Peluang Baru Menanti Abubakar Abdullah di Pemprov Malut
Sofifi, MI - Abubakar Abdullah resmi didefinitifkan sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadikbud) Malut pada Kamis (6/11). Sebelumnya, ia menjabat sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kadikbud selama hampir satu tahun dan berhasil merealisasikan program pendidikan gratis untuk sekolah negeri maupun swasta yang menjadi salah satu program andalan Gubernur Sherly Tjoanda dan Wagub Sarbin Sehe.
Selama menjabat sebagai Plt Kadikbud, Abubakar mempertaruhkan jabatannya. Gubernur Sherly Tjoanda menegaskan pada paripurna serah terima jabatan Februari 2025 bahwa keberhasilan program pendidikan gratis menjadi tolok ukur kelanjutan kariernya. Apabila program tidak berjalan sesuai target, Abubakar berpotensi diberhentikan dari jabatan.
Abubakar dikenal sebagai birokrat inovatif yang aktif meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) siswa Malut. Ia tidak bekerja sendiri, seluruh perangkat di lingkungan Dikbud Malut dikonsolidasikan untuk menciptakan kekuatan kolektif dengan tujuan utama memajukan pendidikan dan masa depan anak-anak Malut.
Dengan pengalaman panjang di birokrasi, mulai dari jabatan Karo Humas, Karo Ekonomi, belasan tahun menjadi Sekretaris Dewan (Sekwan), sempat menjadi Penjabat Sekda Malut, hingga kini Kadikbud, banyak pihak menilai Abubakar layak menjadi orang nomor tiga di Pemprov Malut. Kemampuannya dalam mengkonsolidasikan jajaran birokrasi telah teruji, baik saat menjadi Penjabat Sekda maupun di lingkungan Dikbud Malut.
Abubakar juga sempat menghadapi tekanan publik saat Pilkada Malut karena dianggap berpihak pada salah satu kandidat gubernur dan wakil gubernur. Meski demikian, ia tetap menjalankan roda pemerintahan di bawah komando Pj Gubernur Samsuddin Abdul Kadir.
Kini, sebagai Kadikbud, Abubakar memperkenalkan inovasi baru dalam dunia pendidikan, termasuk rencana peluncuran program Gerakan Mengembalikan Anak ke Sekolah (Gemas) Malut. Program ini bertujuan menurunkan angka Anak Tidak Sekolah (ATS), yang menurut data Pusdatin mencapai 35 ribu anak di Malut.
Untuk menjelaskan arah kebijakan pendidikan dan rencana program Gemas, Abubakar mengatakan bahwa Pemprov Malut memberi arahan khusus terkait akses dan mutu pendidikan. Ia menegaskan bahwa koordinasi lintas sektor menjadi kunci keberhasilan program ini.
“Ibu Gubernur Sherly Tjoanda telah memerintahkan kami untuk memastikan akses pendidikan tetap terpenuhi, serta menjaga dan mengendalikan mutu pendidikan,” ujarnya baru-baru ini.
Abubakar menekankan bahwa tantangan pendidikan tidak hanya soal infrastruktur atau fasilitas, tetapi juga akses bagi seluruh anak usia sekolah. Ia menegaskan bahwa Pemprov Malut ingin memastikan setiap anak memiliki kesempatan yang sama.
“Untuk memenuhi akses pendidikan, kita memiliki tantangan tersendiri. Berdasarkan data Pusdatin, angka Anak Tidak Sekolah (ATS) di Malut masih sangat signifikan, yaitu mencapai 35 ribu anak. Tentu ini menjadi pekerjaan besar bagi Dinas Pendidikan Malut,” jelasnya.
Upaya menekan angka ATS di Malut menuntut keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat dan pemerintah di tingkat kabupaten/kota. Abubakar Abdullah memandang bahwa kolaborasi lintas sektor menjadi kunci utama dalam membangun sistem pendidikan yang inklusif dan berkeadilan. Tanpa kerja sama yang solid antar-pemangku kepentingan, program Pemprov Malut untuk menurunkan angka ATS hanya akan berjalan di tempat, tanpa dampak nyata di lapangan.
Langkah yang kini ditempuh Dikbud Malut merupakan bentuk tanggung jawab moral sekaligus politik untuk memastikan setiap anak memiliki kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Pemprov Malut tidak hanya menaruh perhatian pada infrastruktur dan anggaran, tetapi juga menggerakkan partisipasi sosial dari masyarakat, lembaga pendidikan, serta pemerintah daerah agar penanganan masalah ATS menjadi gerakan bersama yang terukur dan berkelanjutan.
“Ibu Gubernur Sherly Tjoanda meminta kepada kami untuk menurunkan angka Anak Tidak Sekolah (ATS). Tentunya, kami akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat, serta berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota untuk menekan angka Anak Tidak Sekolah (ATS) yang masih tercatat sangat signifikan,” katanya.
Abubakar menambahkan bahwa visi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah memastikan anak-anak usia sekolah mendapatkan pelayanan pendidikan yang berkualitas dan merata di seluruh Malut.
“Ibu Gubernur dan Wakil Gubernur menyampaikan bahwa pekerjaannya adalah bagaimana memberikan akses pendidikan agar anak usia sekolah mendapatkan pelayanan pendidikan secara baik,” ucapnya.
Sebagai langkah konkret, Pemprov Malut akan meluncurkan program Gemas bertepatan dengan Hari Guru. Program ini akan menjadi gerakan lintas sektor yang bertujuan menurunkan angka putus sekolah secara bertahap.
“Sebagai langkah awal, pihaknya akan meluncurkan program Gerakan Mengembalikan Anak ke Sekolah (Gemas) Malut, yang nantinya bertepatan dengan Hari Guru. Program ini akan menjadi gerakan lintas sektor dalam menurunkan angka putus sekolah secara bertahap,” terangnya.
Peluncuran program Gemas oleh Dikbud Malut menandai langkah awal kolaborasi nyata antara pemerintah dan berbagai pemangku kepentingan untuk menekan angka ATS di Malut.
Program ini tidak dimaksudkan sebagai seremoni belaka, melainkan sebagai strategi terukur yang mendorong keterlibatan lintas sektor dalam memastikan setiap anak di Malut memperoleh hak pendidikan yang layak dan berkelanjutan.
Inisiatif tersebut mencerminkan komitmen Pemprov Malut dalam menghadirkan solusi konkret terhadap permasalahan sosial yang telah lama membayangi sektor pendidikan.
Melalui pendekatan bertahap, Dikbud Malut berupaya membangun sinergi antara pemerintah daerah, masyarakat, dan lembaga pendidikan untuk menciptakan gerakan kolektif yang mampu menurunkan angka ATS secara signifikan sekaligus memperkuat fondasi pembangunan sumber daya manusia di Malut.
“Ini yang akan kita umumkan sehingga nanti, secara pelan-pelan, kita berkolaborasi untuk memulai menurunkan angka anak tidak sekolah di Malut,” tegasnya.
Inovasi penting yang tengah dipersiapkan Dikbud Malut adalah penerapan sekolah terbuka sebagai upaya memperluas akses pendidikan bagi anak-anak yang belum sempat bersekolah.
Model ini telah terbukti berhasil di sejumlah daerah lain seperti Jawa Barat, dan kini diadaptasi sebagai solusi untuk menjangkau kelompok masyarakat yang selama ini terpinggirkan dari sistem pendidikan formal.
Melalui pendekatan fleksibel ini, setiap anak diharapkan memiliki kesempatan untuk kembali belajar tanpa terkendala jarak, waktu, atau kondisi sosial ekonomi.
Upaya ini juga mencerminkan keseriusan Pemprov Malut dalam menerjemahkan visi Gubernur Sherly Tjoanda yang menempatkan pendidikan sebagai prioritas pembangunan sumber daya manusia.
Sekolah terbuka bukan hanya sekadar alternatif, melainkan bagian dari strategi jangka panjang untuk memastikan tidak ada lagi anak di Malut yang tertinggal dari hak dasarnya untuk bersekolah.
Dengan dukungan teknologi dan basis data Dapodik, program ini diharapkan mampu menjembatani kesenjangan pendidikan sekaligus memperkuat komitmen daerah terhadap pemerataan layanan pendidikan yang inklusif dan berkeadilan.
“Ibu Gubernur Sherly Tjoanda telah memerintahkan kami untuk mencoba membangun sekolah terbuka. Kami diminta mempelajari praktik baik yang telah dilakukan provinsi lain. Pertama, di Jawa Barat ada praktik baik tentang sekolah terbuka, sehingga anak-anak yang tidak sekolah memiliki kesempatan untuk kembali bersekolah dan dapat didaftarkan dalam Dapodik,” paparnya.
Selain fokus pada pendidikan formal, kata Abubakar, Dikbud Malut juga menaruh perhatian besar terhadap penguatan pendidikan nonformal melalui Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).
Program ini dianggap sebagai sarana efektif untuk memberikan kesempatan kedua bagi anak-anak yang sempat putus sekolah agar dapat melanjutkan pendidikan sesuai jenjangnya.
Melalui fleksibilitas waktu dan pendekatan belajar yang lebih adaptif, PKBM membuka ruang bagi mereka yang terkendala ekonomi, jarak, maupun faktor sosial untuk tetap memperoleh layanan pendidikan yang layak.
Dorongan terhadap penguatan PKBM menunjukkan keseriusan Pemprov Malut dalam menciptakan sistem pendidikan yang inklusif dan merata. Kolaborasi dengan pemerintah kabupaten/kota menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan program ini, sebab setiap daerah memiliki karakteristik dan tantangan berbeda dalam menangani anak putus sekolah.
Dengan memperluas jangkauan PKBM, Pemprov Malut berharap dapat menekan angka ATS sekaligus memperkuat fondasi literasi dan keterampilan masyarakat di seluruh wilayah Malut.
“Kami juga akan berkoordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota untuk mendorong program PKBM, baik paket A, B, maupun C. Dengan begitu, ruang dan kesempatan bagi anak-anak itu akan sangat terbuka,” imbuhnya.
Meski program sudah disiapkan, Abubakar mengakui masih ada ketidakpastian terkait faktor dominan yang membuat anak-anak tidak melanjutkan sekolah. Pemahaman ini menjadi dasar intervensi yang tepat.
“Sampai hari ini, memang kita belum mengetahui secara pasti faktor dominan yang membuat anak-anak belum berkesempatan melanjutkan sekolah,” akunya.
Pembagian kategori ATS menjadi tiga jenis menjadi landasan penting dalam merumuskan strategi pendidikan di Malut. Dengan memahami perbedaan antara anak yang tidak pernah bersekolah, tidak melanjutkan, dan yang putus sekolah, Pemprov Malut dapat menyiapkan pendekatan intervensi yang lebih tepat sasaran.
Proses ini menegaskan pentingnya basis data yang akurat dan analisis mendalam agar setiap kebijakan pendidikan benar-benar menyentuh akar persoalan dan mampu mengembalikan anak-anak ke jalur pendidikan sesuai kondisi mereka masing-masing.
“Anak Tidak Sekolah (ATS) dibagi dalam tiga kategori: pertama, anak yang memang tidak pernah bersekolah; kedua, anak yang sekolah tapi tidak melanjutkan; dan ketiga, anak yang sekolah tapi drop out,” jelas Abubakar.
Pendalaman terhadap faktor penyebab ATS menjadi langkah krusial bagi Dikbud Malut dalam merumuskan kebijakan pendidikan yang berbasis data dan realitas sosial. Kompleksitas persoalan ini tidak dapat disederhanakan hanya dengan satu penyebab, sebab setiap daerah memiliki karakteristik sosial-ekonomi dan budaya yang berbeda.
Oleh karena itu, analisis yang komprehensif menjadi kunci agar intervensi yang dilakukan mampu menyentuh akar permasalahan dan menghasilkan dampak nyata terhadap penurunan ATS di seluruh wilayah Malut.
Abubakar bilang, pendekatan ini juga mencerminkan keseriusan Pemprov Malut dalam membangun sistem pendidikan yang adaptif dan berkeadilan. Dengan memahami variabel dominan seperti ekonomi, budaya, atau kecenderungan menikah dini, pemerintah dapat menyusun strategi lintas sektor yang lebih efektif.
Kolaborasi antara Dikbud, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, serta tokoh masyarakat menjadi langkah strategis untuk menciptakan solusi yang tidak hanya menekan angka ATS, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial dan masa depan generasi muda Malut.
“Kita belum dapat menentukan faktor mana yang paling dominan mempengaruhi hal ini. Untuk itu, kita masih mencari tahu variabel yang paling dominan, apakah karena faktor ekonomi, daya tarik lapangan kerja, cenderung menikah di usia dini, atau soal budaya. Sampai sekarang, variabel-variabel itu belum dapat kita lihat secara langsung,” ungkapnya.
Salah satu intervensi awal yang telah dilakukan adalah membebaskan uang komite, sehingga hambatan ekonomi bagi siswa dapat diminimalkan.
“Intervensi awal Ibu Gubernur dan Pak Wagub sudah jelas, yaitu membebaskan uang komite. Jika faktor dominannya adalah ekonomi, maka tidak ada beban lagi karena uang komite sudah dibebaskan,” terangnya.
Kebijakan Pemprov Malut untuk mempertahankan intervensi BOSDA pada tahun anggaran 2026 menunjukkan komitmen berkelanjutan dalam memastikan pemerataan akses pendidikan di seluruh wilayah. Langkah ini tidak hanya berfokus pada pendanaan operasional sekolah, tetapi juga menyasar kebutuhan dasar peserta didik agar mereka dapat belajar dengan layak tanpa terbebani persoalan ekonomi keluarga. Upaya ini menjadi bagian dari strategi besar pemerintah daerah untuk memperkuat fondasi pendidikan menengah sekaligus mempersempit kesenjangan antara siswa dari keluarga mampu dan tidak mampu.
Selain itu, rencana pemberian bantuan seragam bagi siswa dari kategori desil 1, 2, dan 3 menegaskan sensitivitas sosial Pemprov Malut terhadap realitas di lapangan. Banyak anak usia sekolah yang terhambat bukan karena kurangnya semangat belajar, melainkan karena keterbatasan ekonomi yang memengaruhi kebutuhan sederhana seperti seragam. Dengan kebijakan intervensi ini, pemerintah berupaya memastikan bahwa tidak ada lagi siswa SMA di Malut yang terpaksa absen dari sekolah hanya karena faktor ekonomi, sekaligus meneguhkan arah pembangunan pendidikan yang lebih inklusif dan berkeadilan sosial
“Selain itu, kita akan mempertahankan intervensi BOSDA di tahun anggaran 2026, sambil ada intervensi lain, yaitu pemberian seragam bagi siswa yang tidak mampu, yang kami tawarkan kepada Ibu Gubernur. Seumpamanya ada siswa yang kategori desil 1, 2, dan 3, dan jika masalahnya adalah pakaian seragam, maka kita akan berupaya melakukan intervensi untuk mengurangi beban masyarakat bagi siswa SMA,” lanjut Abubakar.
Abubakar juga menekankan bahwa semua intervensi akan dilakukan secara bertahap, sambil mempelajari efektivitas setiap kebijakan berdasarkan survei dan data lapangan.
“Tapi ini masih kita pelajari, melihat potensinya. Jika satu seragam abu-abu memungkinkan untuk diintervensi, maka akan kita lakukan, asalkan survei menunjukkan faktor dominannya jelas,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa faktor dominan penyebab ATS belum sepenuhnya diketahui, sehingga strategi yang diterapkan masih berupa dugaan berdasarkan data dan analisis awal.
“Sampai saat ini, faktor dominan yang menyebabkan peningkatan Anak Tidak Sekolah (ATS) belum kami miliki. Jadi, kami masih menduga variabel-variabel yang tadi telah kami sampaikan,” tandasnya. (Jainal Adaran)
Topik:
Kadikbud Malut Abubakar Abdullah Pemprov Malut