Hasyim Asy'ari Tamat Gegara Syahwat, Formappi: Bagaimana Pemilunya Berintegritas jika Penyelenggaranya Doyan Asusila?

Firmansyah Nugroho
Firmansyah Nugroho
Diperbarui 3 Juli 2024 20:01 WIB
Lucuis Karus (Foto: Dok MI/Aswan)
Lucuis Karus (Foto: Dok MI/Aswan)

Jakarta, MI - Keputusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memberhentikan Hasyim Asy'ari dari jabatannya sebagai Ketua dan anggota KPU RI tentu saja pantas diapresiasi. 

Apresiasi itu tentu setelah melihat kasus etik yang dihadapi oleh Hasyim memang bukan kasus receh. DKPP mengonfirmasi perbuatan asusila dilakukan Hasyim. Apalagi kasus yang baru diputuskan DKPP ini bukan kasus pertama untuk Hasyim. Ini kasus kedua. 

Dan sangat mungkin kasus kedua ini terjadi karena Hasyim merasa sanksi etik pada kasusnya yang pertama begitu ringan sehingga leluasa mengulangi lagi perbuatan serupa. 

"Itulah kenapa kami agak kecewa dengan putusan DKPP pada kasus asusila pertama yang dihadapi Hasyim. Ia hanya mendapat sanksi teguran. Sanksi teguran terlalu remeh untuk memicu efek jera pada pelaku. Jadi ya ngga heran muncul lagi kasus serupa untuk kedua kalinya," kata peneliti Formappi, Lucius Karus kepada Monitorindonesia.com, Rabu (3/7/2024).

"Jadi saya kira ini jadi penting bagi DKPP agar tak segan-segan memberikan sanksi bagi penyelenggara pemilu," tambahnya.

Menurut Lucius, etika penyelenggara itu jadi sangat mendasar untuk memastikan lembaga penyelenggara berwibawa dan berintegritas. "Kalau mau pemilunya berintegritas, ya penyelenggaranya harus lebih dulu berintegritas lah. Bagaimana mau pemilunya berintegritas jika penyelenggaranya suka berbuat asusila?" tutupnya.

Sebelumnya, DKPP memutuskan dan menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap terhadap Hasyim Asy'ari, Rabu (3/7/2024). 

Sanksi tersebut diberikan karena Hasyim terbukti melakukan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP) atas perbuatannya melakukan tindakan asusila terhadap seorang perempuan anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Den Haag, Belanda. 

Ketua DKPP, Heddy Lugito, menegaskan, seluruh dalil aduan yang disampaikan pengadu atau korban dikabulkan seluruhnya.

“Menjatuhkan sanksi pemberhentian tetap kepada teradu Hasyim Asy'ari selaku ketua merangkap anggota komisioner KPU terhitung sejak putusan ini dibacakan,” ujar Heddy dalam sidang, Rabu (3/7/2024).

Dalam putusannya, Heddy juga meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melaksanakan putusan DKPP paling lambat tujuh hari sejak putusan dibacakan. 

Adapun dalam kasus pelanggaran etik ini, Hasyim dituduh menggunakan relasi kuasa untuk mendekati, membina hubungan romantis, dan berbuat asusila terhadap pengadu, termasuk di dalamnya menggunakan fasilitas jabatan sebagai Ketua KPU RI. 

“Cerita pertama kali ketemu itu pada Agustus 2023. Itu juga  sebenarnya dalam konteks kunjungan dinas. Itu pertama kali bertemu, hingga terakhir kali peristiwa terjadi pada Maret 2024," kata kuasa hukum korban sekaligus pengadu, Maria Dianita Prosperiani, saat mengadu ke DKPP, 18 April 2024. 

Keduanya disebut beberapa kali bertemu, baik saat Hasyim melakukan kunjungan dinas ke Eropa maupun sebaliknya saat korban kunjungan dinas ke Indonesia.

Kuasa hukum lainnya, Aristo Pangaribuan, menyebut bahwa dalam keadaan keduanya terpisah jarak, terdapat upaya aktif dari Hasyim "secara terus-menerus" untuk menjangkau korban. "Hubungan romantis, merayu, mendekati untuk nafsu pribadinya," kata Aristo. 

Namun, menurut dia, tidak ada intimidasi ataupun ancaman dalam dugaan pemanfaatan relasi kuasa yang disebut dilakukan Hasyim. Pengacara juga enggan menjawab secara tegas apakah "perbuatan asusila" yang dimaksud juga mencakup pelecehan seksual atau tidak.