Menakar Keberhasilan KTT G20 Ditengah Bayang-bayang Perang Rusia-Ukraina

No Name

No Name

Diperbarui 15 November 2022 20:04 WIB
Oleh: John A. Oktaveri/Jurnalis Senior Monitor Indonesia DIBAYANGI isu perang Rusia-Ukraina dan ketegangan hubungan AS-China, para pemimpin dunia bertemu pada pekan ini untuk membahas isu-isu kunci yang mempengaruhi stabilitas pasar global dan mau tidak mau akan berdampak pula pada perekonomian dunia. KTT Kelompok 20 (G20) saat ini sedang berlangsung di Bali pada 15 dan 16 November sekaligus menandai puncak kepemimpinan (presidensi) Indonesia dari ekonomi terbesar G20. Maklum, sedikitnya 200 pertemuan telah digelar oleh kelompok kerja selain acara sampingan lainnya yang diadakan sepanjang tahun menjelang acara puncak. Didirikan pada akhir 1999 setelah krisis keuangan Asia, G20 awalnya memang berfokus pada kebijakan makroekonomi yang luas. Akan tetapi, fokusnya kemudian berubah menjadi forum untuk mengatasi masalah mendesak yang harus diselesaikan seperti akses vaksin, ketahanan pangan, dan perubahan iklim. Sedangkan anggota grupnya adalah 19 negara, yakni Argentina, Australia, Brasil, Kanada, China, Prancis, Jerman, India, Indonesia, dan Italia. Begitu juga dengan Jepang, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Korea Selatan, Turki, Inggris, AS dan Uni Eropa. Bersama-sama, 20 ekonomi ini menyumbang 80 persen dari output ekonomi global atau hampir 75 persen dari ekspor dan sekitar 60 persen dari populasi dunia. Setiap tahun, para pemimpin anggota G20 bertemu untuk membahas masalah ekonomi dan keuangan serta mengoordinasikan kebijakan tentang masalah lain yang menjadi kepentingan bersama. TT tahunan kelompok ini diselenggarakan dan diketuai oleh anggota yang berbeda dan memberikan kesempatan kepada negara tuan rumah untuk mendorong tindakan terhadap isu-isu yang penting bagi mereka. Sebagai benetuk dari implemetasinya, Presiden Indonesia Joko Widodo telah mendorong pertemuan antara pemimpin Ukraina Volodymyr Zelensky dan mitranya dari Rusia Vladimir Putin. Akan tetapi Putin mengatakan dia tidak memiliki rencana untuk menghadiri KTT tersebut. Kepemimpinan Indonesia Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar dan terpadat keempat di dunia, Indonesia memfokuskan kepemimpinannya untuk mengarahkan pemulihan pasca-pandemi virus Corona, transisi energi, dan transformasi digital. Akan tetapi, hanya tiga bulan setelah memimpin kelompok tersebut, pada bulan Februari, invasi Rusia ke Ukraina menambahkan variabel baru ke pokok bahasan. Akibatnya G20 mengarahkan diskusi ke isu ketahanan pangan dan energi, dua masalah yang telah menjadi perhatian global sebagai akibat dari perang yang sedang berlangsung. Tidak heran kalau harga bahan bakar dan pangan yang tinggi seringkali berkorelasi dengan protes massa, kekerasan politik, dan kerusuhan. Sementara Sri Lanka dan Peru sudah mulai mengalami kerusuhan. Turki, Pakistan, dan Mesir juga berisiko mengalami kerusuhan sosial karena biaya hidup semakin berat. Masalah ini diperkirakan akan mendominasi pembicaraan KTT G20 sebagimana diungkapkan Teuku Rezasyah, dosen hubungan internasional dari Universitas Padjajaran kepada wartawan. Dia mengatakan bahwa sebagian besar dari peserta telah mempelajari apa yang terjadi pada krisis keuangan Asia 1997 dan krisis ekonomi global pada 2008, dan itulah alasan di balik berdirinya G20. “Mereka akan berbicara tentang ketahanan energi, ketahanan pangan, dan kemudian mereka juga akan berbicara tentang bagaimana menjaga stabilitas dan pembangunan ekonomi global,” katanya pada satu kesempatan. Inflasi yang bergerak pada tingkat yang tidak terlihat dalam beberapa dekade, selain krisis utang yang sedang berlangsung dan masalah biaya hidup, adalah ancaman terbesar untuk melakukan bisnis bagi negara-negara G20 dalam dua tahun ke depan, menurut survei awal November oleh World Economic Forum (WEF). Pada sisi lain, resesi ekonomi global yang disebabkan oleh pandemi virus Corona semakin diperparah oleh perang yang sedang berlangsung di Eropa. Meskipun G20 adalah forum ekonomi dan bukan forum untuk menangani konflik bersenjata dan politik, namun situasi di Ukraina diperkirakan akan menjadi bahan diskusi, kata Saidiman Ahmad, manajer program di lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting yang berbasis di Jakarta. Dia mengatakan perang telah menjadi sumber energi dan krisis pertanian. Karena itu, menurutnya, akan aneh jika masalah sebesar ini tidak menjadi salah satu isu utama dalam agenda forum G20. Kesepakatan bahan pangan biji-bijian antara Rusia dan Ukraina untuk membangun koridor aman di mana kapal Ukraina dapat masuk dan keluar dari tiga pelabuhan Laut Hitam yang ditunjuk di sekitar Odessa, telah menciptakan kemacetan lalu lintas di Istanbul. Sejak invasi Rusia ke Ukraina dan sanksi Barat dijatuhkan ke Moskow, lonjakan harga bahan bakar menjadi yang tertinggi kedua sejak tahun 1970-an. Artinya, konflik juga telah mengganggu pasokan gandum dan pupuk. Padahal kedua negara merupakan pemasok sepertiga dari gandum global, sementara Rusia juga merupakan pengekspor utama nitrat yang digunakan dalam pertanian. Sementara itu, kekurangan pangan yang berkelanjutan dan harga pangan yang tinggi berpotensi mengirim jutaan orang di seluruh dunia ke dalam kerawanan pangan akut. Bahkan PBB telah memperingatkan tentang kelaparan yang mengancam meskipun para menteri keuangan dan pertanian G20 berkomitmen selama pertemuan Oktober untuk mengatasi kerawanan pangan global. Bagaimanapun juga belum jelas apakah masalah tersebut akan tercermin dalam deklarasi akhir para pemimpin dunia nantinya di Bali. Upaya untuk mengatasi krisis listrik, di sisi lain, juga harus muncul dalam komunike KTT. Sebagai catatan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia mengumumkan minggu lalu bahwa anggota G20 telah sepakat untuk mempercepat transisi energi, peralihan dari bahan bakar fosil ke sumber terbarukan, dan memasukkan upaya ketahanan energi dalam deklarasi akhir KTT. Siapa yang hadir? Presiden Indonesia Joko Widodo telah mengkonfirmasi bahwa 17 pemimpin negara G20 telah mengkonfirmasi kehadiran mereka, termasuk Presiden AS Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping. Presiden dari dua ekonomi terbesar dunia bertemu di Bali pada hari Senin, dalam percakapan tatap muka pertama mereka sejak Biden menjabat. Keduanya akan terlibat pembicaraan terkait ketegangan antara Amerika Serikat dan China mengenai kebijakan perdagangan, teknologi, dan aktivitas militer Beijing yang meningkat di Laut China Selatan dan tindakannya di Taiwan. China juga menghindari kecaman langsung terhadap Rusia atas invasi ke Ukraina, sementara AS telah menjadi pemrakarsa utama sanksi terhadap Moskow. Selain para pemimpin G20, puluhan pejabat tinggi lainnya juga hadir, dan militer Indonesia mengumumkan dalam pembaruan keamanan puncaknya bahwa mereka telah menyiapkan gugus tugas VVIP untuk 42 kepala negara tambahan yang tiba di Bali untuk menghadiri forum tersebut. Diplomasi indonesia Bagaimanapun juga, kini Indonesia sedang mencoba untuk mengatur pertemuan antara Presiden Rusia Vladimir Putin dan rekannya dari Ukraina Volodymyr Zelensky yang telah diundang ke KTT tersebut sebagai tamu. Meskipun Kedutaan Rusia di Jakarta telah mengatakan bahwa Putin tidak akan datang ke KTT, namun Sekretaris Pers Zelensky mengatakan kepada media berita Ukraina bahwa dia akan hadir, tetapi secara virtual. Pada akhir Juni, Joko Widodo adalah pemimpin Asia pertama yang melakukan perjalanan ke Kyiv dan Moskow untuk bertemu rekan-rekannya dari Ukraina dan Rusia dalam upaya untuk mengurangi dampak konflik pada komunitas internasional. Ada keyakinan kuat di kalangan masyarakat Indonesia bahwa negara Asia Tenggara sebagai tuan rumah G20 dapat membantu meredakan perang. Survei yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and Consulting pada bulan Agustus menunjukkan bahwa 84 persen responden Indonesia yang akrab dengan forum G20 setuju bahwa negara mereka, yang telah berusaha untuk tetap netral, dapat berperan dalam resolusi konflik. Luthfi Assyaukanie, dosen hubungan internasional di Universitas Paramadina di Jakarta, mengatakan kepada Arab News bahwa tujuan utama pertemuan G20 adalah untuk bidang ekonomi, bukan politik. Hal itulah yang harus disoroti. “Jika forum ini diproyeksikan untuk mendamaikan Rusia dan Ukraina, maka kita akan membebani forum ini karena forum ini tidak dirancang untuk melakukan hal seperti itu. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Uni Eropa tidak dapat menangani masalah tersebut. Jadi saya tidak berpikir kita harus berharap terlalu banyak dari forum ini dalam hal rekonsiliasi Rusia-Ukraina," katanya. Lalu, bagaiman dengan dengan komunike terakhir? Perang kemungkinan akan mempengaruhi deklarasi akhir para pemimpin KTT. Indikasinya sudah terlihat pada bulan Juli, ketika pertemuan para menteri G20 gagal menghasilkan konsensus tentang penyebab krisis saat ini. Ketika negara-negara Barat menyalahkan invasi Rusia, Moskow pada gilirannya mengatakan masalah itu disebabkan oleh sanksi besar-besaran terhadapnya dan blokade Eropa terhadap pengangkutan beberapa barang Rusia melalui perbatasan Uni Eropa. Dalam konteksi itulah publik masih sulit untuk menebak atau sekadar berharap akan ada solusi terkait persoalan global tersebut. Padahal, dalam komunike harus dijelaskan mengapa ada kerawanan pangan saat ini di dunia. Artinya, para pemimpin yang sudah jauh-jauh datang ke Bali tidak bisa diharapkan mampu mencapai kesepakatan tentang apa yang menyebabkan krisis pangan dan inflasi. Pada akhirnya, dari berbagai penjelasan di atas, rintangan yang sama sekarang akan muncul di KTT selama dua hari tersebut. Padahal, tujuan akhir forum G20 adalah merumuskan komunike bersama, sehingga ada kekhawatiran KTT G20 berpotensi tidak menghasilkan apa yang diharapkan warga dunia kalau tidak mau disebut gagal. #Menakar Keberhasilan KTT G20 Ditengah Bayang-bayang Perang Rusia-Ukraina

Topik:

KTT G20