Revisi UU Penyiaran Masih Menjadi Polemik, Komisi I Beberkan Alasannya

Dhanis Iswara
Dhanis Iswara
Diperbarui 14 Mei 2024 12:56 WIB
Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin (Foto: Ist)
Anggota Komisi I DPR RI, TB Hasanuddin (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Anggota Komisi I DPR RI TB Hasanuddin, mengatakan alasan sejumlah pasal dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran yang menjadi polemik karena adanya saran agar dapat dikontrol oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). 

"Alasannya karena kalau investigasi jurnalistik itu misalnya ada yang beririsan dengan materi penyidikan yang sedang dilaksakan oleh aparat penegak hukum, maka sebaiknya itu sedikit penyeimbang. Lalu, bagaimana materinya? Ya diatur dalam aturan KPI," ujarnya di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (14/5/2024). 

Hasanuddin mengatakan, jika produk penyiaran dibawahi langsung oleh KPI. Untuk itu adanya saran tersebut dalam draf RUU Penyiaran. 

"Kalau KPI itu khusus untuk penyiaran, tapi kalau produk jurnalis yang umumnya, tulisan dan lain sebagainya itu ke Dewan Pers. Saya kira ya dikoordinasikan saja arah tugas KPI dengan tugas Dewan Pers," katanya. 

Hasanuddin sendiri mengaku, bahwa dirinya tak sepakat dengan adanya pembatasan jurnalistik seperti yang tertuang dalam draf Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. 

"Saya sendiri setuju tidak usah ada pembatasan. Biarkanlah masyarakat yang mengontrol, tetapi tentu kami harus mendengar beberapa baik positif dan negatifnya, dari hasil investigasi," ujarnya. 

Selain itu, kata dia, berbagai pendapat pro dan kontra pada revisi UU tersebut juga terjadi di Komisi I DPR. 

"Ada yang pro dan kontra dan nanti itu finally akan kita bahas dan akan kita diskusi di Baleg (Badam Legislasi)," ungkapnya. 

Lebih lanjut, politikus PDIP itu mengatakan pihaknya akan menampung semua masukan terkait polemik revisi UU Penyiaran. 

"Ya kita akan tampung semua dan kemudian kita akan selesaikan nanti di dalam pembahasan antara Baleg dan komisi," pungkasnya. 

Polemik Draf RUU Penyiaran

Sebelumnya, berbagai kritikan dan masukan disampaikan oleh peneliti, pegiat hingga praktisi media terhadap Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) pada draf RUU penyiaran. 

Peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi, Muhamad Heychael, menyebut pasal tersebut sangat ambigu dan membingungkan.

“Ini kan melawan seluruh prinsip jurnalistik, ya? Justru jurnalistik itu bukan hanya harus akurat dan benar, tetapi informasi itu harus aktual. Saya khawatir semakin mati ruang publik kita," kata Heychael.

Sementara, Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Arif Zulkifli, menilai Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) merupakan bentuk kemunduran yang sangat serius bagi kemerdekaan pers Indonesia.

"Saya tidak tahu kenapa DPR begitu bersemangat mengedepankan RUU ini. Apakah ingin membungkam pers dan kenapa harus sekarang? Apakah ada keinginan agar pemerintahan yang selanjutnya itu bisa berjalan tanpa kritik yang signifikan dari pers, dalam hal ini pers TV? Saya kira pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab," katanya Arif kepada wartawan. 

Selanjutnya, Sekjen AJI Indonesia, Bayu Wardhana juga buka suara, menutnya revisi UU penyiaran ini dapat dimaknai sebagai pembungkaman terhadap pers dan upaya DPR untuk melemahkan Dewan Pers. 

"Upaya untuk melemahkan Dewan Pers sebenarnya sudah lama terjadi. Seperti ketika RUU Omnibus Law Cipta Kerja, ada bab soal pers yang menjadi menjadi pasal melemahkan. Syukur saat itu bab pers dihapus dari draf RUU Ciptaker. Upaya itu muncul kembali di RUU Penyiaran ini," tukas Bayu. 

Sedangkan, Ketua Komisi Hukum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat, Zacky Antony, menilai pasal tersebut sangat bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers pasca reformasi di Indonesia.

"Jelas-jelas bertentangan dengan semangat kemerdekaan pers yang merupakan salah satu poin reformasi negeri ini," kata Zacky saat dihubungi Monitorindonesia.com Sabtu (11/5/2024). 

Untuk itu, kata dia, sudah sepantasnya DPR menghapus pasal tersebut dalam draf RUU tentang penyiaran karena dianggap mengekang kemerdekaan pers. 

"Oleh karena itu, sudah seharusnya DPR mengeluarkan pasal tersebut dalam RUU. Sebab, bakal membelenggu kemerdekaan pers," ujarnya. 

Sebab kata Zacky, pasal pelarangan penayangan jurnalisme investigasi bertentangan dengan pasal 2, pasal 4 ayat (1), (2) dan (3) UU Pers No 40 tahun 1999.

"Pasal 2 UU Pers berbunyi: Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum." bunyi UU tersebut. 

Sedangkan pada pasal 4 ayat (1) jelas dikatakan: Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Selanjutnya di pasal 4 ayat (2) dijelaskan: Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. 

Sedangkan pada pasal 4 ayat (3) juga ditegaskan: Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan reformasi.

"Jadi jelas, berdasarkan UU Pers, tidak boleh ada penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran," tegas Zacky. 

Untuk itu, dia menyarankan kepada panitia kerja (Panja) revisi UU penyiaran DPR agar mencermati dengan seksama UU Pers sebelum merevisi dan mensahkan RUU tersebut. 

"Sebaiknya anggota DPR yang terhormat baca dulu UU Pers sebelum membahas revisi UU Penyiaran," pungkasnya. 

Diketahui sebelumnya, Komisi I DPR RI telah mengirimkan draf RUU Penyiaran kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi.

Selanjutnya, jika disetujui, RUU itu akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk ditetapkan menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.

Topik:

Polemik RUU Penyiaran Komisi I DPR TB Hasanuddin KPI Dewan Pers