Mantan Ketua KPU RI: Kalau Pemilu 2024 Dinilai, Maka Hasilnya Itu Sangat Tidak Demokratis

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 19 April 2024 17:17 WIB
Ketua KPU Hasyim Asy'ari (kanan) menjabat tangan mantan Ketua KPU masa jabatan 2004-2007 Ramlan Surbakti (kiri) (Foto: ANTARA)
Ketua KPU Hasyim Asy'ari (kanan) menjabat tangan mantan Ketua KPU masa jabatan 2004-2007 Ramlan Surbakti (kiri) (Foto: ANTARA)

Jakarta, MI - Mantan Ketua KPU RI periode 2004-2007 Ramlan Surbakti mengatakan bahwa penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) tidak bisa dinilai hanya dari hasil akhirnya saja karena bisa bertentangan dengan hakekat pemilu sebagai salah satu unsur demokrasi.

Dia mengatakan bahwa pemilu melibatkan jutaan orang warga negara dan menghabiskan anggaran yang besar, sehingga pemilu tidak bisa dinilai dari hasilnya saja, melainkan juga prosesnya.

"Dibandingkan perang, mungkin pemilu lebih banyak pengorganisasiannya," kata Ramlan saat berdiskusi dalam kegiatan Sidang Pendapat Rakyat Untuk Keadilan Pemilu di Jakarta, Jumat (19/4/2024). 

Ramlan yang juga merupakan Guru Besar Universitas Airlangga itu mengatakan ada delapan parameter yang bisa digunakan untuk menilai suatu penyelenggaraan pemilu di sebuah negara.

Delapan parameter itu, kata dia, meliputi unsur hukum pemilu dalam berdemokrasi, persaingan bebas yang adil, penyelenggara memiliki profesionalitas dan berintegritas, partisipasi pemilih yang tidak hanya mencoblos.

Selain itu, pemungutan hingga rekapitulasi suara yang berintegritas, penegakan hukum dan penyelesaian sengketa pemilu yang tepat waktu, hingga semua orang perlu terlibat dalam penyelenggaraan pemilu.

"Parameter ini menurut saya sangat ideal, itu yang saya pikir dalam menyusun ini," katanya.

Namun untuk menilai Pemilu 2024 menggunakan parameter itu, menurutnya waktu sudah tidak memadai, sehingga dia pun memiliki alternatif lain untuk menilai penyelenggaraan pemilu, yakni dengan menilai potensi dugaan manipulasi hukum pemilu, manipulasi pilihan pemilu, dan manipulasi hasil pemilu.

Menurutnya, penyelenggaraan pemilu bisa diadakan karena adanya sistem demokrasi perwakilan. Jika penyelenggaraan pemilu hanya dianggap sebagai kalkulator, menurutnya hal tersebut bisa mengingkari keterlibatan seluruh unsur bangsa yang terlibat.

"Anggaran sangat besar, maka kalau Pemilu 2024 dinilai dari hasilnya itu sangat tidak demokratis dan adil," kata dia.