Kritik Sistem Pemilu Tertutup, HNW: Rakyat Ibarat Beli Kucing Dalam Karung

Syamsul
Syamsul
Diperbarui 2 Januari 2023 15:17 WIB
Jakarta, MI- Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Hidayat Nur Wahid, mengkritik wacana Pemilu legislatif menggunakan sistem proporsional tertutup yang dihembuskan Ketua KPU RI baru-baru ini. Tak hanya ketua KPU RI, sistem proporsional tertutup juga tengah di Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh salah satu warga negara Indonesia. Tak hanya itu, HNW karib ia disapa memandang, wacana tersebut tak lebih sebagai pengabaian prinsip kedaulatan rakyat yang dengan jelas dan tegas termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Dan hal itu (sistem proporsional tertutup) bertolakbelakang dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya. "Sistem proporsional tertutup hanya dilaksanakan untuk memilih partai politik peserta Pemilu, sementara Rakyat yang oleh Konstitusi dinyatakan sebagai pemilik kedaulatan, tidak memilih nama caleg yang disukainya, tapi bak “memilih kucing dalam karung”," tandas HNW kepada wartawan, Senin (02/01/2023). HNW menegaskan, sistem pemilu tertutup belum relevan diterapkan di tengah budaya transparansi dan kaderisasi belum begitu mapan dijalankan partai politik pada umumnya. HNW juga berharap agar MK tidak mengabulkan permohonan JR terkait sistem proporsional tertutup. “Maka sewajarnya permohonan judicial review untuk kembali ke sistim pemilu proporsional tertutup ini tidak dikabulkan oleh MK, selain tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat yang diatur oleh UUD NRI 1945, juga agar MK konsisten dengan putusan yang sebelumnya dibuat oleh MK sendiri yaitu mengubah dari sistim proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka," tandasnya. Menurutnya, sistem proporsional terbuka yang akan diberlakukan dalam Pemilu sekarang dan yang sudah diberlakukan pada Pemilu tahun 2009,2014 dan 2019 merupakan opsi yang sesuai dengan ketentuan Konstitusi. "Yakni Rakyat sesuai ketentuan UUDNRI 1945 diberi hak bebas memilih nama-nama caleg untuk menjadi wakilnya di Parlemen, atau memilih (gambar) Partai yg oleh Konstitusi memang dinyatakan sebagai peserta Pemilu,” ujarnya. HNW menuturkan bahwa sejatinya pandangannya ini sejalan dengan putusan MK sebelumnya, yakni putusan No. 22—24/PUU-VI/2008 yang diputus menjelang Pemilu 2009. “Putusan ini yang menjadi salah satu acuan bagi pembentuk UU, dalam hal ini DPR dan Pemerintah, untuk menerapkan sistem pemilu terbuka pada pemilu-pemilu berikutnya,” jelasnya. Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa meski amar putusan tersebut bukan secara spesifik berbicara mengenai sistem pemilu terbuka atau tertutup, tetapi dalam pertimbangannya MK secara tegas mengarahkan kepada sistem pemilu terbuka karena sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat. “Pertimbang-pertimbangan itu merupakan ratio decidendi (pertimbangan yang mendasari amar putusan), yang sifatnya sama mengikatnya dengan amar putusan,” jelas HNW. HNW kembali menguraikan, MK menafsirkan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 sebagai kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, sehingga dalam berbagai kegiatan pemilu, rakyat langsung memilih siapa yang dipercayainya. “Besarnya suara pilihan rakyat menunjukkan tingginya legitimasi politik yang diperoleh oleh para calon legislatif, sebaliknya rendahnya perolehan suara juga menunjukkan rendahnya legitimasi politik calon yang bersangkutan,” jelas HNW mengutip putusan MK tersebut. Bahkan, lanjutnya, MK juga menafsirkan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang mengamatkan agar penyelenggaraan Pemilu lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat seluas-luasnya. Sehingga rakyat diposisikan sebagai subjek utama dalam prinsip kedulatan rakyat, bukan hanya ditempatkan sebagai objek oleh peserta Pemilu dalam mencapai kemenangan semata. “Argumentasi ini sangat jelas dalam pertimbangan MK di putusan tersebut,” ujarnya. HNW yang juga Wakil Ketua Majlis Syura PKS ini menambahkan bahwa MK malah secara tegas menyebutkan mengenai keunggulan sistem proporsional terbuka. “Dengan sistem proporsional terbuka, Rakyat secara bebas memilih dan menentukan calon anggota legislatif, yang mereka pilih untuk menjadi wakil mereka di Parlemen, maka akan lebih sederhana dan mudah ditentukan siapa yang berhak terpilih, yaitu calon yang memperoleh suara atau dukungan rakyat paling banyak,” demikian lanjut HNW kembali mengutip pertimbangan MK tersebut. “Putusan sebelumnya itu harusnya dipahami dan menjadi pegangan, karena sifat putusan MK adalah final dan mengikat, begitulah ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945. Maka Saya berharap para Pakar dan berbagai komponen masyarakat juga mengkritisi dan mengawasi perkara ini, bahkan bila perlu hadir di persidangan MK sebagai pihak terkait, agar MK tetap konsisten dengan putusannya, dan tidak dengan mudah mengubah keputusannya sendiri dan mundur ke belakang dengan memberlakukan kembali sistem tertutup. Karena sistem proporsional tertutup itu juga tidak sesuai dengan spirit Reformasi, ketentuan Konstitusi,dan akan merugikan kedualatan Rakyat, dan kwalitas demokrasi,” tukasnya. Namun, meski demikian, perbaikan terhadap sistem pemilu terbuka seperti yang berlaku saat ini hendaknya juga tetap bisa dibahas dan didiskusikan. Hal ini merujuk kepada ketentuan konstitusi bahwa peserta pemilu adalah partai politik (Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945) tetapi pemilihan berdasarkan kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945). “Jadi, demi keadilan, seharusnya dua ketentuan Konstitusi ini bisa diakomodasi dan dikombinasikan," ujarnya. Karena memang bisa terjadi, di suatu Dapil, ternyata Rakyat sesuai kedaulatan yang dimiliki malah mayoritasnya memilih/mencoblos gambar Parpol, bukan nama Caleg, sehingga suara untuk parpol di dapil itu lebih banyak di atas suara untuk para calegnya. Maka bila ini terjadi, kata dia, sewajarnya bila dipertimbangkan parpol yang di suatu Dapil mendapat suara pilihan Rakyat lebih banyak dari suara para caleg, agar Parpol yang memperoleh suara terbanyak dari Rakyat di dapil itu, diberikan kewenangan untuk menentukan aleg terpilih dari para caleg di dapil terkait. Tidak seperti dalam Pemilu 2014 dan 2019 di mana suara pilihan Rakyat untuk Parpol sekalipun mayoritas/lebih banyak dari suara untuk para Caleg, tetap saja suara untuk Partai itu diberikan kepada caleg sekalipun suara Caleg lebih sedikit dibanding suara untuk Parpol. "Tapi dalam keadaan pengecualian seperti ini, tetap saja Parpol tidak diberi “cek kosong”, hendaknya tetap ada pengaturan, pilihan Parpol tersebut tetap yang sesuai dengan semangat reformasi dan demokrasi yang berkualitas agar hadir hasil Pemilu yang lebih baik,” pungkasnya.
Berita Terkait