Negara Kekuasaan, Bukan Negara Hukum

No Name

No Name

Diperbarui 31 Desember 2022 17:17 WIB
Oleh: Timboel Siregar/Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) PRESIDEN telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tertanggal 30 Desember 2022 terkait UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Pemerintah mengklaim perppu ini sudah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa. Kehadiran perppu ini menggugurkan status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK). Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan beberapa alasan mendesak yang melatarbelakangi Perppu Cipta Kerja adalah dampak perang Ukraina-Rusia, selain itu, ancaman inflasi dan stagflasi yang membayangi Indonesia. Menurut saya kehadiran Perppu Nomor 2 Tahun 2022 merupakan produk hukum yang tidak konsisten dengan amanat UUD 1945, ketentuan yuridis dan kondisi obyektif di masyarakat. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 mengamanatkan, Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Kalimat “tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final” dikebiri oleh Perppu Nomor 2 ini. Tidak ada lagi makna kata-kata “tingkat pertama dan terakhir” serta kata “final”. Amanat UUD 1945 dengan mudah dan sengaja dikacaukan oleh Pemerintah. Mengacu pada Pasal 11 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan undangan, diamanatkan materi muatan Perppu sama dengan materi muatan Undang-Undang. Merujuk Pasal 10-nya, materi muatan Undang-undang, salah satunya, adalah tindaklanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi. Mengacu pada Pasal 11, seharusnya muatan Perppu Nomor 2 tahun 2022 memuat dan merujuk pada Putusan MK, namun Perppu Nomor 2 ini malah menganulir Putusan MK. Pemerintah tidak membangun budaya hukum yang baik, malah menggunakan kekuasaan untuk menihilkan Putusan MK. Montesqiue dalam teori Trias politica-nya membagi kekuasaan menjadi tiga yaitu Legislatif (DPR, DPD, MPR), Eksekutif (Presiden), dan Yudikatif (MA, MK, MY), dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan dan mencegah jangan sampai ada kekuasaan salah satu lembaga yang terlampau besar. Perppu Nomor 2 ini menciptakan ketidakseimbangan diantara ketiga kekuasaan tersebut, dan kekuasaan Pemerintah melebihi kekuasaan Yudikatif. Memang kewenangan Presiden menetapkan Perppu, yang didasarkan pada hal ihwal kegentingan yang memaksa, namun klaim kegentingan yang memaksa yang menjadi dasar lahirnya Perppu Nomor 2 tahun 2022 tidak didasari pada nilai obyektifitas. Penilaian subjektif Presiden atas Perppu Nomor 2 harus didasarkan pada keadaan yang objektif. Standar objektif penerbitan Perppu dirumuskan dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009, yaitu ada tiga syarat yang menjadi parameter dalam menetapkan suatu keadaan yang genting, salah satunya adalah adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang. Bukankah UU Cipta Kerja dan regulasi operasionalnya masih terus berlaku dan beroperasi hingga saat ini. Putusan MK tidak membatalkan isi UU Cipta Kerja dan regulasi operasionalnya. Putusan MK yang memutus inkonstitusional bersyarat, hanya memasuki sisi formil saja, belum ke materi UU Cipta Kerja. Jadi kebutuhan mendesak apa untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, ketika UU Cipta Kerja tetap berlaku dan beroperasi hingga saat ini. Bukankah Pemerintah juga meyakini UU Cipta Kerja dibuat untuk bisa mengatasi masalah krisis. Seharusnya Pemerintah menjalankan saja putusan MK bukan malah buat Perppu Nomor 2. Setelah Pemerintah dan DPR merevisi UU 12 tahun 2011 dengan memasukkan metode omnibus law dalam UU Nomor 13 tahun 2022, seharusnya Pemerintah menindaklanjuti juga proses pembahasan UU Cipta Kerja dengan melibatkan masyarakat. Untuk klaster Ketenagakerjaan, libatkan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/B) dalam penyempurnakan UU Cipta Kerja dan PP Nomor 34 Tahun 2021 Tentang TKA; PP Nomor 35 Tahun 2021 tentang Alih Daya, PKWT, PHK dan kompensasinya, Jam Kerja; PP No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan; dan PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan. Lahirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Kenaikan Upah Minimum (UM) tahun 2023, merupakan kesadaran penuh Pemerintah bahwa Pasal 26 PP Nomor 36 Tahun 2021 terkait formula kenaikan UM tidak mampu mendukung daya beli pekerja dan keluarganya, seperti yang terjadi di 2022 ini. Kenaikan rata-rata UM 2022 sebesar 1,09 persen tergerus inflasi yang mencapai 5,42 (year on year). Daya beli pekerja menurun secara signifikan, dan ini akan mempengaruhi konsumsi agregat masyarakat yang mengkontribusi 52 persen terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karenanya Pemerintah cq. Kementerian Ketenagakerjaan merilis Permenakaer Nomor 18 Tahun 2022 sehingga kenaikan UM bisa melebihi nilai inflasi yang terjadi. Dan tentunya muatan Permenaker Nomor 18 ini harus dijadikan muatan dalam revisi PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan sehingga kenaikan UM tiap tahunnya akan bisa mengatasi nilai inflasi. Walaupun tidak disebut secara spesifik, revisi PP Nomor 36 Tahun 2021 ini merupakan salah satu amanat Putusan MK yang mengamanatkan pelibatan SP/SB, dan seharusnya Pemerintah melaksanakan Putusan MK sesegera mungkin sebelum bulan Nopember 2023 sebagai tenggat waktu inkonstitusional bersyarat. Hadirnya Perppu Nomor 2 tahun 2022 menyumbat semangat pembahasan ulang UU Cipta Kerja dan regulasi operasionalnya, dengan melibatkan SP/SB untuk klaster ketenagakerjaan. Masyarakat dan SP/SB tidak dianggap sebagai subyek hukum yang diamanatkan Pasal 96 UU Nomor 12 tahun 2011. Semangat melakukan Judicial Review UU Cipta Kerja ke MK kembali akan dilakukan, walaupun Pemerintah kemungkinan akan melakukan Perppu lagi bila kalah di MK. Kehadiran Perppu Nomor 2 tahun 2022 adalah wujud negara kekuasaan. Dan ini bisa menjadi preseden buruk ke depan. Semoga Pemerintah tidak menerbitkan Perppu untuk menunda Pemilu dengan alasan kegentingan yang memaksa, untuk melanggengkan kekuasaanya.