Ibu Agriati Yulin Mus melanjutkan sisa waktu yang ada sampai dengan 2,5 tahun, sesuai dengan tata tertib, dan kita bersama-sama menjaga kebersamaan kembali,” ujar Iqbal Ruray saat diwawancarai di Kantor DPRD Sofifi, Senin (8/9/2025).
Iqbal menambahkan, keputusan itu diambil untuk memastikan agar roda organisasi DPRD tidak terhambat oleh konflik internal yang berkepanjangan. Menurutnya, tugas Komisi II sangat krusial karena menyangkut keuangan daerah, sehingga seluruh anggota diharapkan dapat mengesampingkan ego pribadi.
“Untuk bagaimana supaya tugas dan tanggung jawab di Komisi II bisa dilaksanakan sesuai dengan harapan, karena tugas Komisi II akan berat, menyangkut dengan pendapatan. Untuk itu diharapkan apa pun yang menjadi permasalahan kemarin itu menjadi catatan, sehingga ini bisa diperbaiki,” lanjutnya.
Iqbal menambahkan bahwa kolaborasi antaranggota komisi tidak hanya penting untuk kelancaran administrasi, tetapi juga untuk menjaga keharmonisan internal dan memastikan setiap program berjalan sesuai dengan tujuan lembaga.
Dia menegaskan bahwa peran masing-masing anggota harus saling mendukung agar tanggung jawab Komisi II, khususnya terkait pendapatan dan pengawasan, dapat terlaksana dengan baik.
Dalam penjelasannya, Iqbal juga menekankan pentingnya peran kolektif semua unsur di komisi. Ia menyebut bahwa tidak ada satu pun keputusan besar yang bisa diambil tanpa koordinasi antara ketua, wakil, sekretaris, dan anggota.
“Baik oleh Ibu Ketua Komisi, kalau memang hal-hal yang kurang, ya teman-teman yang lain juga bisa mendorong. Ada wakil ketua komisi, ada sekretaris, dan ada anggota di dalamnya,” jelas Iqbal Ruray.
Ketegangan yang sempat menghinggapi Komisi II mulai sedikit mereda ketika Iqbal menegaskan pentingnya keterlibatan semua unsur dalam pengambilan keputusan.
Iqbal menekankan bahwa komisi tidak boleh berjalan secara sepihak, dan setiap langkah strategis harus melalui koordinasi yang matang antara ketua, wakil ketua, sekretaris, dan anggota.
Ia ingin memastikan bahwa dinamika internal tetap sehat, sehingga setiap program dan kebijakan dapat terlaksana tanpa menimbulkan konflik yang merugikan kinerja komisi maupun citra DPRD.
Untuk menguatkan argumennya, Iqbal menyebut keterlibatan tokoh senior seperti Ali Sangaji, Ketua BK DPRD, yang bisa memberi masukan sekaligus menjadi penyeimbang dalam dinamika internal komisi. Ia ingin memastikan bahwa Komisi II tidak berjalan secara sepihak.
“Ada Pak Ali Sangaji, senior, Ketua BK, juga bisa memberikan masukan, dan pimpinan terbuka. Ketika ada program di Komisi II, kami siap untuk memfasilitasi. Jadi sekarang tetap Yulin yang jadi ketua,” kata Iqbal.
Dengan kehadiran tokoh-tokoh berpengalaman, Iqbal berharap Komisi II dapat bekerja secara sinergis dan menjaga keberlanjutan kepemimpinan Agriati Yulin Mus tanpa gangguan dari dinamika internal yang ada.
Iqbal menekankan bahwa koordinasi yang baik antara pimpinan komisi dan seluruh anggotanya menjadi kunci kelancaran tugas Komisi II. Ia menambahkan, selain ketua, wakil ketua, dan sekretaris, peran koordinator komisi juga sangat penting untuk memastikan setiap agenda, perjalanan dinas, dan rapat dengar pendapat dengan OPD berjalan sesuai rencana.
Menurut Iqbal, koordinator komisi memegang tanggung jawab utama, tetapi setiap keputusan tetap harus dibicarakan dan disepakati dengan pimpinan komisi secara keseluruhan.
“Koordinator komisi pe tanggung jawab, tapi tetap harus dibicarakan di pimpinan komisi kegiatan apa saja. Tetap Ibu Nini pe tanggung jawab,” tambahnya, sambil menegaskan bahwa tidak boleh ada dualisme kepemimpinan di tubuh komisi.
Iqbal bahkan menggunakan bahasa sehari-hari yang lugas untuk menutup polemik. Baginya, keputusan sudah jelas, yaitu Agriati Yulin Mus tetap ketua, dan tidak ada ruang lagi bagi perdebatan yang melelahkan.
“Tara bisa sudah, ngoni mau dua terus tu. Ibu Nini juga ada, jadi saya kira clear semua, tidak ada lagi polemik sudah,” pungkasnya.
Meski demikian, di balik nada tegas Iqbal, situasi faktual di lapangan jauh berbeda. Tujuh anggota Komisi II tetap menolak tunduk pada keputusan itu. Mereka menilai masalah belum selesai dan justru membuka babak baru konflik politik di DPRD Malut.
Pernyataan Iqbal yang menyebut polemik sudah selesai hanyalah satu sisi dari koin. Di sisi lain, muncul narasi tandingan dari kubu penentang Agriati Yulin Mus, yang merasa hak politik mereka diabaikan. Suara mereka bahkan terdengar lebih keras setelah rapat pimpinan DPRD berlangsung.
Meski Iqbal sudah menegaskan keputusan rapat pimpinan, kenyataannya resistensi tetap muncul. Baginya, keputusan sudah final dan harus ditaati oleh seluruh anggota. Namun, bagi sebagian besar anggota Komisi II, penyelesaian itu hanya bersifat administratif tanpa menyentuh akar masalah yang sesungguhnya.
Iqbal bahkan mengingatkan agar semua anggota mengubah cara berkomunikasi. Ia menekankan, setiap rencana kerja atau agenda perjalanan dinas harus dibicarakan bersama dan mendapat persetujuan koordinator komisi, bukan diambil sepihak oleh ketua.
“Jadi diharapkan teman-teman di Komisi II, artinya minimal dengan kejadian-kejadian yang ada kemarin itu menjadi pelajaran. Dan ke depan saling baku dengar, terutama pimpinan komisi; ada ketua, ada wakil ketua, sekretaris, itu kerja sama yang baik,” kata Iqbal.
Menurutnya, kebiasaan rapat yang tidak transparan atau perjalanan dinas yang tidak disepakati bersama hanya akan menimbulkan rasa curiga di antara anggota. Karena itu, ia mendorong pola baru yang lebih kolektif.
“Jadi kalau ada agenda, tolong dibicarakan dengan anggota. Contohnya mau perjalanan ke mana, dalam daerah contohnya mau pi Tobelo ka, mau pigi Sanana ka, atau mau pigi Bacan ka, itu baku atur,” tambah Iqbal Ruray.
Dalam pandangannya, aturan tata tertib sudah cukup jelas mengatur mekanisme kerja. Selama aturan itu dijalankan, maka tidak ada alasan untuk mengulang polemik yang sama.
“Sehingga disepakati, kemudian itu ditandatangani oleh koordinator sesuai tata tertib. Kan tata tertib begitu, sepanjang tarada masalah, ya 2,6 tahun,” tutup Iqbal Ruray.
Namun, berbeda dengan klaim Iqbal, realitas yang terjadi di Komisi II justru memperlihatkan jurang yang semakin lebar. Tujuh anggota menolak mengakui kepemimpinan Agriati Yulin Mus. Bagi mereka, keputusan pimpinan DPRD bukanlah akhir, melainkan pemantik baru yang justru memperkuat alasan untuk terus melawan.
Salah satu suara paling lantang datang dari Aksandri Kitong. Melalui sambungan telepon WhatsApp, ia menegaskan bahwa persoalan Komisi II sama sekali belum selesai. Baginya, tidak ada yang menang dan kalah dalam konflik ini. Semua masih berjalan di tempat.
“Jadi, masalah Komisi II ini tidak ada kemenangan dan belum ada kekalahan sampai hari ini. Masih seperti biasa,” tegas Aksandri, Rabu (10/9).
Aksandri memandang, status kepemimpinan saat ini hanya bersifat formal di atas kertas. Ia menyebut dirinya masih ketua komisi terpilih karena SK baru tidak pernah keluar, sehingga posisi Agriati Yulin Mus menurutnya tidak sah sepenuhnya.
“Tetapi yang kita berkomitmen adalah, saya selaku ketua komisi terpilih, karena SK saja sampai saat ini tidak keluar, saya mengajak teman-teman Komisi II yang tujuh orang ini untuk bagaimana kita berkepala dingin dan mau menjalankan tugas-tugas komisi ini lebih fokus ke depan,” ujar Aksandri Kitong.
Ia berusaha menenangkan suasana dengan mengajak tujuh anggota komisi yang solid mendukungnya untuk tidak memperpanjang kegaduhan. Namun, ia juga menegaskan bahwa konflik politik tidak otomatis berhenti begitu saja.
“Sehingga polemik ini tetap terus berjalan, tetapi tidak dengan kekacauan seperti kemarin. Dan sampai saat ini pun kita melaksanakan kunjungan, contohnya dalam daerah ini kita bagi tugas, tapi kita sudah duduk dalam satu pikiran,” jelas Aksandri Kitong.
Contoh konkret dibawanya ke publik, yakni rombongan komisi kini terbagi dalam dua jalur kunjungan. Ada yang ke Halmahera Timur, sementara lainnya ke Ternate. Meski terpisah, Aksandri menyebut mereka tetap berkoordinasi secara kolektif.
“Contohnya, kita ke Haltim, teman-teman lain ke Ternate. Tetapi persoalan Komisi II tetap berlanjut, namun dalam tugas dan fungsi kita sudah berkomitmen untuk bagaimana ke depan tidak membuat polemik pada OPD, sehingga kita tetap satu meja untuk duduk berhadapan dengan OPD di bawah koordinator Komisi II, Husni Bopeng,” lanjut Aksandri.
Bagi Aksandri, kunci dari konflik ini ada pada sikap untuk tidak memaksakan ego pribadi. Ia mengaku sempat tergoda untuk bertahan pada posisinya sebagai ketua terpilih, tetapi pada akhirnya memilih mengutamakan kepentingan lembaga.
“Masalah Komisi II belum selesai. Jadi begini, kalau kemarin saya bertahan dengan ego saya, karena teman-teman Komisi II kembalikan kepada saya sebagai ketua komisi terpilih, kalau saya bertahan dengan ego saya berarti yang saya pikirkan adalah daerah, lembaga, dan bagaimana teman-teman OPD dalam posisinya mengikuti rapat-rapat,” kata Aksandri.
Ucapan Aksandrib itu menandai dilema yang dihadapi. Di satu sisi, Aksandri ingin mengedepankan legitimasi formal sebagai ketua terpilih. Namun, di sisi lain, ia harus berhadapan dengan realitas politik bahwa pimpinan DPRD tetap mempertahankan Agriati Yulin Mus sebagai ketua sah.
“Untuk itu, selaku ketua Komisi II terpilih, saya berpikir bagaimana kemajuan ini ke depan. Tidak lagi membuat polemik terhadap OPD, tetapi bagaimana melihat kepentingan lembaga secara besar atau secara luas, dan kepentingan masyarakat,” tambahnya.
Aksandri bahkan memberi peringatan keras, yaitu jika polemik ini terus dipelihara, maka fungsi strategis Komisi II dalam bidang pendapatan, keuangan, ekonomi, dan investasi akan lumpuh.
“Karena kita Komisi II yang menangani pendapatan, keuangan, ekonomi, dan investasi, kalau misalnya kita terus berpolemik di dalam persoalan ini, otomatis kerjanya tidak efektif,” tegasnya.
Sikap keras tujuh anggota Komisi II itu menegaskan bahwa klaim Iqbal Ruray tentang “selesainya masalah” hanya sebatas kesepakatan di meja rapat. Dalam praktiknya, api konflik justru terus menyala di lapangan, dan semakin kompleks ketika menyangkut legitimasi serta hubungan kerja dengan OPD.
Meski Aksandri Kitong menyatakan komisi tetap berkomitmen melaksanakan tugas, caranya berseberangan dengan pimpinan DPRD. Ia menyoroti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan OPD yang menurutnya tidak lagi sah jika dipimpin oleh Agriati Yulin Mus. Baginya, koordinator komisi lah yang seharusnya memimpin.
“Untuk itu, saya meminta kepada Ketua DPRD kemarin bagaimana kita bisa tenang. Tetapi dalam kunjungan kerja, kita tetap ada dua titik, berbeda titik, dan berbagi tugas,” kata Aksandri.
Kondisi ini menjadi pintu masuk bahwa dalam praktiknya, dualisme kepemimpinan tetap berjalan. Meskipun secara formal struktur organisasi Komisi II tetap menempatkan Agriati Yulin Mus sebagai ketua, kenyataannya banyak keputusan strategis dan teknis justru diambil oleh koordinator komisi. Pembagian tugas memang ada, namun batas kewenangan antara ketua dan koordinator kerap kabur, sehingga anggota komisi sering bingung harus mengikuti arahan siapa.
Situasi ini menciptakan dinamika internal yang kompleks, karena setiap keputusan rapat atau kunjungan lapangan memerlukan kesepakatan atau intervensi dari pimpinan lain, menimbulkan kesan bahwa otoritas resmi tidak selaras dengan praktik sehari-hari.
Dalam konteks rapat dengar pendapat (RDP) dengan OPD, pola kepemimpinan ini semakin jelas terlihat. Anggota komisi harus menyesuaikan diri dengan arahan koordinator, meskipun secara administratif ketua tetap memegang jabatan formal. Hal ini menimbulkan dilema bagi anggota yang harus menjaga loyalitas terhadap pimpinan formal sekaligus mengikuti arahan praktis agar agenda rapat berjalan lancar. Ketidakjelasan ini juga mempengaruhi efektivitas koordinasi, perencanaan kunjungan, dan penentuan prioritas kegiatan komisi, karena keputusan strategis tidak sepenuhnya berada di tangan ketua resmi.
“Tetapi dalam RDP dengan OPD, kita satu arah di bawah pimpinan koordinator Komisi II, yaitu Ibu Husni Bopeng. Jadi, dalam RDP bukan dipimpin oleh Ibu Yulin Mus, tetapi dipimpin oleh Ibu Husni Bopeng selaku Koordinator Komisi II,” tegas Aksandri.
Hal ini jelas menegasikan peran Agriati Yulin Mus sebagai ketua. Meski di mata pimpinan DPRD posisinya sah dan diakui secara formal, dalam praktik sehari-hari ketua hanya berfungsi sebagai simbol tanpa otoritas nyata. Hal ini menimbulkan ketegangan di antara anggota, karena loyalitas struktural kadang berbenturan dengan praktik kerja yang sebenarnya. Anggota yang memahami situasi internal ini harus menavigasi hubungan interpersonal dan prosedural secara hati-hati agar tidak terseret dalam konflik kepemimpinan atau salah interpretasi perintah.
Keputusan teknis mengenai kunjungan lapangan dan titik lokasi juga menjadi cerminan dari pola dualisme ini. Kewenangan formal ketua tidak selalu menjadi acuan utama bagi anggota dalam menentukan tindakan, sehingga peran koordinator justru lebih dominan dalam menetapkan prioritas dan strategi pelaksanaan kunjungan. Hal ini memperlihatkan adanya pembagian de facto antara jabatan resmi dan pengambilan keputusan praktis, yang berdampak pada dinamika internal, koordinasi lintas OPD, dan persepsi publik tentang efektivitas kepemimpinan komisi.
“Dan yang menentukan kunjungan pun itu tidak dengan Ibu Yulin Mus sendiri yang mengambil keputusan, tetapi Ibu Husni Bopeng. Ibu Yulin Mus selaku ketua aktif, wakil ketua Pak Said Banyo, dan sekretaris Bapak Abdulah Hatari yang mengambil keputusan untuk titik kunjungan,” tambah Aksandri.
Dari keterangan itu, terlihat bahwa praktik sehari-hari di komisi berjalan berdasarkan kolektivitas tujuh anggota plus koordinasi Husni Bopeng, bukan instruksi ketua.
“Jadi, kita tetap berbeda dalam kunjungan, tetapi dalam formasi untuk pertemuan dengan OPD, kita satu, di bawah kepemimpinan Husni Bopeng,” lanjutnya.
Aksandri bahkan mengingatkan agar isu ini tidak dipandang sebagai perebutan kursi semata. Ia menolak anggapan ada pihak yang menang atau kalah.
“Jadi, hari ini jangan berbicara kemenangan. Tidak ada kemenangan hari ini, sampai saat ini kita masih tetap seperti biasa,” ujarnya.
Namun, ketegangan semakin tinggi ketika isu baru mencuat, yakni dugaan pemalsuan tanda tangan. Kasus ini menambah lapisan konflik yang membuat polemik kian rumit.
“Jadi, persoalan polemik pemalsuan tanda tangan itu akan tetap berjalan. Staf yang membuat scan tanda tangan itu sudah dipanggil oleh Badan Kepegawaian Daerah (BKD). Jadi, Pak Zulkifli Bian sudah memanggil tiga staf pendamping karena mereka selaku ASN dipanggil untuk mengecek terkait dugaan pemalsuan tanda tangan itu,” ungkap Aksandri.
Ia menegaskan, jika benar terbukti, kasus ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan pelanggaran serius yang harus ditindak tegas.
“Apabila terjadi pemalsuan tanda tangan atau tanpa persetujuan Ketua DPRD, maka kami akan mendesak BKD untuk menindak tegas, karena itu menyalahi aturan, dan pemalsuan tanda tangan itu tidak dibenarkan,” kata Aksandri.
Dalam mekanisme kerja DPRD, setiap dokumen resmi yang beredar memiliki prosedur formal yang ketat untuk memastikan keabsahan dan akuntabilitas. Salah satu syarat utama adalah adanya persetujuan atau rekomendasi dari Ketua DPRD sebelum dokumen tersebut ditandatangani dan digunakan. Hal ini bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari sistem pengawasan internal yang mencegah penyalahgunaan wewenang dan manipulasi administratif. Tanpa persetujuan Ketua DPRD, dokumen apapun yang beredar secara otomatis kehilangan kekuatan hukum dan dianggap tidak sah, sehingga siapa pun yang menggunakannya bisa menghadapi konsekuensi serius.
Kepatuhan terhadap prosedur ini menjadi indikator integritas anggota DPRD dan efektifitas lembaga dalam menjaga tata kelola yang transparan. Dalam praktiknya, setiap anggota DPRD harus memastikan bahwa setiap inisiatif atau permintaan administratif berjalan sesuai mekanisme yang telah ditetapkan. Ketidakpatuhan terhadap prosedur tidak hanya menimbulkan risiko hukum, tetapi juga bisa menimbulkan gesekan politik internal dan merusak citra lembaga di mata publik. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pengawasan internal yang ketat agar kekuasaan legislatif tidak disalahgunakan oleh pihak manapun.
Situasi ini semakin krusial ketika muncul dugaan penyalahgunaan dokumen atau tanda tangan anggota DPRD. Dugaan semacam ini memicu perhatian serius karena bisa berdampak pada legitimasi keputusan lembaga dan kepercayaan masyarakat.
Dalam konteks ini, mekanisme Badan Kehormatan (BK) DPRD menjadi alat penting untuk menelusuri dugaan pelanggaran etik atau prosedural. Setiap indikasi pelanggaran akan ditindaklanjuti secara resmi, sehingga anggota DPRD maupun publik mengetahui bahwa lembaga memiliki sistem akuntabilitas yang tegas dan transparan.
“Jadi, tanda tangan itu bisa dikatakan palsu karena tidak diketahui atau direkomendasi oleh Ketua DPRD. Jadi, soal dugaan pemalsuan tanda tangan ini tetap berlanjut, dan bahkan bila betul-betul ini mengarah kepada salah satu anggota DPRD yang meminta tanda tangan itu dibuat, maka Badan Kehormakan (BK) DPRD akan bertindak jika hal itu terbukti,” tambah Aksandri.
Aksandri Kitong menjelaskan bahwa insiden ini bermula dari kesalahan prosedural yang dilakukan oleh staf, yang membuat tanda tangan tanpa terlebih dahulu melakukan konfirmasi kepada Ketua DPRD, sebuah langkah yang seharusnya menjadi syarat mutlak agar dokumen memiliki keabsahan resmi, yaitu akibat dari kelalaian ini, dokumen yang seharusnya sah justru dipakai secara prematur, dan dampaknya terasa langsung pada agenda kerja lembaga, termasuk pembatalan pertemuan Komisi II yang seharusnya berlangsung, menimbulkan kebingungan di antara anggota dan memicu pertanyaan tentang tata kelola internal serta pengawasan administratif, sehingga kasus ini menegaskan pentingnya disiplin prosedural, koordinasi yang jelas antara staf dan pimpinan, serta mekanisme tindak lanjut yang tegas untuk mencegah terulangnya kesalahan serupa di masa mendatang, sekaligus menjadi peringatan bagi seluruh jajaran DPRD tentang konsekuensi dari pelanggaran protokol formal dalam proses pengambilan keputusan.
“Setelah tindak lanjut ke BKD bahwa staf melakukan kesalahan dengan membuat tanda tangan tanpa konfirmasi kepada Ketua DPRD, karena tanda tangan itu berdampak pada pertemuan Komisi II yang dibatalkan,” jelasnya.
Efek dominonya pun nyata dan terasa dalam setiap lini kerja komisi. Pembatalan satu rapat tidak hanya mengganggu agenda rutin, tetapi juga menunda serangkaian proses pengawasan yang seharusnya menjadi fungsi utama Komisi II. Setiap keputusan yang tertunda berimplikasi pada koordinasi dengan OPD, perencanaan kunjungan lapangan, hingga pelaksanaan program kerja yang membutuhkan masukan dan persetujuan komisi.
Dampak ini semakin kompleks karena rapat yang batal membuat anggota harus menyesuaikan jadwal mereka, membatalkan kunjungan lapangan, dan menunda evaluasi proyek yang memerlukan perhatian serius.
Situasi ini menunjukkan bahwa satu kesalahan administratif, seperti tanda tangan yang tidak sah, dapat berpengaruh luas terhadap efektivitas kinerja lembaga dan menimbulkan tekanan tambahan bagi anggota yang harus menjaga integritas dan ketepatan fungsi pengawasan mereka.
Kondisi tersebut juga menyoroti pentingnya mekanisme akuntabilitas internal yang tegas, terutama terkait pelanggaran kode etik. Dalam konteks ini, peran Badan Kehormatan (BK) menjadi vital sebagai lembaga yang menindaklanjuti setiap pelanggaran yang diidentifikasi oleh Badan Kepegawaian (BKD).
Tindakan disipliner yang tegas tidak hanya untuk menegakkan aturan, tetapi juga untuk memastikan agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan, sehingga efektivitas komisi tetap terjaga.
Hal ini menjadi pengingat bahwa setiap staf dan anggota harus memahami prosedur formal dengan baik, karena kesalahan sekecil apa pun bisa berimbas pada seluruh mekanisme kerja lembaga, mengganggu fungsi pengawasan, dan menimbulkan ketidakpastian dalam pengambilan keputusan.
“Sehingga tidak berjalannya rapat pada hari itu berdampak pada kerja-kerja Komisi II. Untuk itu, jika terdapat pelanggaran kode etik oleh pendamping yang diidentifikasi oleh BKD, maka akan ditindaklanjuti oleh Badan Kehormatan (BK),” tegas Aksandri.
Puncaknya, Aksandri menegaskan jika ada anggota dewan sendiri yang terlibat dalam manipulasi tanda tangan, maka pihaknya akan mengawal agar proses hukum dan etik berjalan tanpa kompromi.
“Jika ada ditemukan anggota Komisi II yang melakukan manipulasi tanda tangan, tentu kami akan mengawal itu,” pungkasnya.
Dengan begitu, persoalan internal Komisi II bukan lagi sebatas rebutan kursi ketua, tetapi telah masuk pada ranah integritas, tata kelola birokrasi, hingga potensi pelanggaran etik dewan.
Di tengah derasnya penolakan dari tujuh anggota Komisi II, Agriati Yulin Mus tetap berdiri pada posisinya sebagai ketua yang sah. Ia menegaskan bahwa dirinya diangkat melalui mekanisme resmi partai, dan karena itu memiliki legitimasi penuh.
Agriati tidak menampik bahwa dinamika internal di Komisi II berjalan panas. Namun, baginya, semua persoalan tidak boleh keluar dari koridor aturan yang berlaku di DPRD.
“Kalau terkait kursi itu kan hasil keputusan partai, dan saya ditunjuk oleh Partai Golkar. Jadi, kalau soal penolakan dari teman-teman itu, saya kira wajar, dinamika biasa saja,” ujar Yulin Mus.
Pernyataan Yulin ini menunjukkan bahwa ia menganggap masalah tersebut sebatas dinamika politik internal, bukan masalah legalitas.
“Karena dalam aturan, yang sah itu adalah SK pimpinan DPRD. Jadi, saya tetap jalankan tugas sebagaimana mestinya,” tegasnya.
Dengan nada tenang, ia menekankan bahwa sah atau tidaknya seorang ketua komisi bukan ditentukan oleh kesepakatan anggota, melainkan oleh dokumen resmi yang ditandatangani pimpinan DPRD.
“Kalau misalnya mereka tidak terima, itu kan hak mereka. Tapi, tidak bisa mengubah keputusan yang sudah sah secara kelembagaan,” jelas Yulin Mus.
Menurutnya, sebuah komisi tetap dapat berjalan meski ada dinamika internal. Kegiatan resmi DPRD tetap diakui sepanjang dipimpin oleh pejabat yang di-SK-kan.
“Semua agenda komisi tetap berjalan. RDP dengan OPD pun sah bila dipimpin oleh ketua komisi yang telah ditetapkan. Jadi, tidak ada yang bisa membatalkan itu,” ungkapnya.
Yulin Mus menolak pandangan bahwa dirinya hanya menjadi simbol tanpa otoritas. Ia menegaskan tetap menjalankan fungsi dan tanggung jawab sebagaimana mestinya.
“Kalau soal pengambilan keputusan, memang sebaiknya kolektif, tapi tetap saya yang punya tanggung jawab tertinggi di komisi ini,” katanya.
Ia juga menanggapi tuduhan bahwa dalam praktiknya, banyak agenda komisi dipimpin oleh Husni Bopeng. Menurutnya, hal itu hanyalah pembagian kerja, bukan berarti menegasikan posisinya.
“Kalau misalnya ada rapat yang dipimpin koordinator, itu kan bisa saja karena alasan teknis. Bukan berarti saya tidak sah atau tidak berfungsi,” ucap Yulin.
Yulin Mus bahkan menyayangkan jika isu pemalsuan tanda tangan kemudian ditarik untuk menguatkan narasi penolakan terhadap dirinya.
“Kalau soal tanda tangan itu, saya sendiri tidak pernah merasa dipalsukan atau dirugikan. Jadi, jangan sampai itu dipakai untuk memperkeruh suasana,” ujarnya.
Bagi dirinya, tuduhan pemalsuan tanda tangan lebih tepat diselesaikan secara administratif oleh BKD dan Badan Kehormatan DPRD, bukan dijadikan komoditas politik.
“Kalau memang ada staf atau pendamping yang keliru, ya diproses sesuai aturan. Tidak usah dibawa-bawa ke ranah politik,” jelas Yulin.
Dia tetap berharap agar dinamika internal ini tidak sampai menghambat kerja-kerja DPRD, khususnya di Komisi II yang memegang peran penting dalam sektor ekonomi dan keuangan daerah.
“Yang penting bagi saya, bagaimana komisi ini tetap bisa bekerja. Karena kalau kita sibuk ribut soal kursi, masyarakat yang dirugikan,” tegas Yulin.
Yulin tampak berupaya menegaskan posisinya sebagai sosok yang fokus pada hasil kerja daripada terjebak dalam dinamika perebutan jabatan atau konflik internal. Sikap ini menunjukkan kesadarannya akan pentingnya kinerja substansial bagi masyarakat dibandingkan persaingan di internal lembaga.
Ia menekankan bahwa prioritas utama seharusnya adalah pelayanan dan output nyata yang dirasakan publik, bukan sekadar intrik atau pertentangan di antara pimpinan.
“Saya kira, masyarakat lebih butuh hasil kerja kita, bukan konflik internal yang tidak ada habisnya,” pungkas Yulin. (Jainal Adaran)
Topik:
Komisi II DPRD Malut