Soal Penundaan Pemilu, Presiden Dipaksa Langgar Sumpah Jabatan dan Hancurkan Struktur Demokrasi

No Name

No Name

Diperbarui 11 April 2022 09:33 WIB
Setelah sekian lama menjadi perdebatan pro dan kontra dan menimbulkan reaksi dan aksi mahasiswa, wacana penundaan pemilu mendapat tanggapan dari Istana. Presiden RI Joko Widodo pada Selasa, 5 April 2022 di Sidang Kabinet Paripurna menegaskan para menteri berhenti membicarakan wacana presiden tiga periode dan penundaan pemilu. Pernyataan tersebut patut diberi apresiasi agar para menteri dan elit tidak membuang-buang waktu untuk mengurusi hal-hal yang sama sekali tidak memiliki relevansi dengan pekerjaannya. Berikut ini beberapa pandangan Indonesian Democratic Center kenapa wacana penundaan pemilu harus dihentikan: Pertama, bahwa wacana penundaan pemilihan uumum jika direalisasikan sama saja memaksa Presiden untuk melanggar sumpah jabatan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 9 UUD 1945 yang intinya menyebut …Presiden dan Wakil Presiden bersumpah dengan sebaik-baiknya memegang teguh Undang-Undang Dasar… Sementara di sisi lain, Pasal 7 UUD 1945 mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang masa jabatan selama 5 (lima) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Oleh karena presiden terikat dan patuh terhadap hukum positif indonesia, artinya hukum yang berlaku saat ini atau dikenal dalam istilah hukum ius constitutum, sehingga sumpah jabatan presiden yang harus dipatuhi adalah lima tahun sesuai dengan UUD 1945, bukan patuh terhadap norma hukum yang belum dibuat. Kedua, penundaan pemilu akan membawa dampak pada banyaknya penyelarasan regulasi, khususnya yang terkait dengan masa jabatan lima tahun untuk DPR RI, DPD, dan DPRD, yang diatur dalam UU No 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Sehingga harus diubah untuk menghindari kevakuman kekuasaan. Begitupun pelaksanaan pemilihan uumum setiap lima tahun sekali yang diatur dalam Pasal 167 ayat (1) UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu harus diubah. Banyak peraturan perundang-undangan dan peraturan tekhnis lainnya yang harus disesuaikan. Ketiga, salah satu syarat negara demokrasi yang modern adalah adanya pemilu yang berkala – yang disepakati secara politik dan legal lima tahun sekali – bukan pemilu yang ditunda-tunda. Jelas penundaan pemilu akan merusak pondasi demokrasi Indonesia yang paling elementer. Keempat, pranata-pranata demokrasi seperti KPU dan Bawaslu secara berjenjang dari pusat hingga di tingkat daerah akan mandul dan tidak akan berfungsi menjalankan tugas dan fungsi politisnya. Fungsi penting dari pranata-pranata demokrasi tersebut adalah terus menkonsolidasikan demokrasi di Indonesia, yang diantaranya adalah melakukan pendidikan politik rakyat, edukasi dan sosialisasi pemilu kepada pemilih, penguatan kelembagaan demokrasi, dan lain-lain. Sehingga jelas penundaan pemilihan uumum akan membawa dampak panjang yang destruktif terhadap struktur dan konsolidasi demokrasi Indonesia yang dibangun dengan perjuangan yang tidak main-main serta akan mendegradasi loyalitas rakyat terhadap sistem demokrasi. Penulis: Girindra Sandino dari Indonesian Democratic Center (IDE Center)

Topik:

pemilu 2024