Bawaslu Dukung KPU Banding Putusan PN Jakpus

Akbar Budi Prasetia
Akbar Budi Prasetia
Diperbarui 3 Maret 2023 23:09 WIB
Jakarta, MI - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mendukung penuh langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI yang akan banding putusan PN Jakarta Pusat yang mengabulkan gugatan Partai Prima. "Kami mendukung dan mendorong KPU untuk banding karena ada amat putusan menunda Pemilu," kata Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja saat dihubungi wartawan di Jakarta, Jumat (3/3). Rahmat Bagja menyatakan bahwa Bawaslu tetap berpegang teguh pada Undang-Undang Dasar 1945 dan konstitusi untuk melaksanakan Pemilu setiap 5 lima tahun sekali. Kata Rahmat Bagja, Bawaslu tidak pernah membahas penundaan Pemilu. Sebab, sebagai lembaga yang mengawasi jalannya pesta demokrasi, Bawaslu tunduk terhadap Undang-Undang. "Tidak ada wacana penundaan di Bawaslu," tegasnya. Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI berencana akan melakukan banding terhadap putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang menghukum lembaga pimpinan Hasyim Asyari itu untuk menunda Pemilu. “Kita banding,” kata Ketua KPU RI, Hasyim Asyari kepada Monitor Indonesia, Kamis (2/3). Sementara itu, Deputi Strategi dan Kebijakan DPP Partai Demokrat, Yan Harahap, menilai, wewenang Mahkamah Konstitusi diamputasi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat (Jakpus) karena perintahkan KPU RI untuk menunda Pemilu. "Entah mengapa, hukum sering jungkir balik di era sekarang. Pada kasus ini terlihat wewenang Mahkamah Konstitusi diamputasi oleh Pengadilan Negeri," kata Yan Harahap kepada Monitor Indonesia, Jumat (3/3). Yan Harahap merasa aneh dengan putusan yang dikeluarkan PN Jakarta Pusat. Padahal, kata Yan,  PN Jakarta tidak memiliki wewenang untuk perintahkan KPU RI menunda pesta demokrasi di 2024. "Menjatuhkan suatu vonis yang dalam UU jelas-jelas bukan kompetensi absolut-nya, dan memutuskan sesuatu di luar wewenangnya," ujarnya. Yan Harahap menjelaskan, sengketa proses Pemilu merupakan wewenang dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negera (PTUN). "Seharusnya hakim PN itu sudah mengerti bahwa sengketa terkait proses Pemilu adalah kewenangan Bawaslu dan PTUN. Sedangkan sengketa tentang hasil pemilu merupakan kewenangan MK," terangnya. Oleh karena itu, Yan Harahap meminta agar Komisi Yudisial mengevaluasi hakim yang memerintahkan KPU RI untuk menunda Pemilu. Bahkan, jika memang hakim tersebut tidak kompeten layak dicopot. "Jadi menurut saya, para hakimnya perlu dievaluasi. Layak dicopot bila memang tak kompeten," tandasnya. Isu penundaan Pemilu ini pertama kali muncul ketika gugatan Partai Prima terhadap KPU RI dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst dikabulkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. PN Jakarta Pusat menghukum KPU RI untuk tunda Pemilu serentak 2024. Diketahui, gugatan itu dilayangkan Partai Prima ke PN Jakarta Pusat pada 8 Desember 2022 dan ketuk palu pada Kamis, 2 Maret 2023. “Menerima gugatan penggugat untuk seluruh,” bunyi amar putusan yang dikutip Monitor Indonesia dari laman resmi Mahkamah Agung, Kamis (2/3). Dalam putusan itu juga disebutkan bahwa Partai Prima selaku partai politik telah dirugikan oleh KPU pada saat mengikuti verifikasi administrasi. “Menyatakan penggugat adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat,” bunyi amat putusan itu. PN Jakarta Pusat juga menilai bahwa KPU selaku tergugat melakukan perbuatan melawan hukum. Dan, KPU dihukum untuk membayar ganti rugi berupa materiil ke Partai Prima. “Menyatakan tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Menghukum tergugat membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) kepada penggugat,” bunyi amar putusan. Tidak hanya itu saja, PN Jakarta Pusat juga menghukum KPU RI untuk tunda Pemilu serentak 2024 sejak putusan ini dibacakan. “Menghukum tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari,” bunyi amar putusan tersebut. “Menyatakan putusan perkara ini dapat dijalankan terlebih dahulu secara serta merta (uitvoerbaar bij voorraad). Menetapkan biaya perkara dibebankan kepada tergugat sebesar Rp 410.000.000 (empar ratus sepuluh juta rupiah,” demikin bunyi amar putusannya. PN Jakarta Pusat juga menolak eksepsi dari KPU RI selaku tergugat. “Menolak eksepsi tergugat tentang gugatan penggugat kabur/tidak jelas (Obscuur Liberl,” bunyi amat putusan dalam eksepsi. “Mengadili, menolak eksepsi tergugat tentang gugatan penggugat kabur/tidak jelas (Obscuur Libel),” bunyi amar putusan dalam eksepsi.