RUU TPKS Bentuk Kepedulian DPR untuk Wadahi Aspirasi Publik

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 27 November 2021 14:49 WIB
Monitorindonesia.com - Rancangan Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi salah satu bentuk kepedulian DPR RI untuk mewadahi aspirasi publik. Pasalnya, RUU TPKS ini dibutuhkan sebagai bentuk perlindungan terhadap korban karena UU yang ada saat ini seperti KUHP, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Perkawinan, UU ITE, hingga UU tentang Pornografi, belum bisa menjadi payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual. Penegasan ini disampakan Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS DPR RI, Willy Aditya berbicara dalam diskusi bertajuk 'Stop Kekerasan Seksual di Sekitar Kita! Dengar, Peduli dan Respons (DPR) dalam rangka Hari Internasional Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan' di Ruang Abdul Muis, Gedung Nusantara Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat kemarin (26/11/2021). Bahkan, Willy menyebut bahwa RUU TPKS dibutuhkan dalam 2 ranah. Pertama, bagaimana korban mendapat keadilan dan perlindungan, agar aparat penegak hukum, khususnya polisi dan jaksa punya legal standing dalam menindak. Hal tersebut, menurut dia, penting mengingat penegak hukum bekerja berdasarkan hukum positif. Apalagi, banyak korban kekerasan seksual tidak melapor karena dalam realisasinya, seksualitas masih dianggap sebagai aib atau hal yang tabu. "Korban kekerasan seksual itu sudah jatuh, tertimpa tangga, ditimpuk batu, disorakin lagi. Mereka berbicara tapi kemudian disalahkan karena pakai rok kependekan. Kayak gini bukan satu atau dua kali. Jadi nggak ada tempat di mana mereka mencari keadilan. Maka RUU TPKS ini yang kita butuhkan," kata Willy. Ranah kedua, yang perlu diatur lewat RUU TPKS adalah soal memisahkan antara urusan publik dan urusan privat. Hal yang menjadi penting adalah bagaimana kebebasan seksual, penyimpangan seksual dan kekerasan seksual dapat diatur melalui regulasi. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini mengatakan, poin-poin krusial pada RUU TPKS sebenarnya sudah disepakati. Willy merinci, poin-poin krusial itu meliputi judul undang-undang, sistematika, perlindungan kepada korban, hingga metodologi persidangan kasus kekerasan seksual. "Tinggal political will untuk memplenokan dan dibawa ke Paripurna. Saya ingin sebelum masa sidang selesai 15 Desember, bisa diplenokan, bahkan diparipurnakan sebagai RUU inisiatif DPR," harap politisi Partai NasDem ini. (Ery)