Dengan Amandemen UUD 1945, Jabatan Presiden 3 Periode Bisa Terwujud?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 7 September 2022 14:01 WIB
Jakarta, MI - Aktivis Hukum dan pendiri Komunitas Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta Timothy Ivan Triyono menilai wacana perpanjangan jabatan presiden jadi 3 periode bisa diwujudkan secara konstitusional dengan mendorong amendemen UUD 1945. Timothy menilai amendemen UUD 1945 bukanlah sesuatu yang haram untuk dilakukan, pasalnya masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa wacana presiden 3 periode itu bertentangan dengan konstitusi. “Masih banyak juga di luar sana yang menganggap bahwa amandemen atau perubahan Undang-Undang Dasar 1945 itu haram untuk dilakukan. Padahal kalau kita lihat praktiknya sejarah mencatat bahwa republik kita sudah melakukan 4 kali amendemen konstitusi Undang-Undang Dasar 1945,” ujar Timothy, Rabu (7/9). Timothy menambahkan, ia dan relawan pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Presiden Jokowi melanjutkan kepemimpinan selama lima tahun mendatang dengan tetap melalui proses tahapan pemilu yang diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, sebelum itu pihaknya meminta MPR untuk segera mengamendemen UUD 1945 khususnya pasal 7 terkait tentang periodisasi jabatan presiden. “Wacana presiden 3 periode itu baru bisa terwujud kalau konstitusi itu diamendemen, khususnya pasal 7 mengenai periodisasi jabatan presiden. Apakah, MPR berwenang melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Dasar? Tentu MPR berwenang. Dasar hukumnya Apa? Dasar hukumnya dapat kita lihat dalam pasal 3 ayat (1) sampai (3) Undang-Undang Dasar 45,” jelasnya. Timothy menyebutkan pembahasan tentang perubahan UUD dapat dilihat secara utuh pada pasal 37 UUD 1945. Pengajuan amendemen harus diajukan paling sedikit oleh 1/3 anggota MPR. “Terkait pengajuan usul perubahan Undang-Undang Dasar itu, dapat diagendakan oleh MPR dalam sidang majelis. Apabila usulan tersebut diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 anggota MPR. Yang artinya minimal sebanyak 237 anggota yang mengusulkan amendemen konstitusi,” bebernya. “Untuk mengubah pasal Undang-Undang Dasar tersebut MPR harus menyelenggarakan sidang majelis, dan sidang tersebut harus dihadiri sekurang-kurangnya minimal 2/3 dari jumlah anggota MPR. Atau setara dengan 474 anggota MPR. Ketika sidang itu sudah dilaksanakan dan hendak memutuskan, apakah perubahan, apakah amendemen terhadap konstitusi itu disetujui atau tidak. keputusan perubahan itu harus disetujui minimal 50%+1 atau sekitar 357 anggota MPR,” imbuh Timothy. Ia menegaskan dorongan untuk mengubah atau mengamendemen UUD bukanlah sesuatu yang melanggar hukum, khususnya desakan masyarakat yang ingin ada perubahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode. “Jadi, kalau di luar luar sana masih ada yang mengatakan bahwa perubahan terhadap konstitusi itu haram untuk dilakukan, bertentangan dengan hukum, bertentangan dengan konstitusi, rasanya mereka tidak pernah membaca. Perubahan konstitusi diperbolehkan oleh konstitusi itu sendiri,” pungkas Timothy.