Sutradara hingga Bintang Film Dirty Vote Dilaporkan ke Bareskrim

Reina Laura
Reina Laura
Diperbarui 13 Februari 2024 17:05 WIB
Para bintang film Dirty Vote, Zainal Arifin Muhtar (kiri), Feri Amsari (tengah), dan Bivitri Susantri (kanan). [Foto: Tangkapan layar/@DirtyVote]
Para bintang film Dirty Vote, Zainal Arifin Muhtar (kiri), Feri Amsari (tengah), dan Bivitri Susantri (kanan). [Foto: Tangkapan layar/@DirtyVote]

Jakarta, MI - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Forum Komunikasi Santri Indonesia (FOKSI) melaporkan, sutradara hingga bintang film dokumenter Dirty Vote, ke Bareskrim Polri, Selasa (13/2).

Mereka adalah Dandhy Dwi Laksono (sutradara), 3 ahli hukum tata negara yang jadi bintang film Dirty Vote, yakni Feri Amsari, Zainal Arifin Muhtar, dan Bivitri Susantri. 

Ketua Umum Foksi, M Natsir Sahib mengatakan bahwa film dokumenter ‘Dirty Vote’ telah membuat kegaduhan di masa tenang pemilu, dan menyudutkan salah satu pasangan capres-cawapres.

"Dalam hal ini, kami berkonsultasi dengan pihak Bareskrim Mabes Polri untuk melaporkan dugaan pelangaran Pemilu yang dilakukan oleh 3 akademisi yakni Feri Amsari, Zainal Arifin Muhtar, Bivitri Susantri serta Dandhy Laksono selaku Sutradara Dirty Vote,” kata Natsir kepada wartawan, Selasa (13/2).

Natsir menilai, ada unsur politis dalam film tersebut, karena ketiga ahli hukum tata negara yang tampil dalam Dirty Vote, merupakan bagian dari tim reformasi hukum era mantan Menko Polhukam Mahfud MD, yang kini jadi calon wakil presiden (cawapres) Ganjar Pranowo.

"Kami menilai para akademisi tersebut telah menghancurkan tatanan demokrasi dengan memenuhi unsur niat permufakatan jahat membuat isu yang tidak dapat dipertanggungjawabkan," jelasnya.

"Sehingga munculnya gejolak di masyarakat dengan fitnah dan data palsu yang disebar ke masyarakat. Ini daya rusaknya luar biasa di tengah masyarakat," tambahnya.

Natsir juga mempermasalahkan waktu penayangan film tersebut, di masa tenang pemilu. Ia menilai, film itu bertujuan untuk membuat kegaduhan dan menyudutkan salah satu capres, yang bertentangan dengan UU Pemilu yang mengatur tentang masa tenang.

“Karena dengan waktu di masa tenang pemilu memunculkan sebuah film dokumenter tentang kecurangan pemilu yang bertujuan untuk membuat kegaduhan dan menyudutkan salah satu capres yang bertentangan dengan UU Pemilu yang mengatur tentang masa tenang,” ujarnya.

Seperti diketahui, film dokumenter “Dirty Vote” pada Minggu siang dirilis oleh rumah produksi WatchDoc, di platform YouTube. 

Film tersebut menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.

Tiga pakar itu secara bergantian dan bersama-sama, menjelaskan rentetan peristiwa yang diyakini bagian dari kecurangan pemilu.

Dalam beberapa bagian, ketiga pakar juga mengkritik Bawaslu yang dinilai tidak tegas dalam menjatuhkan sanksi, terhadap pelanggaran pemilu. Alhasil menurut mereka, tidak ada efek jera sehingga pelanggaran pemilu cenderung terjadi berulang.

Sutradara “Dirty Vote” Dandhy Dwi Laksono menyebut film itu sebagai bentuk edukasi, untuk masyarakat terutama beberapa hari sebelum mereka menggunakan hak pilihnya saat pemungutan suara pada 14 Februari 2024.

“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tetapi hari ini saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,“ kata Dandhy.