Fraksi Hanura Tolak Ranperda

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 13 September 2025 06:29 WIB
Ketua DPRD Malut, Iqbal Ruray, memimpin rapat paripurna Pembicaraan Tingkat II terkait Raperda Peternakan dan PPM, di kantor DPRD Malut, Sofifi, Kamis (12/9). (Foto: Dok MI/Jainal Andara)
Ketua DPRD Malut, Iqbal Ruray, memimpin rapat paripurna Pembicaraan Tingkat II terkait Raperda Peternakan dan PPM, di kantor DPRD Malut, Sofifi, Kamis (12/9). (Foto: Dok MI/Jainal Andara)

Sofifi, MI - Fraksi Partai Hanura secara tegas menolak Ranperda tentang Penyelenggaraan Peternakan dan Kesehatan Hewan serta Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) di Sekitar Wilayah Pertambangan, dengan memilih keluar dari rapat paripurna Pembicaraan Tingkat II DPRD Malut, Kamis (12/9/2025).

Sidang paripurna yang dipimpin Ketua DPRD Malut, Iqbal Ruray, memuncak ketika Ketua Fraksi Hanura, Yusran Pauwah, melakukan interupsi untuk menyatakan penolakan fraksinya. 

“Yang saya hormati pimpinan DPRD, pak Wakil Gubernur dan pak Sekda serta kepala OPD, pada sidang paripurna ini Fraksi Hanura menolak dan kami Walk Out,” tegas Yusran.

Penolakan ini dilatarbelakangi kekhawatiran bahwa Ranperda yang dibahas belum sepenuhnya berpihak pada masyarakat, pemerintah daerah kabupaten/kota, serta pengusaha kecil dan UMKM yang berada di sekitar wilayah pertambangan. Fraksi Hanura menyoroti sejumlah ketidaksesuaian regulasi dengan praktik di lapangan dan peraturan nasional.

Menurut Yusran, sejak diterbitkannya izin produksi tambang nikel di Malut pada 2009, program PPM yang dilakukan perusahaan cenderung bersifat sukarela, bukan kewajiban. 

“Fakta di lapangan menunjukkan bahwa sejak 2009 hingga kini, pelaksanaan PPM terkesan hanya sebagai sumbangan biasa, jauh dari amanat Permen ESDM No.41/2016 dan Keputusan Menteri ESDM 1824 K/30/MEM/2018,” ungkapnya.

Fraksi Hanura menekankan perlunya pengaturan zonasi wilayah terdampak dalam bentuk Ring 1, Ring 2, dan Ring 3 untuk menjamin distribusi program PPM yang proporsional. 

Selain itu, pemerintah daerah diminta segera menyusun Dokumen Cetak Biru (Blue Print) PPM sebagai dasar penyusunan Rencana Induk PPM perusahaan, agar anggaran program tidak bocor.

Fraksi Hanura juga menyoroti ketentuan pembiayaan PPM, pelibatan pemerintah kabupaten/kota, masyarakat lokal, dan UMKM, serta mekanisme pengawasan yang dianggap masih formalitas dan minim transparansi. 

“Pelibatan pemerintah kabupaten/kota, masyarakat lokal, dan pelaku UMKM masih sebatas formalitas. Padahal mereka adalah pihak yang paling terdampak,” tegas Yusran.

Selain itu, fraksi Hanura ini menyoroti ketentuan yang dianggap membebani peternak kecil, seperti kewajiban rekomendasi gubernur untuk pengadaan pakan, ketentuan 1 hektar sawit untuk 1 ekor sapi, hingga potensi monopoli badan usaha pemerintah. 

Fraksi Hanura menekankan bahwa Ranperda seharusnya mengedepankan keberpihakan pada peternak rakyat, bukan hanya perusahaan besar.

Tumpang tindih kewenangan dengan pemerintah pusat, potensi penyalahgunaan satwa liar, lemahnya koordinasi pengendalian penyakit hewan, serta kurangnya mekanisme insentif dan perlindungan bagi peternak kecil menjadi alasan tambahan penolakan fraksi ini.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Fraksi Hanura menegaskan menolak pengesahan kedua Ranperda tersebut sebelum dilakukan penyempurnaan. 

“Fraksi Partai Hanura menolak untuk menyetujui Ranperda Penyelenggaraan Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Raperda Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Wilayah Pertambangan untuk disahkan dan ditetapkan menjadi Peraturan Daerah sebelum dilakukan penyempurnaan,” pungkas Yusran. (Jainal Adaran)

Topik:

DPRD Maluku Utara Hanura