Ekspressionisme Chryshnanda Dwilaksana

No Name

No Name

Diperbarui 31 Juli 2021 13:35 WIB
Oleh: Gatot Eko Cahyono Pelukis ekspresionis di Indonesia tidak terlalu banyak. Salah satu dedengkotnya yaitu sang Maestro Affandi (almarhum), dengan teknik pelototannya yang ciamik. Pelukis kelahiran Cirebon yang menjadi warga Yogyakarta . Pelukis generasi muda yang beraliran ekspresionis lainnya saat ini adalah Bayu Wardhana, dan Astuty Kusumo, keduanya juga dari Yogyakarta. Masing-masing mempunyai style dan kafakter yang beda meski sama sama ekspresionis. Kehadiran karya dari sosok Chryshnanda cukup memperkaya dunia seni lukis Indonesia, meski melalui sebuah konsistensi proses kreatif yang cukup panjang. Pria kelahiran Magelang 53 tahun yang lalu ini sejak remaja memang sudah suka dan giat berkesenian. Salah satunya sejak remaja sudah ikut “nyanggar” gemar menggambar bersama kawan-kawannya di Magelang, belajar melukis bersama dari seorang guru, pak Barkah namanya. Dalam perjalanan hidupnya keinginan untuk melanjutkan kuliah masuk STSRI ASRI kandas, karena keadaan keluarga dan ayahnya kurang merestuinya. Akhirnya sosok Chryshnanda tetap konsisten menggeluti hobinya, gambar menggambar, melukis, bahkan pernah juga mencoba membuat kartun . Namun dalam perjalanan waktu, Chryshnanda lebih merasa pas, nyaman, untuk tetap menekuni dunia seni lukis, hingga detik ini. Sampai Chryshnanda sekarang masih aktif menjabat sebagai direktur Korlantas di Jakarta, namun dunia seni lukis tetap berjalan seiring pekerjaannya dan justru membuatnya semakin hepi menjalani hidupnya. Sudah banyak aktifitas pameran yang Chryshnanda ikuti. Pameran bersama di beberapa kota di Indonesia, bahkan juga pameran tunggal di Jakarta. Terakhir baru saja mengikuti pameran virtual para seniman Indonesia-Hongaria, 27 Juli 2021 yang dikuratori oleh pelukis Supantono Suwarno. Refleksi Energi Kejujuran Jiwa Melihat karya Chryshnanda yang rata-rata berukuran sedang dan besar, selalu domInan akan sapuan-sapuan kwas besar dengan warna primer cat akrilik yang saling berbaur, yang agak encer, kadang disengaja muncul “dleweran” yang menambah efek artistik, pengalaman artistik tentu didapat dari eksplorasi dan konsistensi berkarya. Aksi “bat-bet” kwas-nya adalah cerminan dari refleksi energi kejujuran suara jiwanya yang ia ungkapkan secara jujur dan sangat berani. Tidak peduli karya itu nanti laku atau tidak, orang akan senang atau tidak, tak menjadi masalah buat Chryshnanda. Chryshnanda berkarya sangat cepat, bisa jadi satu lukisan ia selesaikan antara 15-20 menitan. Sungguh luar biasa. Terakhir di bulan Juli 2021, Chryshnanda melakukan aksi melukis On The Spot (OTS) di sekitar candi Borobudur dan Mendut, di Magelang, Jawa Tengah. Melihat wujud karya OTS nya, semakin meyakinkan akan ekspresi dari gemuruh energi suara jiwanya yang selalu tidak pernah ragu, penuh kejutan spontanitas . Karya seri “Bulan di atas Borobudur” sangat jelas mengindikasikan kekonsistennya Chryshnanda dalam berkarya. Spontanitas berani dari sapuan kwas besarnya sangat merdeka dan artistik, komposisi dan penggunaan warna primer yang berbenturan, sesekali mencuat warna hitam, terlihat apik berjalan alami ke arah harmonisasi, serasi, sehingga hasil pungkasan enak dilihat mata. Penggunaan warna -warna primer yang saling berbenturan melalui sapuan kwas dan penggunaan warna hitam pada sosok candi Borobudur, sangat harmonis, karena warna hitam adalah bisa menambah sebagai warna pengunci (dalam ilmu dasar disain elementer seni rupa). Berkarya seni, apapun, adalah sangat memerdekakan si seniman, menjadi sebuah kepuasan batin, bisa migunani untuk diri sendiri mau pun orang lain.seni adalah bagian dari kebutuhan kehidupan manusia di mana pun berada. Seni menjadikan hidup manusia semakin beradab dan indah. Menurut saya, karya-Karya Chryshnanda semakin lama semakin terlihat kematangannya. boleh dikatakan sudah “layak” sebetulnya untuk tampil dalam gelaran pameran di Galnas.***  

Topik:

Chryshnanda Dwilaksana