Meningkatnya Ketidaksetaraan Akses Teknologi di Era Digitalisasi

Helena Febriyanti - Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
![Helena Helena Febriyanti, Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Diponegoro [Foto: Ist]](https://monitorindonesia.com/storage/news/image/helena.webp)
Di tengah percepatan digitalisasi global, dunia saat ini menghadapi masalah yang tidak kalah penting selain krisis iklim, yaitu ketidaksetaraan akses terhadap teknologi.
Transformasi digital yang berkembang pesat memberikan dampak positif dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari pendidikan, pekerjaan, hingga pelayanan kesehatan. Namun, tidak semua negara atau individu memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati manfaat dari revolusi digital ini.
Ketidaksetaraan akses teknologi atau "digital divide" ini perlu ditangani secara serius melalui kebijakan yang berpihak pada pemerataan akses teknologi. Di Indonesia, permasalahan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2014 tentang Broadband Plan Indonesia 2014-2019.
Perpres tersebut menekankan pentingnya pembangunan infrastruktur telekomunikasi yang merata dan terjangkau, terutama di wilayah-wilayah tertinggal. Pemerintah juga perlu memperbarui kebijakan sesuai dengan perkembangan teknologi terkini untuk memastikan akses yang adil bagi semua kelompok masyarakat.
Ketidaksetaraan akses teknologi semakin memperlebar jurang antara negara maju dan negara berkembang, serta antara masyarakat kaya dan miskin di berbagai belahan dunia. Masalah ini mencakup keterbatasan akses terhadap internet, perangkat teknologi, dan kemampuan literasi digital yang dibutuhkan untuk mengoptimalkan teknologi tersebut.
Menurut data yang dikeluarkan oleh International Telecommunication Union (ITU), sekitar 37% populasi dunia masih belum memiliki akses ke internet. Banyak dari mereka berada di negara-negara berkembang, terutama di wilayah Sub-Sahara Afrika dan Asia Selatan. Dalam konteks ini, akses internet bukan lagi sekadar kebutuhan sekunder, melainkan telah menjadi kebutuhan dasar untuk mendukung kehidupan yang lebih baik, seperti diakui dalam Sustainable Development Goals (SDGs) oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang menekankan pentingnya akses terhadap teknologi informasi dan komunikasi dalam mewujudkan tujuan-tujuan pembangunan global.
Pandemi COVID-19 semakin mempertegas realitas ini. Saat dunia beralih Alarm daring untuk bekerja, belajar, dan mengakses layanan publik, masyarakat yang tidak memiliki akses teknologi mengalami eksklusi yang serius. Sebagai contoh, jutaan anak-anak di negara berkembang harus meninggalkan pendidikan mereka karena kurangnya akses internet dan perangkat yang memadai untuk mengikuti pembelajaran jarak jauh.
Hal ini juga mengacu pada amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menekankan pentingnya pemerataan akses pendidikan.
Selain ketimpangan antar negara, kesenjangan akses teknologi juga terjadi di dalam negara itu sendiri, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Di negara maju sekalipun, seperti Amerika Serikat, ada perbedaan mencolok antara komunitas perkotaan dan pedesaan dalam hal akses internet berkecepatan tinggi.
Di Indonesia, misalnya, kesenjangan antara kota besar seperti Jakarta dan daerah pedesaan di Papua sangat mencolok dalam hal infrastruktur teknologi. Masyarakat di daerah terpencil sering kali harus berjuang untuk mendapatkan sinyal internet, sementara di kota-kota besar, akses terhadap teknologi adalah hal yang lumrah.
Ketidaksetaraan ini memiliki dampak jangka panjang yang serius. Di sektor pendidikan, anak-anak yang tidak memiliki akses ke internet atau perangkat digital tertinggal dibandingkan rekan-rekan mereka.
Di sektor ekonomi, pekerja di bidang digital mendapatkan keuntungan besar dari ekonomi berbasis teknologi, sedangkan mereka yang bekerja di sektor-sektor tradisional yang terpinggirkan semakin sulit meningkatkan taraf hidup. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan kebijakan pemerintah terkait perlu mengakomodasi tuntutan era digital ini, dengan memberikan pelatihan keterampilan baru (reskilling) dan upskilling bagi tenaga kerja di sektor tradisional.
Akses terhadap teknologi bukan hanya tentang ketersediaan perangkat atau internet, tetapi juga tentang kemampuan menggunakannya secara efektif. Literasi digital menjadi tantangan baru yang harus dihadapi, terutama bagi generasi tua dan kelompok masyarakat yang kurang terpapar teknologi. Kurangnya pemahaman mengenai teknologi, termasuk cara mengakses informasi secara aman, dapat menyebabkan kerentanan terhadap berita palsu, penipuan daring, hingga pelanggaran privasi. Untuk mengatasi hal ini, UU ITE berperan dalam mengatur hak dan kewajiban pengguna internet, serta melindungi masyarakat dari bahaya dunia digital.
Dalam konteks ini, literasi digital harus menjadi prioritas pendidikan global. Program-program literasi digital harus dirancang dan disesuaikan untuk berbagai kelompok usia dan latar belakang sosial-ekonomi, guna memastikan setiap individu mampu berpartisipasi dalam ekonomi digital yang semakin maju.
Untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan akses teknologi, dibutuhkan langkah-langkah konkret dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat global. Pembangunan infrastruktur digital yang merata, terutama di wilayah terpencil, harus menjadi prioritas utama, seperti yang diamanatkan dalam Perpres No. 95 Tahun 2018 tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE). Investasi dalam teknologi yang terjangkau, seperti program distribusi perangkat murah atau subsidi internet, dapat membantu mengurangi kesenjangan ini.
Selain itu, pemerintah perlu bekerja sama dengan institusi pendidikan dan organisasi non-pemerintah untuk meningkatkan literasi digital, terutama bagi kelompok masyarakat yang rentan. Dalam jangka panjang, pemerintah harus membangun kebijakan yang mendorong inovasi teknologi yang inklusif dan adil.
Ketidaksetaraan akses terhadap teknologi adalah masalah serius yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berkembang di era digital ini. Apabila tidak segera diatasi, masalah ini akan semakin memperburuk kesenjangan sosial-ekonomi yang ada di dunia. Kita harus bergerak cepat untuk memastikan bahwa transformasi digital membawa manfaat yang merata bagi semua lapisan masyarakat, bukan hanya segelintir kelompok tertentu.
Dengan demikian, penting bagi kita untuk melihat teknologi tidak hanya sebagai alat kemajuan, tetapi juga sebagai jembatan yang menghubungkan setiap individu menuju masa depan yang lebih adil dan setara.
Topik:
Ketidaksetaraan Akses Teknologi Era Digitalisasi