Joko Widodo Kena Tegur

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 3 Februari 2024 14:32 WIB
Massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat membawa poster berunjuk rasa anti pemilu curang di depan Gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (10/1).
Massa yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat membawa poster berunjuk rasa anti pemilu curang di depan Gedung Bawaslu, Jakarta, Rabu (10/1).

Jakarta, MI - Presiden Joko Widodo atau Jokowi kena tegur dan peringatkan keras oleh sejumlah civitas akademika lantaran tindakannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan disebut sudah tidak bisa lagi ditolerir.

Dalam beberapa hari terakhir ini, setidaknya ada lima civitas akademika menyampaikan kegelisahan dan keresahan atas situasi politik yang berlangsung jelang Pemilu 2024. Mereka menyebut Presiden Jokowi telah menyimpang dari koridor demokrasi dan menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan politik praktis.

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/52609934-48f5-4a32-a539-fbd293dfd83c.jpg

Civitas akademika Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi yang pertama menyuarakan petisi kepada Presiden Jokowi pada Rabu (31/01) lalu.

Melalui petisi yang dinamai Petisi Bulaksumur, mereka meminta Presiden Jokowi dan jajarannya untuk kembali ke koridor demokrasi. Pasalnya di masa pemerintahan Jokowi telah terjadi pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi, dugaan keterlibatan aparat hukum dalam proses demokrasi, serta keberpihakan pada calon tertentu.

"Kami menyesalkan tindakan-tindakan menyimpang yang justru terjadi dalam masa pemerintahan Presiden Joko Widodo yang juga merupakan bagian dari keluarga besar UGM," ujar Guru Besar UGM, Prof Koentjoro.

Menurut mereka, Presiden Jokowi sebagai alumni mestinya berpegang pada jati diri UGM yang menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Bukan malah menunjukkan bentuk penyimpangan pada prinsip dan moral demokrasi, kerakyatan, dan keadilan sosial.

https://static.promediateknologi.id/crop/0x0:0x0/0x0/webp/photo/p2/65/2024/01/31/20240131_GunturAga_Petisi-Demokrasi-UGM-2-4240184882.jpg

Karena itulah, kata Prof Koentjoro, melalui petisi ini sivitas akademika UGM mendesak dan menuntut aparat penegak hukum dan semua pejabat negara serta aktor politik yang berdiri di belakang Presiden Jokowi – termasuk presiden – untuk mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.

Mereka juga mendesak DPR dan MPR mengambil sikap juga langkah konkret menyikapi berbagai gejolak politik yang sebutnya terjadi pada pesta demokrasi elektoral. "Demi memastikan tegaknya kedaulatan rakyat berlangsung dengan baik, lebih berkualitas, dan bermartabat," demikian Prof Koentjoro membacakan petisi.

Pada hari Kamis (1/2), Civitas Akademika Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta menyatakan sikap berjudul Indonesia Darurat Kenegarawanan. Rektor UII Joga, Prof Fathul Wahid yang membacakan pernyataan sikap itu mendesak Presiden Jokowi untuk kembali menjadi teladan dalam etika dan praktik kenegarawanan dengan tidak memanfaatkan institusi kepresidenan untuk memenuhi kepentingan politik keluarga.

"Melalui keberpihakan pada salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden," sebutnya.

https://cms.westjavatoday.com/uploads/images/2024/02/image_750x_65bc5147e86e4.jpg

Presiden, katanya, harus bersikap netral, adil, dan menjadi pemimpin bagi semua kelompok dan golongan. "Bukan untuk sebagian kelompok," tegasnya.

Untuk itulah, mereka menuntut Presiden Jokowi bersama aparatur pemerintahan berhenti menyalahgunakan kekuasaan dengan tidak mengerahkan dan tidak memanfaatkan sumber daya negara demi kepentingan politik praktis. "Termasuk salah satunya dengan tidak melakukan politisasi dan personalisasi bantuan sosial," ungkapnya.

Kepada lembaga legislatif yakni DPR, Civitas Akademika UII juga meminta agar melakukan fungsi pengawasan, yaitu memastikan pemerintahan berjalan sesuai koridor dan hukum. "Serta tidak membajak demokrasi yang mengabaikan kepentingan bangsa dan negara," tegasnya.

Kemudian mendorong capres, cawapres, para menteri dan kepala daerah yang menjadi tim sukses untuk mengundurkan diri dari jabatannya agar menghindari konflik kepentingan.

Selanjutnya, pada Jum'at (2/1) kemarin, Civitas Akademika Universitas Indonesia (UI) menilai saat ini etika bernengara sudah hilang. Ketua Dewan Guru Besar UI, Harkristuti Harkrisnowo, mengatakan lima tahun terakhir, utamanya menjelang Pemilu 2024, para sivitas terpanggil untuk 'menabuh genderang' demi memulihkan demokrasi negeri yang terkoyak.

Pasalnya kata dia, Indonesia nampak kehilangan kemudi akibat kecurangan dalam perebutan kuasa, keserakahan atas nama pembangunan tanpa naskah akademik berbasis data, dan kendali nafsu keserakahan.

https://images.hukumonline.com/frontend/lt65bccde4e9fcd/lt65bccf6f28053.jpg

"Kami resah sekaligus geram atas sikap dan tindak para pejabat, elit politik dan hukum yang mengingkari sumpah jabatan mereka untuk menumpuk harta pribadi. Menumpuk kekuasaan, membiarkan negara tanpa kelola dan digerus korupsi yang memuncak jelang pemilu," ungkapnya.

Itu mengapa, sambungnya, berdasarkan roh kebebasan akademik yang dipunya, sivitas akademika UI mengajak masyarakat dan para alumni UI untuk merapatkan barisan. "Pertama mengutuk segala bentuk tindakan yang menindas kebebasan berekspresi, menuntut hak politik rakyat dalam pemilu dijalankan tanpa intimidasi, ketakutan, berlangsung secara jujur dan adil," cetusnya.

Kemudian mereka menunut semua Aparatur Sipil Negara (ASN), pejabat pemerintah, TNI-Polri bebas dari paksaan untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Serta menyerukan agar semua perguruan tinggi di Indonesia mengawasi dan mengawal secara ketat pelaksanaan pemilu dan penghitungannya di wilayah masing-masing.

Selain itu, Civitas Akademika Universitas Andalas (Unand) Sumatra Barat, mengeluarkan manifesto untuk penyelamatan bangsa. Penggagas aliansi, Hary Effendi Iskandar, berkata tujuan dari manifesto ini sebagai bentuk keprihatinan terhadap kondisi bangsa yang disebutnya "sedang tidak baik-baik saja".

https://media.kompas.tv/library/image/content_article/article_img/20240202123358.jpg

Hal itu terlihat dari adanya praktik politik dinasti dan pelemahan institusi demokrasi yakni Mahkamah Konstitusi. Karenanya sivitas akademika Unand, menyatakan menolak segala bentuk praktik politik dinasti dan segala bentuk praktik kecurangan pemilu.

Lalu menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu menegakkan aturan netalitas dalam pemilu serta menjalankan tugas sesuai amanah reformasi. "Mengajak masyarakat bersikap kritis dan menolak politisasi bantuan sosial untuk kepentingan politik dari kelompok tertentu dalam politik elektoral," ungkapnya.

Lalu, ada Civitas Akademika Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan meminta Presiden Jokowi jangan kelewat batas. Di depan gedung rektorat Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan, sejumlah Guru Besar hadir dan membacakan deklarasi berjudul 'Unhas Bergerak untuk Demokrasi'.

Guru Besar Unhas, Prof Triyatni Martosenjoyo, menyebut setidaknya ada tiga poin yang ingin disampaikan. Mulai dari mengingatkan Presiden Jokowi dan semua pejabat negara, aparat hukum dan aktor politik yang berada di pemerintahan agar tetap berada pada koridor demokrasi.

https://rakyatsulsel.fajar.co.id/wp-content/uploads/2024/02/IMG-20240202-WA0145-1.jpg

Serta mengedepankan nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial, rasa nyaman dalam demokrasi. Mereka juga meminta KPU, Bawaslu, dan DKPP selaku penyelenggara pemilu untuk bekerja profesional dan independen, transparan, adil, jujur, dan tidak berpihak.

Istana Buka Suara

Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana, mengatakan dalam negara demokrasi, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, seruan, petisi maupun kritik harus dihormati. Pada Kamis (1/2) Presiden Jokowi telah menegaskan freedom of speech adalah hak demokrasi.

"Kritikan juga adalah vitamin untuk terus melakukan perbaikan pada kualitas demokrasi di negara kita," katanya. 

Demikian pula perbedaan pendapat, perbedaan perspektif, perbedaan pilihan politik adalah sesuatu yg sangat wajar dalam demokrasi, jelasnya. Apalagi di tahun politik, jelang pemilu, pertarungan opini pasti terjadi.

https://monitorindonesia.com/storage/news/image/70580ab0-52fc-4d00-a5b3-7ebd26c22688.jpg

Tetapi, akhir-akhir ini terlihat ada upaya yang sengaja mengorkestrasi narasi politik tertentu untuk kepentingan elektoral," katanya.

Strategi politik partisan seperti itu sah-sah saja dalam ruang kontestasi politik. Namun ada baiknya, kotestasi politik, termasuk dalam pertarungan opini, dibangun dalam kultur dialog yang substantif dan perdebatan yang sehat. Ari pun menambahkan bahwa presiden tetap berkomitmen untuk melaksanakan prinsip-prinsip demokrasi sesuai nilai-nilai Pancasila dan koridor konstitusi. (wan)