Rusun dan Ilusi Transportasi Sepeda

No Name

No Name

Diperbarui 2 November 2021 02:06 WIB
Oleh: Andrinof A Chaniago/Dosen Ekonomi-politik dan Kebijakan Publik Departemen Ilmu Politik FISIP UI RUMAH Susun Pasar Rumput yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada hari Senin, 20 September 2021 kemarin, jika dikaji, akan mengungkap banyak pesan bernilai untuk menata kota yang disandera serangkaian masalah yang tidak berujung. Di sini, ada pesan untuk solusi macet, kemudahan pengelolaan sampah, polusi, layanan transportasi yang efisien, penurunan risiko kebakaran, ruang publik, dan banyak lagi nilai lebih yang ditawarkan oleh sistem hunian vertikal ini jika disediakan dalam jumlah besar. Bagi kehidupan kota, hunian vertikal adalah solusi komprehensif. Ciri dari kebijakan komprehensif adalah dia menyediakan banyak manfaat lewat satu tindakan strategis. Sebaliknya, ciri kebijakan parsial atau sektoral adalah dia tidak menyelesaikan masalah lain, bahkan, sering mendatangkan masalah baru. Mari kita ambil ide kebijakan Menghidupkan Transportasi Sepeda sebagai contoh ide kebijakan yang parsial dan menyelesaikan satu masalah tetapi memunculkan masalah lain jika diterapkan di kota-kota besar di Indonesia saat ini. Bagi seseorang dari kalangan mapan atau orang yang pernah bermukim di kota tertentu di Eropa, pastilah paham bahwa penggunaan sepeda sebagai alat transportasi itu sehat dan baik. Sementara kalangan menengah bawah dan bawah, mungkin sebagian kecil yang menganggap itu penting dan sebagian besar tidak peduli karena mereka tidak punya imajinasi tentang sepeda sebagai moda transportasi penting di sebuah kota besar seperti seseorang yang pernah tinggal di Eropa. Keterbatasan mobilitas dan keadaan ekonomi bisa membatasi imajinasi dan kepedulian warga kepada hal-hal yang ideal seperti lingkungan sehat dan bersih, termasuk alat transportasi yang sehat. Bagi masyarakat yang prioritas hidupnya adalah bekerja untuk bisa makan dan minum, soal transportasi sehat seperti sepeda, atau makanan hiegenis, atau energi ramah lingkungan dan sejenisnya, bukanlah prioritas. Keterkaitan erat antara status sosial-ekonomi dan kesadaran hidup sehat dan bersih ini sulit dibantah. Karena itu, kondisi sosial-ekonomi kalangan masyarakat menengah bawah dan lapisan bawah itu lebih dipilih untuk diakomodasi oleh negara dalam membuat kebijakan-kebijakan ekonomi untuk periode tertentu. Negara China selama tiga dekade pertama modernisasi sejak tahun 1980-an juga tidak peduli dengan industri dan listrik yang tidak ramah lingkungan, karena yang jadi prioritas bagi China di masa tiga dekade itu adalah menggenjot habis-habisan pertumbuhan ekonomi. Sebagai negara yang kelas sosial-ekonomi warganya pada dekade 1980-an dan 1990-an didominasi kalangan bawah dan menengah bawah, pemerintah China memilih mengabaikan soal ekonomi ramah lingkungan hingga lebih dari tiga dekade. Tetapi, ketika sebagian dari ribuan generasi terpelajar China yang dikirim ke Amerika dan Eropa sejak awal 1980-an mulai kembali ke negaranya di awal Abad 21 ini, sedikit demi sedikit China mulai masuk ke wacana ekonomi ramah lingkungan. Memasuki dekade kedua Abad 21 kemarin, wacana tadi mulai bergerak ke aksi nyata. Produksi mobil listrik di China meningkat pesat dan produksi listrik energi baru dan terbarukan (EBT) mulai mengambil produksi signifikan, khususnya sejak mulai beroperasinya pembangkit listrik tenaga air yang bersumber dari bendungan raksasa Three Gorges Dam di Provinsi Hubei pada tahun yang berkapasitas 22.50 MW. Untuk lingkungan perkotaan, cara China membangun kota yang ramah lingkungan selain dengan meningkatkan produksi mobil listrik adalah menyiapkan prasarana dan sarana publik yang mencukupi. Harus dicatat bahwa untuk membuat sebuah kota, apalagi kota besar, menjadi bersih dan sehat baik untuk warganya, para komuter maupun turis tidak hanya dengan membangun sistem transportasi publik yang baik. Pengaturan lahan dan bangunan justeru fondasi untuk kebijakan-kebijakan perkotaan di sektor lainnya. Untuk membuat sebuah kota aman, nyaman dan sehat secara ekologis, jalur dan ruas jalan harus cukup untuk berbagai moda transportasi umum, dan hunian perkotaan harus didominasi oleh hunian vertikal baik kelas rusun maupun apartemen. Dengan begitu, warga kota maupun komuter bisa melakukan pergerakan dengan moda transportasi yang efisien dan ruang untuk fasilitas umum, termasuk taman, bisa tersedia dengan memadai. Tetapi, akibat pembangunan kota-kota modern dan skala besar di China sejak tahun 1980-an, warga China yang terkenal dengan budaya bersepedanya justeru meninggalkan sepeda. Sepeda makin terbatas digunakan untuk beredar di sekitar lingkungan dan untuk rekreasi atau olah raga. Realistiskah Transportasi Sepeda? Jika di kota-kota besar dan modern fungsi sepeda bergeser dari salah satu alat transportasi tradisional menjadi alat transportasi terbatas di sekitar lingkungan dan alat olah raga atau rekreasi, bagaimana jika bersepeda ke kantor di kota besar yang masih semerawut, lahan jalannya sempit, hunian warga didominasi oleh hunian yang menapak ke tanah alias hunian nonvertikal? Menggunakan sepeda sehari-hari ke kantor di kota besar yang polusi udaranya tinggi, jarak tempat tinggal sebagian besar warga jauh dari tempat kerja, apalagi bagi pekerja komuter, sama dengan membinasakan diri perlahan-lahan. Setiap hari pengguna transportasi sepeda harus menghirup udara yang terpolusi dan telinga harus kebal terhadap polusi suara. Oleh karena itu, bersepeda untuk tujuan hidup sehat bagi warga Jabodetabek yang bekerja di Jakarta dengan polusi udara dan kebisingan mesin kendaraan yang tinggi jelas sebuah ilusi. Sepeda memang tidak memproduksi polutan atau gas buangan. Tetapi, dengan bersepeda bercucuran keringat dan debu yang menempel di pakaian karena menempuh jarak yang jauh dan udara berdebu, pesepeda akan menjadi warga pemboros konsumsi air karena harus mandi tiga kali sehari dan menambah jumlah pakaian yang harus dicuci dengan air dan alat pembersih. Artinya, dari hitungan biaya-manfaat agregat, bersepeda ke kantor untuk wilayah seperti Jabodetabek manfaat bersihnya untuk transportasi ramah lingkungan bisa zero bahkan bisa minus. Masalah lain yang akan muncul dengan menyediakan jalur khusus sepeda untuk kondisi kota seperti Kota Jakarta adalah konflik antarkelompok pengguna jalan dalam pemanfaatkan ruang. Dengan luas lahan jalan di Jakarta dan Bodetabek yang jauh dari cukup, yakni hanya 8% dibanding kebutuhan ideal minimal 15% dari total lahan, sementara jumlah kendaraan bermotor duapuluhan juta, memberi hak ekslusif kepada jalur sepeda yang belum signifikan jumlah peminatnya untuk dikategorikan sebagai penggunakan transportasi umum adalah kebijakan afirmasi yang berlebihan. Dikatakan berlebihan karena pilihan ini mengambil hak kelompok pengguna prasana dan sarana publil yang lain sebagai pengguna jalan. Pengguna sepeda motor, misalnya, yang terpaksa menjadikan sepeda motor untuk menghemat pengeluaran biaya rumah tangga, mereka jelas jauh lebih berhak diakomodasi untuk mendapat jalur khusus. Seandainya jumlah rata-rata orang yang bersepada ke kantor di Jabodetabek dua ribu orang, jumlah itu tidak ada artinya dibanding pengguna sepeda motor yang jutaan orang jika dilihat jumlah sepeda motor di DKI Jakarta saja tercatat sekitar 16 juta kendaraan. Artinya, mengajak kaum pekerja dan profesional Jakarta yang tempat tinggalnya tersebar di seantero Jabodetabek untuk menggunakan sepeda ke kantor bukanlah ajakan yang realistis. Pertimbangann hidup sehat dan mendorong penurunan emisi karbon belumlah signifikan ketika dihadapkan masalah mendasar Kota Jakarta dan Jabodetabek. Masalah kota-kota besar di Indonesia tidak bisa difokuskan pada satu-dua jenis persoalan secara tersendiri. Setiap masalah kota besar di Indonesia adalah bagian tidak terpisahkan dari masalah lain. Mari Serius dengan Rumah Susun Ketika saya secara informal berinisiatif “mendampingi” Gubernur DKI 2012-2014, Joko Widodo, salah satu usulan strategis yang saya sampaikan adalah membangun ulang sebagian dari 153 pasar PD Pasar Jaya menjadi pasar rakyat yang di atasnya berdiri bangunan fasos dan rumah susun sederhana. Salah satu syarat untuk penghuni adalah, mereka tidak diberi fasilitias parkir kendaraan roda empat, kecuali mau membayar seperti tarif parkir di mal-mal dengan hitungan per jam. Tujuan persyaratan ini untuk menjadikan penghuni rusun pasar ini tepat sasaran dan sejalan dengan tujuan memecahkan masalah kompleks Kota Jakarta. Di samping menyediakan rumah dengan harga terjangkau bagi pekerja dan profesional muda yang bekerja adi Jakarta, dengan tinggal di dalam kota Jakarta mereka tidak menjadi penyumbang polusi, menghemat energi dan biaya sehari-hari, menurunkan risiko gangguan kesehatan dan stess, bisa menjangkau tempat kerja dengan berjalan kaki, naik sepeda atau naik angkutan umum kurang dari setengah jam. Artinya, pembangunan rusun besar-besaran di dalam kota sangatlah strategis untuk meningkatkan kesejahteraan dan untuk meningkatkan usia harapan hidup warga. Sebagai pilot project untuk ide inilah dibangun rumah susun Pasar Rumput, Manggarai. Hanya saja, entah mengapa bangunan yang tampak cantik itu harus lama sekali menganggur sejak selesai dibangun tiga tahun yang lalu. Tampaknya, kita masih punya masalah kelembagaan dalam mengeksekusi sebuah ide yang bernilai strategis seperti ini. Padahal, lahan yang akan dibangun adalah asset negara, walaupun pengelolanya adalah sebuah perusahaan daerah. Lalu, apa yang bisa dipelajari dari pilot project Rusun Pasar Rumput Manggarai ini? Namanya pilot project fungsinya adalah untuk mengidentifikasi masalah yang tidak tercover dalam perencanaan guna menyempurnakan perencanaan selanjutnya. Penulis yakin, jika 50 saja pasar PD Pasar Jaya berhasil dibangun seperti pasar Pasar Rumput, lahan-lahan BUMN dan milik pemerintah yang lain juga bisa diubah menjadi bangunan rusun terpadu. Kalau mau mencermati, kota besar atau negara kota yang kemacetannya rendah, taman kotanya banyak dan ruas jalannya luas, seperti Tokyo, Seoul, Tapei, Hongkong dan Singapura, dicirikan oleh hunian warga yang sekitar 90% adalah hunian vertikal. Artinya, meningkatkan jumlah hunian vertikal di kota-kota besar di Indonesia adalah langkah strategis untuk mengurangi banyak masalah. Para pemimpin kota di Indonesia harus menghindari penyelesaian suatu masalah yang menimbulkan masalah baru.***  

Topik:

Rusun Transportasi Sepeda Andrinof Chaniago