Soroti Penggeledahan Kantor Pertamina soal Proyek Rp 1,7 Triliun, DPR ke Kejagung: Apakah Itu Betul? Kenapa Diam-diam?

Adelio Pratama
Adelio Pratama
Diperbarui 25 November 2024 14:42 WIB
Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan (Foto: Dok MI/Pribadi)
Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan (Foto: Dok MI/Pribadi)

Jakarta, MI - Dalam rapat dengar pendapat (RDP) pada Selasa (12/11/2024) lalu, Anggota Komisi III DPR RI, Hinca Panjaitan, mencecar Jaksa Agung ST Burhanuddin soal informasi adanya penggeledahan kantor PT Pertamina (Persero). 

Bahkan Hinca mengaku mendapat informasi ada penyitaan dari proyek sebesar Rp1,7 triliun.

Adapun Tim penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) dikabarkan mendatangi ruang pimpinan Gedung PT Pertamina Patra Niaga di Kuningan, Jakarta Selatan Kamis pada 31 Oktober 2024 pagi hari. Kabar yang didapatkan Monitorindonesia.com, bahwa mereka mendatangi anak perusahaan PR Pertamina (Persero) dan didampingi sejumlah anggota TNI.

"Menurut saya Pertamina ini seperti kapal Titanic yang besar sekali tapi oleng dengan beban yang sangat berat. Dia punya anak perusahaan sampai cucu dan cicit lebih dari 200 perusahaan dan tiba-tiba tanggal 1 November yang lalu mohon klarifikasi ini ada penyergapan dari Kejaksaan Agung ke Pertamina, apakah betul 1,7 triliun? Karena setelah itu senyap-senyap hilang, nah Kapuspenkum bilang belum tahu, berita ada, baik diberita online bahkan di berita berbahasa Inggris. Apakah itu betul? kenapa diam-diam?" tanya Hinca dikutip pada Senin (25/11/2024).

Kendati, Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar, sebelumnya membantah adanya penggeledahan di Gedung Pertamina. "Kejagung hanya meminta data dan dokumen," kata Fadjar.

Sementara, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar, menampik adanya penggeledahan tersebut. "Kami belum dapat info. Kami harus memastikan informasi ini terlebih dahulu," kata Harli. 

Berdasarkan informasi sumber Monitorindonesia.com, bahwa kehadiran Kejagung di Gedung Pertamina bertujuan mencari data dan dokumen terkait pengelolaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan minyak mentah. "Ada informasi bahwa pencarian ini terkait PT Kilang Pertamina Indonesia dengan investasi sebesar USD 15 miliar," kata sumber terpercaya tersebut.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Penghitungan Kerugian Negara (PKN) terkait pengadaan Liquefied Natural Gas (LNG) Corpus Christi oleh PT Pertamina, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan indikasi penyimpangan yang mengakibatkan kerugian negara sebesar USD 113,839,186.60.

Selain itu, LHP terkait Kegiatan Investasi melalui akuisisi perusahaan Maurel & Prom (M&P) oleh Pertamina Internasional Eksplorasi dan Produksi (PIEP) tahun 2012 hingga 2020 menunjukkan indikasi kerugian keuangan negara setidaknya sebesar USD 60 juta.

Penyerahan LHP ini dilakukan langsung oleh Wakil Ketua BPK, Hendra Susanto, kepada Ketua KPK, Nawawi Pomolango. Hendra Susanto berharap kedua LHP PKN tersebut dapat mendukung proses penuntutan dan peradilan, serta LHP terkait investigasi dapat mengarahkan kasus ke tahap penyidikan lebih lanjut.

Acara ini juga dihadiri oleh Ketua BPK Isma Yatun, Anggota BPK Nyoman Adhi Suryadnyana, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, serta Tortama Investigasi BPK dan Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK.

Menurut Peraturan BPK Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pemeriksaan Investigatif, Penghitungan Kerugian Negara/Daerah (PKN/D), dan Pemberian Keterangan Ahli (PKA), BPK melaksanakan pemeriksaan investigatif untuk mengungkap indikasi kerugian negara dalam pengelolaan keuangan negara, serta melakukan PKN dalam proses penyidikan pidana oleh instansi berwenang.

Kembali ke RDP Komisi III DPR dengan Kejaksaan Agung. Bahwa dalam kesempatan itu, Hinca juga mengkritik kebocoran yang terjadi di Pertamina dan tidak ditindak oleh Kejagung.  “Hari ini menghabiskan membelanjakan kita Rp145,8 triliun, tapi menurut menteri ESDM ini sudah Rp450 triliun. Bocornya besar sekali,” katanya.

Hinca juga mengkritik Kejagung karena selama ini sudah seperti konsultan legalnya Pertamina. Menurut Hinca, Kejagung tidak melakukan penindakan sekali pun terhadap Pertamina, meskipun diduga banyak persoalan.

“Kenapa, karena itu masuk proyek strategis nasional, baru masuk ke proyek PPS. Pendampingan proyek strtegis. Ini jadi soal. Kritik saya, jangan buat jaksa aktif menjadi bagian legalnya Pertamina. Untuk apa itu. Tarik itu semua. Anggarannya sudah ada. Masih banyak yang profesional untuk itu,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Hinca juga menyatakan bahwa, Kejari Jakarta Pusat telah mengirim surat kepada Direktur Utama PT Pertamina (Nicke Widyawati) soal dugaan perbuatan melawan hukum (PMH). Monitorindonesia.com telah berupaya mengonfirmasi hal ini ini kepada Kajari Jakarta Pusat, namun hingga saat ini belum memberikan respons.

"Telah ditemukan tiga perbuatan melawan hukum di situ. Silakan di audit, apa yang terjadi? Saya bawa dokumennya ke Kejati Riau, saya sampaikan itu, itu dianggap enteng itu sama Kajati Riau. Tidak berani menerima laporan saya," jelas Hinca.

Pun, dalam kesempatan itu Hinca menyoroti cucu perusahaan Pertamina, yakni Pertamina Hulu Rokan (PHR). "Saya mulai lagi ke Pertamina Hulu Rokan (PHR) target kita kalau secara nasional 1 juta barel per hari nanti 2030, sampai hari ini, baru turun, turun, turun sampai 600," jelasnya.

Presiden Jokowi, lanjut dia, datang ke Riau (Rokan) meminta 210.000 ribu barel per hari hanya mampu sekitar 162.000 ribu per barel. "Kenapa begitu? bagi saya target yang tidak tercapai harusnya bagi penyidik adalah dugaan terjadi penyalahgunaan wewenang di sini harus begitu baru kita masuk, nah tapi karena ini sudah masuk ke program PPS menjadi enggak bisa masuk, hati-hati di situ Pak," beber Hinca.

"Nah mari kita lihat setiap kali mau mengebor itu ring, rig-nya ini hampir 86 di sana, sisa-sisa dari cepron bapak selidikin ini Pak, besar sekali uang di situ pengadaannya itu baik rig yang lama maupun yang baru enggak jalan itu macet dan batu-batuk, siapa yang bermain di balik ini," tambahnya.

Sebelum rig mengebor, ungkap Hinca, perlu ada bak kontrol untuk membuat menampungnya namanya geomembran. "Plastic geomembran zamannya cepron cukup PLP saja supaya dapat uang besar dibikin kontraknya jadi 3 tahun Rp 209 miliar, cincai lagi di situ oke terjadi persoalan di situ," katanya. 

Nah adakah persoalannya? Ada! Kajari Jakarta Pusat, kata dia lagi, telah mengirim surat kepada Dirut PT Pertamina telah ditemukan tiga perbuatan melawan hukum. 

"Di situ silakan di audit apa yang terjadi di situ. Oleh Direktur PPS-nya dihentikan perkara ini, tarik itu kasus. Saya sudah laporkan kepada bapak-bapak semua di sana. Tidak ditemukan itu, saya bawa dokumen ke Kajati Riau, saya sampaikan gitu itu dianggap enteng itu sama Kajati Riau, tidak berani menerima laporan saya," jelasnya.

"Setelah itu saya serahkan seluruh dokumennya dalam seminggu tidak terbukti, kenapa tidak terbukti karena direktur PPS langsung mengatakan cepat-cepat kita bikin ini untuk geomembrane ini masuk PPS, pasang plang "Jangan Ganggu Aku" ini kah cara kerja kita?," imbuh Hinca.

Selengkapnya di sini

Topik:

Pertamina Kejagung DPR Pertamina Hulu Rokan