Misteri Film G30SPKI Arifin C Noor dan Bung Karno

No Name

No Name

Diperbarui 1 Oktober 2021 10:52 WIB
SETIAP melewati bulan September, saya sering teringat pengalaman nyata saya bersama Syah Sabur. Waktu itu, kami berdua meliput ulang tahun Teater Kecil, di rumah sang sutradara, Arifin C Noor, di bilangan Jakarta Selatan. Tentu tak ada yang saya tambah dalam kisah ini. Kalau ada yang kurang, tolong Bro Syah Sabur menuliskannya. Saya bersemangat ke markas Teater Kecil, karena di hati saya ada pertanyaan yang sejak lama terpendam. Benarkah film G30SPKI karya atas inisiatif Arifin sendiri atau dia hanya bekerja sebagai “tukang” yang mengerjakan pesanan? Agar “pertanyaan terpendam” ini bisa saya salurkan, saya mengajak Syah Sabur agar kami tunggu sampai banyak tamu yang pulang, supaya kami leluasa wawancara khusus dengan Arifin. Tokoh legendaris teater Indonesia ini, melalui karya Sumur Tanpa Dasar, telah memposisikan para dramawan modern Indonesia di tempat yang layak – WS Rendra dan Afrin C Noor dua nama di jajaran atas. Setelah banyak bertanya mengenai perkembangan Teater Kecil, saya kemudian mengeluarkan pertanyaan yang sudah lama saya saya simpan. “Pak Arifin, sebelum film G30SPKI, karya-karya Bapak umumnya adalah berupa hasil perenungan (komtemplasi), interpretasi terhadap realitas, opini dan harapan untuk lebih baik. Namun dalam karya film G30SPKI, Pak Arifin seperti membohongi diri sendiri. Apakah benar demikian?” Arifin terdiam sekitar 10 detik. Entah pura-pura, entah bagian dari akting oleh aktor yang selalu siap menjadi orang lain (seperti dalam naskah), saya tidak tahu. Dengan mata berkaca-kaca dia mulai menjawab. Tetapi, catat dulu, kami tidak tahu apakah ini dari dalam hatinya atau bukan. “Baik, saya jawab dengan jujur. Tetapi dengan syarat, anda harus berjanji untuk tidak menulis hal ini,” kata Arifin. Sabur mengangguk, lalu saya berkata tegas: “Ya, kami berjanji.” Tentu saja, janji kami laksanakan, kisah di balik cerita pembuatan film G30S PKI, tidak pernah kami tulis di Suara Pembaruan. Dengan mimik serius laksana sedang bermain di atas panggung, Arifin bertutur. “Sesungguhnya, ketika saya mengajukan ijin untuk membuat film tentang Bung Karno (Presiden Soekarno), ditolak. Saya dijanjikan baru dikasi ijin, hanya setelah saya membuat film G30SPKI.” “Karena saya sudah sejak lama ingin membuat film Soekarno, ya terpaksalah saya mengikuti permintaan mereka. Anda tahu? Kalau saya melihat Soekarno mengenakan kopiah, saya membayangkan Soekarno adalah Tuhan,” ungkap Arifin dengan terharu. “Tetapi, apakah anda tahu? Saya sangat kecewa ketika saya menyelesaikan film G30SPKI, lalu saya kembali mengajukan ijin pembuatan film tentang Bung Karno, lagi-lagi ditolak. Saya diminta bikin satu film lagi, yaitu Serangan Umum Satu Maret. Karena ingin sekali bikin film Soekarno, ya lagi-lagi menurut,” kata Arifin dengan wajah yang bertambah serius. Air matanya hampir menetes. Singkatnya, film Serangan Umum Satu Maret selesai, ijin film Soekarno tak juga dikasi. Sejak itulah Arifin tidak mau lagi membuat film pesanan mereka. Mendapat penjelasan Arifin, hati saya sedikit terhibur. Sebagai pengagum Bung Karno tulen, saya menilai Arifin sudah melakoni korban perasaan. Saya dan Syah Sabur hanya bisa bersaksi apa yang dikatakan Arifin, tetapi tidak bisa menjamin apakah yang Arifin sampaikan benar adanya. Sering sekali, memperoleh informasi versi lain, hanya hiburan belaka, bukan kenyataan sebenarnya. [Sihol Manullang] Catatan: Tulisan ini dikirim pertama kali ke grup wa mantan-mantan wartawan Sinar Harapan & Suara Pembaruan, Jumat (1 Oktober 2021) pukul 08.25 WIB. Syah Sabur adalah rekan saya sesama wartawan di Suara Pembaruan. Wawancara dengan Arifin C Noor dilakukan semasa kekuasaan Soeharto.

Topik:

Arifin C Noor Misteri Film G30SPKI Bung Karno