Gaji Kecil” tapi Harta Segunung, DPRD Malut Bisa Bikin Tips Finansial


Sofifi, MI - Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dipublikasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) per 31 Desember 2024 menyingkap fakta menarik terkait tiga pimpinan DPRD Malut, yaitu Iqbal Ruray, Kuntu Daud, dan Husni Bopeng diketahui memiliki harta dengan total nilai Rp21,4 miliar. Angka ini sontak menempatkan mereka di jajaran pejabat daerah paling “tajir” di DPRD Malut.
Namun, di balik angka-angka fantastis tersebut, Ketua DPRD Malut Iqbal Ruray justru menegaskan bahwa kesejahteraan anggota DPRD di Malut sesungguhnya berada pada posisi “paling kecil” dibandingkan provinsi lain. Pernyataan ini menimbulkan kontras, karena harta melimpah di satu sisi dan klaim tunjangan minim di sisi lain.
Iqbal Ruray sendiri melaporkan kekayaan Rp5,69 miliar, didominasi aset tanah dan bangunan di Kota Ternate. Salah satu yang paling mencolok adalah tanah seluas 14.000 meter persegi bernilai Rp1,8 miliar, serta beberapa properti lain yang tersebar di kawasan kota.
Ia juga memiliki mobil mewah BMW X5 XDrive351 AT tahun 2012 senilai Rp500 juta, selain kendaraan lama Honda Sedan 2002 dan aset kas Rp1,14 miliar.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kuntu Daud mencatatkan harta Rp4,78 miliar. Aset terbesar berupa dua unit tanah dan bangunan di Kota Ternate dengan nilai Rp2,3 miliar. Dari sisi kendaraan, ia relatif sederhana dengan mobil Honda HR-V keluaran 2019 serta dua motor. Menariknya, lebih dari separuh hartanya berupa kas senilai Rp2,24 miliar.
Adapun Wakil Ketua DPRD Husni Bopeng menjadi yang terkaya. Dengan total harta Rp10,97 miliar, sebagian besar berupa tanah luas di Halmahera Utara, Kota Ternate, hingga Kota Yogyakarta. Nilai tanah ini mencapai Rp10,49 miliar. Sisanya berupa mobil Suzuki Ertiga, aset bergerak Rp60 juta, dan kas Rp276 juta.
Dalam wawancara di Kantor DPRD Sofifi, Selasa (2/9), Iqbal mengeluhkan bahwa tunjangan DPRD Malut termasuk yang paling kecil di Indonesia karena bergantung pada Tunjangan Kemampuan Daerah (TKD).
“Tunjangan DPRD ini kan ada tiga tingkatan. Kita itu posisi yang paling rendah, karena memang APBD kita kecil, jadi kita paling terendah. Ada yang tertinggi seperti DKI Jakarta, terus contohnya di Makassar sedang, cuman kita di sini paling kecil,” ungkap Iqbal.
Ia bahkan mengaku gajinya sebagai Ketua DPRD hanya sekitar Rp30 juta per bulan. “Emang yang lebih tau itu sekwan. Baru ini kadang-kadang masuk di rekening, kadang-kadang musti kegiatan yang harus didukung yaitu bantuan partai. Artinya torang musti transfer deng apa-apa, samua suda. Memang torang pe TKD itu kacili,” tegasnya.
Pernyataan ini tentu menimbulkan pertanyaan publik. Bagaimana mungkin seorang pejabat dengan gaji Rp30 juta per bulan mampu mengoleksi aset miliaran rupiah, termasuk tanah ribuan meter persegi dan mobil mewah?
Iqbal juga menyinggung soal fasilitas rumah dinas. Ia menyebut sejak DPRD Malut berdiri, tak pernah ada rumah dinas untuk anggota dewan.
“Yang jadi pertanyaannya bagini, yang sampai saat ini DPRD di provinsi itu dari sejak ada sampe sekarang tarada rumah dinas. Kan itu diatur bahwa setiap anggota DPRD dibekali dengan rumah. Jadi kalau memang tidak ada rumah itu barangkali diberikan tunjangan perumahan,” katanya.
Namun, lagi-lagi Iqbal berdalih, semua tergantung TKD dan kemampuan APBD. Ia mencontohkan DKI Jakarta yang memiliki tunjangan perumahan besar karena standar biaya di kawasan Menteng yang tinggi.
Iqbal juga bicara soal pokok pikiran (pokir) anggota DPRD yang menurutnya murni untuk masyarakat. “Pokir kan itu berdampak ke masyarakat, pokir kan itu tergantung kebijakan gubernur. Kalau reses itu, satu tahun ada 24 titik. Satu titik mungkin cuman Rp50 juta,” jelasnya.
Menurutnya, anggota DPRD biasa maksimal mendapat Rp1 miliar pokir per tahun, sementara pimpinan di bawah Rp3 miliar. “Pokir satu kali saja, tidak ada pokir yang berulang-ulang kali,” tegasnya.
Data LHKPN menunjukkan harta pimpinan DPRD Malut sangat dominan dalam bentuk aset properti. Hal ini bisa dimaknai sebagai strategi investasi, tetapi juga membuka ruang pertanyaan publik tentang asal-usul akumulasi kekayaan.
Ketika di satu sisi Ketua DPRD mengaku tunjangan kecil dan gaji terbatas, publik tentu wajar bertanya, yaitu apakah logis harta miliaran itu murni dari usaha pribadi di luar jabatan politik? Atau justru ada celah kekuasaan yang memungkinkan akumulasi aset secara tidak proporsional?
Kekayaan pejabat publik, apalagi yang menduduki kursi pimpinan DPRD, tak boleh sekadar dicatat di LHKPN. Transparansi perlu dibarengi akuntabilitas. Sebab, rakyat Malut yang APBD-nya “kecil” tentu berhak mengetahui bagaimana wakilnya bisa sedemikian makmur di tengah keterbatasan daerah. (Jainal Adaran)
Topik:
DPRD Maluku Utara