PM Inggris Mundur, Rizal Ramli: Etika Luar Biasa, Pemimpin harus Sama Kata-kata dan Tindakan

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 8 Juli 2022 00:10 WIB
Jakarta, MI - Ekonom senior Rizal Ramli menilai mundurnya Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson dari jabatannya merupakan tindakan yang sangat luar biasa jika dilihat dari etikanya. Sebab kata dia, salah satu alasan mundurnya Boris dari jabatannya lantaran melanggar aturan yang dibuatnya sendiri. Hal inilah, menurut mantan Menko Perekonomian itu bahwa para pemimpin bangsa juga seharusnya besikap seperti Boris yang mana setiap pemimpin berani bertindak sesuai dengan apa yang ia ucapkan, dalam hal ini antara kata-kata tidak berbanding terbalik dengan tindakan. Namun sangat disayangkan, pemimpin di Indonesia kata dia, tak seperti PM  Inggris Boris Johnson itu. "PM Boris Johnson mengundurkan hanya karena melanggar peraturan yang dibuatnya untuk tidak kumpul-kumpul di awal covid. Luar biasa standard etika di Inggris: Pemimpin harus sama kata2 dan tindakannya ! Lha disini, ratusan kali pemimpin berkata ke kiri, tindakannya ke kanan. Ndak malu tuh," kata Rizal Ramli melalui tweetnya seperti dikutip Monitorindionesia.com, Jum'at (8/7). Sebagaimana diketahui, PM Inggris Boris Johnson secara resmi mengumumkan tidak akan lagi jadi pemimpin Partai Konservatif, yang artinya akan mundur dari jabatannya sekarang sebagai PM pada Kamis (7/7). Ia mengatakan mengundurkan diri sebagai perdana menteri Inggris, mengikuti seruan dari rekan-rekan menteri dan anggota parlemen di Partai Konservatif. "Proses pemilihan pemimpin baru harus dimulai sekarang," kata Johnson di pintu Downing Street Nomor 10. "Dan hari ini saya telah menunjuk sebuah kabinet untuk menjalankan tugas sampai pemimpin baru menjabat," katanya. Berikut pernyataan lengkap atau pidato terkait pengunduran diri Johnson yang dibacakan di luar kediaman resminya di Downing Street yang disiarkan secara langsung oleh BBC: "Sekarang jelas keinginan Partai Konservatif parlemen bahwa harus ada pemimpin baru partai itu dan oleh karena itu perdana menteri baru, dan saya telah setuju dengan Sir Graham Brady, ketua anggota parlemen backbench kami, bahwa proses memilih pemimpin baru itu harus dimulai sekarang dan jadwalnya akan diumumkan minggu depan. Dan hari ini saya telah menunjuk sebuah kabinet untuk menjabat, seperti yang saya akan lakukan, sampai pemimpin baru itu ada. Jadi saya ingin mengatakan kepada jutaan orang yang memilih kami pada 2019, banyak dari mereka memilih Konservatif untuk pertama kalinya: Terima kasih atas mandat yang luar biasa itu, mayoritas Konservatif terbesar sejak 1987, bagian suara terbesar sejak 1979. Dan alasan saya telah berjuang begitu keras dalam beberapa hari terakhir untuk terus menyampaikan mandat itu secara pribadi bukan hanya karena saya ingin melakukannya, tetapi karena saya merasa itu adalah pekerjaan saya, tugas saya, kewajiban saya kepada Anda untuk melanjutkan apa yang kami janjikan di 2019. Dan tentu saja, saya sangat bangga dengan pencapaian pemerintah ini: dari menyelesaikan Brexit hingga menyelesaikan hubungan kita dengan benua selama lebih dari setengah abad. Merebut kembali kekuatan negara ini untuk membuat undang-undangnya sendiri di parlemen, membuat kita sepanjang pandemi, memberikan peluncuran vaksin tercepat di Eropa, jalan keluar tercepat dari penguncian, dan dalam beberapa bulan terakhir, memimpin Barat dalam menghadapi agresi Putin di Ukraina." Sebelumnya, pemerintahan Inggris nyaris bubar setelah lebih dari 50 menteri dan pejabat negara mengajukan pengunduran diri. Hal ini akibat skandal pelecehan seksual Chris Pincher yang tetap diangkat sebagai Deputy Chief Whip. Posisi ini sangat penting untuk mengatur kontribusi partai di parlemen. Johnson sempat berkukuh untuk melanjutkan pemerintahan. Namun demikian, posisi Johnson justru kian rapuh. Belum lama ini, dia menghadapi mosi tidak percaya di parlemen menyusul kandal 'partygate' yang menimpanya. Dalam mosi tidak percaya tersebut, Johnson berhasil 'lolos'. Namun, kepemimpinannya terus dipertanyakan. [Ode]
Berita Terkait