Resentralisasi Mengancam Masa Depan Daerah Menuju Indonesia Emas 2045

Rolia Pakpahan
Rolia Pakpahan
Diperbarui 25 Juni 2025 09:23 WIB
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dan wartawan senior Nuah Torong dalam acara reuni akbar alumni jurnalis Merdeka dan Rakyat Merdeka, Minggu (22/6/2025) di Jakarta (Foto: Ist)
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan dan wartawan senior Nuah Torong dalam acara reuni akbar alumni jurnalis Merdeka dan Rakyat Merdeka, Minggu (22/6/2025) di Jakarta (Foto: Ist)

Jakarta, MI - Pemerintah Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam pelaksanaan otonomi daerah. Resentralisasi yang terjadi belakangan ini telah membuat pemerintah daerah semakin berkurang kewenangannya dalam mengelola sumber daya alam dan keuangan daerah. 

Isu krusial ini mencuat dalam sharing session di acara “Reuni Akbar Jurnalis Alumni Merdeka dan Rakyat Merdeka” di Hotel Ambhara, Blok M, Jakarta Selatan, Minggu (22/6/2025).

Empat narasumber yang tampil dalam forum tersebut merupakan mantan jurnalis Harian Merdeka dan Rakyat Merdeka, yaitu pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas) Dr. Selamat Ginting, pengamat komunikasi politik dari Universitas Tirtayasa (Untirta) Dr. Yoki Yusanto, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan, dan Direktur GREAT Institute Dr. Teguh Santosa.

Selamat Ginting mengatakan, Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi salah satu pemicu semakin mengerdilkan peran daerah dalam mengelola dan mengatur daerahnya.

"Kedua undang-undang ini memberikan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah pusat, sehingga batasan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kabur," ujarnya.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pendapatan asli daerah (PAD) semakin mengecil setelah Undang-Undang No 23 Tahun 2014 dan Undang-Undang Cipta Kerja diberlakukan. 

Pada tahun 2022, PAD hanya mencapai 30% dari total pendapatan daerah, sedangkan pada tahun 2014, angka tersebut masih mencapai 40%. 

"Huru-hara kasus penambangan nikel di Raja Ampat dan polemik empat pulau di Aceh adalah bukti nyata resentralisasi yang terjadi hari ini," kata Selamat.

Menurut Selamat, tren resentralisasi berisiko memunculkan kelompok-kelompok berkepentingan di sekitar pengambil keputusan di tingkat pusat. Kondisi ini juga membuka celah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan memperkuat praktik-praktik oligarki.

Sementara itu, Yoki Yusanto menilai bahwa semakin mengecilnya kewenangan daerah menunjukkan gejala resentralisasi, di mana peran pemerintah pusat semakin mendominasi seperti di masa Orde Baru.

"Hal ini menyebabkan pemerintah daerah semakin sulit untuk mengelola sumber daya alam dan keuangan daerah dengan efektif," jelas Yoki.

Padahal, lanjut Yoki, jika daerah diberi kewenangan lebih besar, peluang untuk memajukan daerahnya otomatis akan semakin besar pula.

"Jika daerah maju, maka Indonesia akan maju juga. Kemajuan daerah akan berdampak positif pada perekonomian nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat," imbuhnya.

Oleh karena itu, menurutnya, penting bagi pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk mengelola sendiri urusan pemerintahan.

Lalu, Teguh Santosa menambahkan, peran daerah yang lebih besar akan semakin membuka peluang daerah untuk berkontribusi dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045. 

"Dengan pemerintahan yang lebih desentralisasi, daerah akan dapat mengelola sendiri sumber daya alam dan keuangan daerah, sehingga meningkatkan kemandirian dan kemajuan daerah," ujar Teguh.

Namun, lanjut Teguh, jangan sampai peran besar yang diberikan kepada daerah justru menciptakan "raja-raja" kecil yang berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) untuk memperkaya diri.

"Di sinilah pentingnya pengawasan dari semua pihak agar pengelolaan sumber daya alam dan keuangan daerah lebih transparan dan akuntable," ungkapnya.

Herik Kurniawan menyampaikan bahwa dalam hal pengawasan publik, media memiliki peran penting sebagai alat kontrol terhadap kekuasaan, baik di tingkat pusat maupun daerah.

"Media massa adalah salah satu pilar demokrasi yang memungkinkan berjalannya roda pemerintahan secara transparan, governance, dan bertanggung jawab," jelasnya.

Sekitar 100 jurnalis alumni Harian Merdeka dan Rakyat Merdeka hadir dalam acara Reuni Akbar yang mempertemukan kembali para insan pers dari dua media politik nasional tersebut.

Acara ini juga dihadiri oleh Dahlan Iskan, mantan pimpinan Harian Jawa Pos sekaligus mantan Menteri BUMN, yang hadir sebagai pembicara kunci (keynote speaker). Selain Dahlan, hadir juga beberapa petinggi dan praktisi pers yang merupakan alumni Merdeka dan Rakyat Merdeka.

Mereka antara lain Herik Kurniawan (Pemimpin Redaksi GlobalTV yang juga Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia/IJTI), Dr. Teguh Santosa (pendiri RMOL.ID yang juga mantan Ketua Bidang Luar Negeri PWI dan Ketua Umum Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Syukri Rahmatullah (Pemimpin Redaksi Beritasatu.com), dan Umi Kalsum (Wakil Pemimpin Redaksi IDN Times).

Acara Reuni Akbar Jurnalis Alumni Merdeka dan Rakyat Merdeka terselenggara berkat dukungan para donatur dan sponsor, antara lain PLN, Telkom, Taspen, Sinarmas Land, dan Mind ID.

Topik:

otonomi-daerah indonesia-emas2045 resentralisasi kewenangan-daerah reuni-akbar-jurnalis-alumni-merdeka-dan-rakyat-merdeka