Soroti Vonis Herry Wirawan, Wakil Ketua MPR Dorong Jaksa Ajukan Banding

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 17 Februari 2022 19:12 WIB
Monitorindonesia.com- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid menyesalkan vonis penjara seumur hidup yang dijatuhkan majelis hakim terhadap Herry Wirawan pelaku pemerkosa 13 santriwati. Hidayat karib disapa HNW menilai, vonis tersebut juga tidak memenuhi rasa keadilan. "Karena hanya dijatuhi hukuman seumur hidup, tanpa pemberatan dengan dikebiri, dan tanpa penyitaan harta untuk diberikan kepada para korban. Itu semua juga tidak sesuai dengan tuntutan maksimal jaksa yaitu hukuman mati dengan pemberatan dikebiri dan penyitaan harta untuk diberikan kepada para korban," tandas Politikus PKS itu dalam keterangan tertulis, Kamis (17/02/2022). HNW juga menyesalkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang menerima vonis hakim itu, padahal vonis itu tidak sesuai dengan sanksi maksimal dalam UU Perlindungan Anak. Namun demikian, HNW mendukung sikap Gubernur Jabar Ridwan Kamil, yang mendorong agar Jaksa mengajukan banding sesuai dengan tuntutan-tuntutannya yang memenuhi rasa keadilan dan komitmen memberantas kejahatan seksual apalagi yang berlaku terhadap anak-anak. “Sangat disayangkan, ditengah makin maraknya kekerasan dan kejahatan seksual termasuk terhadap anak-anak, dan keseriusan Pemerintah dan DPR untuk segera mengundangkan RUU TPKS, tetapi hakim tidak menjatuhkan vonis maksimal sesuai tuntutan-tuntutan jaksa. Padahal kejahatan seksual yang dilakukan oleh terpidana sangat mendapat perhatian publik. Apalagi kalau merujuk pada Pasal 81 ayat (1-5)jo. Pasal 76 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah terakhir kali melalui UU No. 17 Tahun 2016, kejahatan seksual yang dilakukannya sangat biadab dan sangat layak mendapatkan sanksi hukum maksimal hingga hukuman mati, dengan pemberatannya, karena jumlah korban lebih dari 1, malah 13,” ungkapnya. Apalagi, lanjut HNW, kejahatan yang dilakukan Herry berulang-ulang sejak 2016 sampai 2021, dan kejahatannya mengakibatkan dampak yang serius kepada para korban bahkan 9 diantaranya hingga melahirkan. “Oleh karena itu, sikap majelis hakim yang tidak memberlakukan hukuman mati sebagaimana tuntutan Jaksa melainkan cukup dengan hukuman seumur hidup, dengan alasan keadilan bagi korban, malah tidak bisa memenuhi keadilan untuk para korban sesuai ketentuan dalam UU Perlindungan Anak yang masih berlaku,” tukasnya. Menurut HNW, vonis seumur hidup yang dijatuhi oleh majelis hakim, bahkan tidak diperberat dengan hukuman kebiri, juga penyitaan harta sebagai kepedulian terhadap para korban yang juga telah tersedia dalam instrumen hukum Indonesia, adalah vonis yang tidak memenuhi keadilan publik. “Padahal, baik hukuman mati, hukuman kebiri, penyitaan harta adalah legal dan sangat dimungkinkan oleh UU yang berlaku di Indonesia, yaitu UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana diubah terakhir kali melalui UU No. 17 Tahun 2016 dan yang bersangkutan sangat layak dijatuhi hukuman yang berlaku di negara hukum Indonesia,” tuturnya. “DPR dan Pemerintah sudah bekerja keras untuk menghentikan kekerasan dan kejahatan seksual, antara lain dengan menghadirkan UU Perlindungan Anak dengan berbagai perubahannya, dengan mencantumkan ketentuan hukuman mati dan pemberatan hukuman termasuk dengan kebiri kepada predator seksual terhadap anak, dan keberpihakan kepada para korban. Sangat sayang sekali apabila kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, apalagi aparat penegak hukum, terutama majelis hakim, tidak mendorong serta menggunakan sanksi dan ketentuan maksimal yang menjadi tuntutan Jaksa untuk membuktikan keseriusan dalam penegakan hukum berkeadilan, serta mengatasi kejahatan dan kekerasan seksual yang makin mengkhawatiekan, dan untuk hadirkan vonis hukum yang berpihak kepada korban dan menimbulkan efek jera agar Indonesia terbebas dari bahaya predator seksual terhadap anak,” tambahnya. Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini berharap agar jaksa penuntut umum segera mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, dengan tidak dikabulkannya tuntutan maksimal hukuman mati atau hukuman pemberat sanksi kebiri dan sita kekayaan terdakwa untuk diberikan kepada para korban. ”Demi keadilan dan agar menimbulkan efek jera dan bukti nyata kereriusan bersama berantas kekerasan dan kejahatan seksual termasuk terhadap anak-anak, serta keberpihakan kepada para korban, maka hendaknya Jaksa yang tuntutan-tuntutannya sangat diapresiasi publik, tapi tidak menjadi vonis Hakim, perlu mengajukan banding. Agar keadilan hukum, serta keseriusan pemberantasan kejahatan seksual, serta keberpihakan kepada korban, dapat benar-benar diperjuangkan dan diwujudkan,” pungkasnya. (Aswan)

Topik:

Herry Wirawan
Berita Terkait